54. Kembali Menjadi Anak Berusia Sepuluh Tahun

19 5 34
                                    

Irawan masuk ke ruang rawat sang ibu setelah Sandrina dan Vino pulang. Mengobrol dan bercanda dengan Sandrina dan Vino seperti mengisi energi bagi Irawan. Sejak kemarin, pikirannya seperti benang kusut yang tak tahu di mana ujung dan pangkalnya.

Irawan duduk di samping ranjang sang ibu. Tangannya menggenggam erat tangan sang ibu yang dingin. Si pemilik tangan membuka mata, menatap sosok yang duduk di dekatnya.

“Bulan depan aku ulang tahun. Ibu nggak lupa, 'kan? Ibu harus nemenin aku pergi ke taman hiburan, makan es krim, dan makan tumis cumi-cumi! Ayo kita lakukan kayak tujuh tahun lalu, tapi kita buang bagian perpisahan kita!” ujar Irawan.

Bu Tari kembali menitikkan air mata. Ia ingin tetap hidup dan menyaksikan sang putra tumbuh dewasa, menikah, hingga punya anak. Namun, ia bahkan tidak tahu, apakah besok masih bisa menggenggam tangan Irawan atau tidak. Jujur saja, jika Bu Tari bisa memilih, tidak apa-apa jika ia hidup dalam kesakitan, asal tetap berada di sisi putranya dan menebus kesalahannya di masa lalu.

“Irawan ....” Bu Tari berbisik pelan.

Irawan melepaskan genggaman tangannya dari tangan sang ibu. Lalu, memeluk sang ibu erat. Sejak bertemu lagi, ini adalah kali pertama Irawan memeluknya. Irawan tidak ingin kehilangan kesempatan untuk sekadar memeluk ibunya. Pelukan itu terasa hangat dan nyaman.

“Maaf, karena sudah menjadi Ibu yang egois!” kata Bu Tari sambil terisak.

“Aku nggak akan maafin Ibu lagi, kalo Ibu pergi tanpa pamit kayak dulu!” balas Irawan, berusaha tegar.

Dalam hati, Bu Tari berharap dan berdoa, agar Tuhan memberinya sedikit waktu lagi. Sungguh ia belum siap pergi meninggalkan Irawan.

Selepas puas saling memeluk, perlahan keduanya melepaskan pelukan. Bu Tari menatap wajah Irawan lekat. Dahulu, Bu Tari sempat membenci anak yang dikandungnya itu, sebab merasa, bahwa anak tersebut adalah bukti dari kebiadaban Edo Dewangga yang sudah merenggut hal berharga miliknya. Namun, ketika keluarga Dewangga berusaha menggugurkannya, ia baru sadar, kalau anak itu tidak bersalah.

“Anak Ibu ganteng banget ternyata, ya?” ungkap Bu Tari, berusaha mengalihkan pembicaraan agar tak terus berbicara hal menyedihkan.

Irawan berusaha tersenyum, meski air matanya ingin meluncur. Pujian barusan terdengar seperti sebuah hiburan saja.

“Makanya itu, Ibu harus tetap bertahan, supaya bisa liat kegantenganku terus dan pamer ke orang-orang, kalo anak Ibu ganteng!” sambut Irawan, mencoba mengimbangi.

Bu Tari tersenyum. Diraihnya tangan hangat Irawan. “Malam ini, kamu tidur di samping Ibu, ya?”

Irawan mengangguk, memberikan jawaban. Irawan ingin kembali menjadi anak sepuluh tahun yang selalu berada di samping ibunya, memukul siapa saja yang berani menghina ibunya, dan makan es krim termurah yang dibelikan ibunya. Pemuda itu berharap, Tuhan memberikan kesempatan padanya dan sang ibu untuk mengukir kenangan indah bersama lagi.

***

Sandrina turun dari bus bersama beberapa murid lain. Kakinya berjalan memasuki area sekolah sambil sesekali celingukan. Ia kembali melihat ponsel, memastikan sesuatu. Namun, apa yang ingin dipastikan belum menemukan jawaban, sebab orang yang dikirimi chat belum memberikan respons.

“Woi, Cewek Pikmi!”

Terdengar suara seseorang yang tak asing memanggil. Sandrina menghela napas, sebab ia tahu, orang yang dipanggil barusan adalah dirinya. Bukannya berhenti untuk menunggu orang yang memanggil, Sandrina malah mempercepat langkah.

“Heh, lo budek, ya? Gue panggil bukannya berhenti, malah mau kabur,” kata gadis yang kini menyamakan langkahnya dengan Sandrina.

Sandrina berhenti. Ia menoleh, menatap murid perempuan dengan tanda nama Paramitha Indriana tersebut. Disentuhnya rambut panjang Paramitha. Lalu, menariknya hingga wajah Paramitha mendekat ke wajahnya.

Can't Stop [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang