34. Perkara Susu Kedelai

32 6 57
                                    

Irawan memakan sarapan dengan malas. Ia berniat mendemo Nyonya Riana karena sampai saat ini tak mengizinkannya menggunakan motor untuk pergi ke sekolah. Berangkat dan pulang sekolah dengan diantar sopir membuat Irawan merasa terkekang. Di saat-saat genting seperti kemarin, ia masih harus meminjam sepeda motor Sony. Sungguh Irawan tak bisa dipaksa seperti ini terus.

Beberapa orang yang sudah selesai sarapan seperti Yeslyn, Nyonya Bianca, dan Yasmine segera meninggalkan meja makan. Kini, di sana hanya tersisa Irawan dan Nyonya Riana.

“Irawan!” panggil Nyonya Riana.

Pemilik nama mendongak sedikit, melihat wajah sang lawan bicara. Ekspresinya tak berubah, masih tampak tidak bersemangat. Meski tahu, Nyonya Riana pura-pura tidak peduli. Tiba-tiba wanita itu melempar sesuatu pada Irawan.

“Mulai hari ini, kamu boleh bawa motor lagi ke sekolah,” ujar Nyonya Riana yang langsung membuat Irawan tersenyum. Tangan putih Irawan langsung meraih kunci motor tersebut dengan antusias.

“Tapi jangan kabur lagi! Kalo Oma nyuruh kamu pulang, kamu harus pulang!” Nyonya Riana menambahkan.

Irawan mengangguk sambil mengacungkan jempol. Setelah itu, beranjak berdiri dan berjalan meninggalkan meja makan. Nyonya Riana memandang punggung sang cucu laki-laki yang tampak semakin menjauh.

Sudah tujuh tahun mereka tinggal bersama. Selama ini, hubungan keduanya tak seperti nenek dan cucu, tetapi lebih seperti rekan kerja. Terkadang, Nyonya Riana ingin bersikap layaknya seorang nenek untuk Irawan. Akan tetapi, mengingat asal-usul Irawan, seolah ada yang menjadi penghalang.

“Mas Aditya, anak itu sudah tumbuh dewasa. Seandainya kamu masih ada di sini, mungkin kamu akan lelah mengurus dan mengaturnya,” bisik Nyonya Riana dengan mata berkaca-kaca.

“Kurasa apa yang kamu katakan waktu itu benar, bahwa anak itu akan tumbuh berbeda dari ayah kandungnya. Mata kamu memang jeli dalam menilai seseorang, bahkan saat anak itu masih di bawah umur,” sambungnya.

Mengatur dan mendisiplinkan Irawan memang cukup melelahkan. Nyonya Riana kerap marah karenanya. Akan tetapi, setidaknya kenakalan Irawan tidak separah ayahnya saat masih muda dulu. Jadi, meski mereka ayah dan anak, tetap ada perbedaan.

Irawan berjalan menuju garasi sambil memainkan kunci motor. Hari ini masih pagi, ia berniat menjemput Sandrina agar bisa berangkat bersama. Sesampainya di garasi, Irawan disambut oleh Pak Karjo yang sedang mengelap mobil antik mendiang Aditya Dewangga. Pria paruh baya itu tersenyum tatkala melihat penampakan Irawan.

“Tuan Muda, perlukah Bapak bantu buat ngeluarin motornya dari garasi?” sapa Pak Karjo ramah.

“Nggak usah, Pak! Bapak lanjutin aja kerjaan Bapak!” balas Irawan yang kini mengenakan helm dan mulai menaiki motor.

Kendaraan roda dua itupun melaju dengan kecepatan normal, keluar dari garasi. Para petugas keamanan yang menjaga pintu gerbang lekas membuka pintu gerbang saat melihat Irawan keluar dari garasi dengan motor. Reputasi Irawan di sekolah memang hanya seorang tukang tidur, tetapi di rumah keluarga Dewangga, Irawan layaknya putra mahkota yang dihormati semua orang.

Dari seberang jalan, seorang wanita memperhatikan Irawan yang kini keluar pintu gerbang kediaman keluarga Dewangga. Wanita itu memandang Irawan dengan mata berkaca-kaca. Setelah tujuh tahun tak bertemu, kini sosok yang melahirkan Irawan itu kembali. Ia kembali bukan untuk meminta pengakuan atau membawa Irawan pergi bersamanya, tetapi ia kembali karena ingin melihat sang putra. Sesederhana itu tujuannya.

“Kamu udah sebesar itu, Nak. Terima kasih karena telah tumbuh dengan baik dan sehat! Jangan pernah maafkan Ibu yang tidak bertanggung jawab ini!” gumamnya.

Can't Stop [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang