63. Anak VS Ayah

26 5 39
                                    

Sandrina turun dari motor setelah sang ibu menghentikan laju kendaraan roda dua itu di depan kediaman mereka. Tanpa mengatakan sesuatu, Sandrina melangkah memasuki rumah. Melihat sikap Sandrina yang tidak mau bicara dengannya membuat Bu Lani tidak tahan. Meski sebelumnya Pak Wahyu sudah memberi saran pada Bu Lani agar memberi Sandrina waktu untuk menenangkan hati, tetapi tampaknya Bu Lani tidak akan mengindahkan saran tersebut. Bu Lani tidak sesabar itu.

“Sandrina!” panggil Bu Lani selepas memarkir motor dan mengejar Sandrina masuk rumah.

Bu Lani meraih lengan Sandrina untuk menghentikannya masuk kamar. Sandrina berusaha melepaskan tautan tangan Bu Lani, namun Bu Lani tidak mau melepaskannya.

“Mau sampai kapan kamu diemin Mama terus?” teriak Bu Lani frustrasi.

“Kenapa kamu nggak pernah mau dengerin perkataan Mama? Kenapa kamu selalu memberontak dan bikin Mama marah?” Bu Lani menambahkan. Ia berusaha menahan air matanya, tetapi cairan bening itu tetap memaksa keluar.

Perlahan Bu Lani melepaskan lengan Sandrina. Tubuh kurusnya merosot ke atas lantai. Ia merasa sangat lelah menghadapi semuanya. Hidup seolah tak memberinya kesempatan untuk sekadar mengistirahatkan pikiran dan tubuh. Wanita itu terisak pelan sebagai luapan rasa letihnya.

Sandrina menoleh, memandang sang ibu. Jujur saja, ia sendiri tidak tahu harus bagaimana. Di satu sisi, ia kasihan melihat sang ibu yang harus membawa semua beban dan masalah sendiri. Sementara di lain sisi, Sandrina masih kecewa karena selama ini sang ibu tidak pernah mau jujur padanya perihal alasan perceraian dan malah harus tahu faktanya secara tidak sengaja.

Sandrina ikut duduk di atas lantai untuk menyamakan posisi dengan Bu Lani. Tangannya meraih tangan sang ibu yang terasa dingin dan gemetar. Sebelum pulang, Sandrina sempat dinasihati Pak Wahyu untuk mendengarkan semua keluh-kesah sang ibu dan mencoba memahami posisi sulit wanita yang telah melahirkannya itu. Sejujurnya Sandrina juga merasa bersalah, karena pernah mengira sang ibu mengkhianati ayahnya.

“Ma, maaf!” sesal Sandrina.

“Di dunia ini, satu-satunya yang Mama punya cuma kamu. Mama ngelakuin semuanya karena peduli sama kamu dan demi kebaikan kamu. Apa mungkin, Mama mau menjerumuskan kamu ke hal buruk?” balas Bu Lani seraya menatap lekat sang putri.

Sandrina mengangguk paham. Tangan kurusnya mengusap air mata ibunya yang membasahi pipi. Hati keras perempuan itu seperti melembut perlahan. Walau tidak bisa menuruti semua perintah sang ibu, tetapi Sandrina berniat memperbaiki hubungannya dengan sang ibu, agar tidak terus berkonflik dan membuat ibunya frustrasi.

“Kemarin, kenapa kamu langsung pulang tanpa nemuin papa kamu? Kamu bilang, kamu kangen dan pengen ketemu sama dia?” tanya Bu Lani yang cukup penasaran dengan alasan Sandrina.

“Aku belum siap ketemu sama dia setelah tahu fakta yang sebenernya. Aku khawatir, aku nggak bisa nahan amarah dan berakhir bikin masalah. Kalo aku bikin masalah, yang susah pastinya tetep Mama,” jelas Sandrina.

Bu Lani memeluk sang putri. Putri kecilnya yang susah diatur dan kerap membuat masalah, kini sudah mulai beranjak dewasa. Sandrina sudah bisa membedakan, mana yang benar dan salah. Mana yang pantas dan tidak. Pada akhirnya, kebenaran tetap tidak bisa ditutupi lebih lama, meski ada yang berusaha menutupinya.

***

Angin rooftop yang kencang menemani tidur Irawan. Seperti biasa, jam istirahat pertama diisi dengan tidur di rooftop, sebab jika tidur di kelas, Irawan pasti akan diganggu Sony. Beberapa saat memejamkan mata, tiba-tiba ponsel di dalam saku celana pemuda berhidung mancung itu bergetar. Dengan mata masih terpejam, tangan berotot Irawan merogoh saku celana. Diambilnya benda pipih persegi panjang berharga jutaan tersebut dan mengusap layarnya. Tampak sebuah chat yang baru masuk. Dengan malas, Irawan membuka chat dari orang yang selama ini tidak pernah berkirim chat dengannya itu.

Can't Stop [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang