Hari sudah petang. Irawan, Vino, dan Sandrina masuk ke rumah Vino. Sesekali Sandrina memarahi Irawan dengan suara pelan, sebab pemuda itu membuat masalah dan harus diselesaikan oleh Vino. Padahal Vino masih sakit, tetapi harus keluar rumah untuk memanggil pemilik anjing yang mengejar Irawan dan mewakili Irawan meminta maaf. Pemilik anjing juga sempat memarahi Vino, tetapi Vino hanya diam seolah ia memang bersalah.
Singkat cerita, setelah beberapa saat berada di atas pohon untuk menghindar dari kejaran anjing, Irawan memutuskan untuk menelepon Vino. Anjing yang mengejar Irawan terus menggonggong di bawah pohon dan tak mau pergi. Padahal Irawan sudah lelah dan ingin turun dari pohon. Demi menolong Irawan, Vino memanggil pemilik anjing agar mengamankan anjingnya.
“Nih, minum dulu!” ucap Vino seraya melempar satu botol air mineral pada Irawan.
Irawan dengan sigap menangkap benda tersebut. Lalu membuka tutup dan meminumnya. Vino duduk di sofa, sedangkan Sandrina masih berdiri melihat Irawan yang hari ini sudah membuat masalah dengan tetangga Vino beserta anjingnya.
Tak lama berselang, terdengar suara bel pintu gerbang berbunyi. Vino lekas berdiri dan berjalan keluar rumah. Sandrina kini mengalihkan pandangan pada Vino yang sudah berada di depan pintu gerbang.
“Capek banget rasanya habis kejar-kejaran sama anjing,” keluh Irawan setelah menghabiskan minuman. Kemudian, merebahkan tubuh ke atas sofa dengan nyaman.
“Elo sih, udah tahu anjingnya sensian, malah lo gangguin,” sahut Sandrina sembari duduk di sofa yang berhadapan dengan sofa tempat Irawan merebahkan badan.
“Salah lo juga, kenapa malah nyuekin gue setelah ketemu sama Vino!” Irawan bergumam, membalas perkataan Sandrina.
“Lo ngomong apa barusan?” tanya Sandrina yang kurang jelas mendengar gumaman Irawan.
Tidak ingin menjawab, Irawan memilih untuk memejamkan mata, pura-pura tidur. Adalah andalan Irawan saat tidak ingin terlalu banyak memberi penjelasan pada orang lain.
“Ir, jangan pura-pura tidur! Woi!” teriak Sandrina sembari melempar bantal pada Irawan.
Vino kembali memasuki rumah dengan menenteng sesuatu di tangan. Melihat kedatangan Vino, Sandrina yang tadinya berniat membangunkan Irawan secara paksa, terpaksa membatalkan niat. Ia tak bisa bersikap gila di depan Vino. Alasannya? Tentu saja karena malu.
Vino meletakkan barang yang dibawa ke atas meja. Kemudian, membukanya perlahan. Sandrina duduk dengan tenang, tidak ingin terlalu memusingkan sikap Irawan.
“Itu apaan, Vin?” tanya Sandrina penasaran.
“Makanan yang gue pesan. Ayo dimakan!” jawab Vino sambil menyodorkan satu kotak udang asam manis pada Sandrina.
“Vin, lo nggak perlu repot-repot sampe pesan makanan! Gue sama Irawan masih kenyang, kok. Iya, 'kan, Ir?” Sandrina melirik Irawan.
Irawan segera bangun setelah mencium aroma makanan. Perutnya memang sudah lapar karena insiden kejar-kejaran dengan anjing tetangga.
“Enggak! Gue udah laper. Laper banget,” sanggah Irawan sembari membuka kotak yang ada di samping kotak berisi udang.
Seperti yang sudah Irawan duga, kotak yang ia buka berisi tumis cumi-cumi. Vino memang yang paling mengerti dirinya. Membelikan satu kotak tumis cumi-cumi di saat ia sedang lapar. Tanpa basa-basi, Irawan langsung melahap makanan tersebut, seolah ia berada di rumahnya sendiri. Sandrina menggeleng, melihat sikap Irawan yang seperti tidak tahu, apa itu menjaga imej.
“San, ayo makan! Kita makan bareng!” ajak Vino yang kini menyodorkan sendok dan garpu pada Sandrina.
“Nggak usah sok jaim, San! Gue tahu, kalo di rumah, porsi makan lo portugal,” tambah Irawan yang seolah tak mendukung acara jaim Sandrina.
KAMU SEDANG MEMBACA
Can't Stop [END]
أدب المراهقينSandrina Laily dipaksa menyesuaikan diri dengan keadaan yang berubah drastis. Ia pindah sekolah dan tempat tinggal karena perceraian kedua orang tuanya. Di sekolah barunya, Sandrina mengenal Irawan Pradana Dewangga, seorang murid laki-laki yang suka...