31. Pesona Seorang Malvino Arshaka

32 6 44
                                    

Sandrina dan Bu Lani memasuki sebuah restoran. Keduanya menampakkan ekspresi berbeda. Bu Lani berusaha memasang wajah ramah, sedangkan Sandrina malah sebaliknya. Ya, Sandrina datang ke sana memang bukan atas keinginannya sendiri, tetapi atas paksaan sang ibu. Ia sangat malas bertemu dengan Paramitha yang sudah membuatnya jadi bahan rujakan orang-orang di sekolah.

Dari sudut restoran, Bu Lani dan Sandrina melihat Pak Wahyu melambaikan tangan pada mereka. Sandrina berdecih, memandang penampakan Pak Wahyu yang sangat antusias bertemu ibunya.

“Ayo!” ajak Bu Lani dengan menarik tangan Sandrina secara paksa.

Sandrina tak bisa melawan. Terpaksa ia harus menurut. Sial sekali, di hari Minggu seperti ini, Sandrina seharusnya melakukan kegiatan yang lebih bermanfaat dan menyenangkan. Namun, sang ibu malah mengajaknya bertemu Pak Wahyu beserta anak laknatnya.

Sesampainya di tempat duduk tujuan, Bu Lani dan Sandrina duduk di kursi yang berhadapan dengan Pak Wahyu dan Paramitha. Sandrina duduk tepat menghadap wajah Paramitha yang saat ini menatapnya tajam. Tak mau kalah, Sandrina juga memberi tatapan tak kalah tajam pada Paramitha.

“Kalian mau pesan apa? Biar Bapak pesankan!” ujar Pak Wahyu sembari membuka buku menu.

“Apa aja nggak masalah. Lagian, habis ini aku masih ada urusan," jawab Bu Lani, bernada ketus.

Menyadari sikap Bu Lani yang terkesan masih marah, Pak Wahyu segera bertindak. Ia menyenggol siku Paramitha agar lekas minta maaf pada Bu Lani dan Sandrina. Sayangnya, Paramitha malah merespons dengan sebuah lirikan tajam.

“Ayo cepet minta maaf!” bisik Pak Wahyu di dekat telinga sang putri.

Paramitha terlihat semakin kesal. Sungguh merepotkan punya ayah bawel seperti Pak Wahyu. Namun, Paramitha tak bisa terus membantah perintah ayahnya jika tak ingin uang jajannya dikurangi lima puluh persen.

“Aku minta maaf, Tante!” ucap Paramitha seraya menunduk. Tentunya dengan sangat tidak ikhlas.

“Iya. Tante maafin, kok! Tapi lain kali jangan gitu lagi, ya?” balas Bu Lani disertai senyuman.

Setelah meminta maaf pada Bu Lani, kini giliran meminta maaf pada Sandrina. Meski kemarin Sandrina sempat menjambaknya, tetapi hal itu terjadi karena Paramitha yang membuat masalah terlebih dahulu.

“Gue minta maaf!” kata Paramitha tanpa memandang sang lawan bicara. Tampak jelas jika permintaan maaf gadis itu sangat tidak ikhlas.

“Paramitha, minta maaf yang bener!” Pak Wahyu mengeratkan gigi-giginya dan menatap tajam sang anak.

Paramitha menghela napas. Rasanya ia kalah telak dari Sandrina karena harus meminta maaf terlebih dahulu. Bagi Paramitha, ini sama saja dengan merendahkannya di depan Sandrina dan Bu Lani. Sayangnya, saat ini Paramitha hanya bisa mengumpati sang ayah dalam hati.

“Sandrina, gue minta maaf!” Dengan sangat terpaksa, Paramitha tersenyum memandang Sandrina. Senyuman di bibir mungil gadis itu sangat kentara kalau dipaksakan.

Sebenarnya Sandrina masih marah dan belum mau memaafkan Paramitha. Namun, sang ibu sudah memperingatkannya tadi sebelum berangkat agar bersikap baik dan sopan. Bahkan saat ini saja, tangan Bu Lani sudah mencubit paha Sandrina agar lekas berbaikan dengan Paramitha dan tak membuat malu sang ibu.

“Gue juga minta maaf!” sambut Sandrina yang juga memaksakan senyum.

Keduanya bersalaman sebagai simbol perdamaian mereka setelah tragedi jambak-jambakan kemarin pagi. Sandrina dan Paramitha saling menatap seperti menembakkan sinar laser.

Setelah kedua belah pihak damai, Pak Wahyu memanggil salah satu pelayan restoran untuk memesan makanan. Melihat Bu Lani, Sandrina, dan Paramitha duduk satu meja membuat Pak Wahyu membayangkan keluarga kecilnya di masa depan. Meski dulu kisah cintanya dengan Bu Lani kandas karena LDR, kini Pak Wahyu berharap bisa merangkai cerita cintanya kembali.

Can't Stop [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang