Semangkuk mie ayam bakso yang berhiaskan kuah merah penuh sambal terhidang di meja. Sandrina melongo melihat makanan pedas itu sambil sesekali melirik Irawan yang duduk di seberang meja. Sandrina pikir, Irawan akan membawanya ke tempat yang bisa Sandrina gunakan untuk menggila. Nyatanya, pemuda itu malah mengajaknya pergi ke rumah makan.
“Kenapa bengong? Ayo makan biar nggak mati!” ujar Irawan yang kini mengambil sumpit untuk memakan mie.
“Gue pengen ke tempat yang bisa gue pake buat ngeluarin umpatan. Lo malah nyuruh gue makan.” Sandrina terlihat tak bersemangat.
“Biasanya, gue kalo lagi kesel atau pengen marah, gue makan makanan pedas. Lagian, mau ngapain lagi? Mau teriak-teriak kayak orang gila?” balas Irawan.
Apa yang dikatakan Irawan ada benarnya. Memang lebih baik makan daripada berteriak sambil mengumpat dengan menyebut nama-nama hewan. Sandrina mulai meraih sumpit yang bertengger di samping mangkuk. Ia memakan beberapa suap dengan isi kepala mengingat apa yang dilihat tadi sore saat pulang ke rumah.
Pria itu datang lagi menemui ibunya. Padahal belum sampai dua bulan, sang ibu resmi bercerai dari ayahnya. Namun, kini sang ibu sudah beberapa kali bertemu pria yang katanya dulu adalah cinta pertamanya. Hal itu membuat Sandrina berpikir, bahwa pria itulah yang menghancurkan keluarganya. Berpura-pura menjadi penolong, tetapi sebenarnya dia adalah racunnya.
Irawan memerhatikan Sandrina yang tengah makan dengan lahap. Entah beban apa yang ada di pikiran Sandrina. Irawan tak tahu dan tak ingin tahu. Sebab tugas utamanya hanya membuat Sandrina merasa lebih baik, bukan menginterogasi seputar masalah gadis itu.
“Kalo makan pelan-pelan! Entar kalo lo keselek, gue yang repot,” celetuk Irawan.
“Ir, lo masih punya duit, 'kan?” tanya Sandrina yang tiba-tiba berhenti makan.
Irawan tertawa. Di saat seperti ini, bisa-bisanya Sandrina bertanya tentang uang. Sudah jelas-jelas sekarang ia keluar dan bermain dengan anggota keluarga Dewangga. Tentu saja uang bukanlah hal yang perlu dikhawatirkan.
“Lo tenang aja! Kalo sama gue, lo nggak perlu khawatir soal duit. Lagian, gue sendiri tiap hari nggak pernah bisa ngabisin duit jajan gue,” ungkap Irawan.
“Emangnya, berapa duit jajan lo sehari?” Sandrina terlihat penasaran.
“Biasanya dikasih duit cash lima ratusan. Sisanya ada di sini.” Irawan mengeluarkan sebuah kartu kredit dari dalam dompet bermereknya. Ia menunjukkannya pada Sandrina dengan penuh kebanggaan.
Sandrina mengangguk. Hidup Irawan tampak begitu baik dengan kekayaan dan kekuasaan yang dimiliki keluarganya. Sandrina jadi sedikit iri pada Irawan. Mereka seumuran, tetapi beban hidup Sandrina rasanya jauh lebih berat.
“Hidup lo beruntung banget, ya? Punya segalanya dan bisa ngelakuin apa aja,” cetus Sandrina.
“Kenapa? Lo mau tukeran hidup sama gue?” balas Irawan.
“Iya. Seandainya bisa, gue pengen jadi lo. Gue pengen belanja sepuasnya tiap hari, bikin masalah tiap hari, dan nggak perlu khawatir soal masa depan.”
Mendengar perkataan Sandrina, Irawan tertawa. Ah, ternyata seperti itu kehidupannya di mata orang lain. Setengah dari yang Sandrina katakan memang benar. Namun, sisanya tak sepenuhnya benar. Di dunia ini, semua orang pasti punya masalah dan kekhawatiran akan masa depan. Meski Irawan selalu terlihat santai, sebenarnya ia juga punya kekhawatiran di hati sekalipun tak pernah menunjukkannya pada orang lain.
“Habis ini, lo mau kemana?” tanya Irawan.
“Enaknya kemana?” Sandrina malah balik bertanya.
Irawan berpikir sejenak. Apa yang menyenangkan baginya, belum tentu menyenangkan bagi Sandrina. Jujur saja, Irawan tak pernah bermain dengan lawan jenis sebelumnya. Sandrina adalah gadis pertama yang secara kebetulan bisa keluyuran dengannya dan bisa dikatakan cukup dekat dengannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Can't Stop [END]
Teen FictionSandrina Laily dipaksa menyesuaikan diri dengan keadaan yang berubah drastis. Ia pindah sekolah dan tempat tinggal karena perceraian kedua orang tuanya. Di sekolah barunya, Sandrina mengenal Irawan Pradana Dewangga, seorang murid laki-laki yang suka...