Suasana kelas 11 khusus Kelas Kompetisi IPA mulai sepi. Satu demi satu penghuninya meninggalkan kelas setelah guru mata pelajaran terakhir keluar. Vino memasukkan buku dan alat tulis ke dalam tas. Ekspresi lelah tampak jelas tergambar pada wajah tampan pemuda itu. Di hari pertamanya masuk Kelas Kompetisi, Vino seperti mengalami culture shock. Ia seperti memasuki dunia lain dengan penghuni robot. Anak-anak dari Kelas Kompetisi bahkan tak keluar saat jam istirahat. Tidak ada istilah saling menyapa atau bertanya satu sama lain. Sungguh, rasanya sangat tidak nyaman.
Vino beranjak berdiri dan menyandang tas. Kakinya berjalan gontai keluar kelas. Beberapa murid Kelas Kompetisi yang masih berada di kelas melihat kepergian Vino dengan ekspresi sinis dan julid. Beberapa dari mereka saling berbisik, mengomentari bagaimana reaksi Vino saat mengikuti pembelajaran cepat di kelas.
Ketika keluar dari gedung khusus Kelas Kompetisi, Vino disambut dengan hembusan angin sore yang sejuk. Juga, senyuman dari Sandrina yang berdiri di depan gedung, seolah sedang menunggunya.
“Gimana rasanya ada di Kelas Kompetisi? Pasti bangga banget. Iya, 'kan?” sapa Sandrina dengan menghampiri Vino.
Vino tersenyum. Rasanya beban yang berada di pundaknya sedikit terangkat. “Dibanding bangga, kayaknya capek lebih menggambarkan diri gue sekarang.”
“Ini baru permulaan! Lo pasti bisa menyesuaikan diri secepatnya, kok,” sambung Sandrina, mencoba memberi semangat pada Vino. Sebagai balasan, Vino mengangguk.
Keduanya mulai berjalan bersama untuk pulang. Hari ini, orang tua Vino tidak menjemput Vino. Jadi, Vino memutuskan untuk pulang dengan naik bus bersama Sandrina. Meski mereka akan turun di tempat yang berbeda, tetapi bagi Vino maupun Sandrina tidak masalah.
Sebenarnya orang tua Vino sudah menyuruh sopir untuk menjemput Vino seperti biasa. Namun, Vino menolak, dengan alasan ingin mandiri dan merasakan sensasi pulang sekolah dengan naik kendaraan umum.
“Oh iya, gue lupa ngasih ini ke lo,” ucap Vino dengan membuka tas. Ia berhenti sejenak.
Sandrina ikut berhenti berjalan. Gadis itu menoleh, melihat Vino yang sibuk mencari sesuatu. Sandrina penasaran, apa yang akan Vino berikan padanya. Bagi Sandrina, tidak penting barang seperti apa yang hendak Vino berikan. Karena menurut Sandrina, ia bisa dekat dengan Vino saja sudah cukup.
“Buat lo!” Vino memberikan sebuah gelang pada Sandrina.
Melihat penampakan gelang pemberian Vino yang indah, Sandrina tentu menerimanya dengan antusias. Ia langsung memakai gelang tersebut, tetapi benda itu sulit dipakai tanpa bantuan orang lain. Tanpa menunggu Sandrina meminta tolong, Vino dengan sigap langsung memakaikan gelang itu ke tangan kiri Sandrina.
“Udah gue duga, gelang ini cocok dan pas di tangan lo,” cetus Vino.
“Thanks, Vin! Gelangnya bagus dan lucu,” sambut Sandrina malu-malu.
“Pas liburan ke rumah nenek, gue ketemu sama sepupu gue yang dapet tugas dari sekolah buat bikin gelang selama liburan. Gue liat, gelang bikinannya bagus dan indah. Jadi, gue minta dia buat ngajarin gue cara bikinnya.” Vino menceritakan awal mula ia membuat gelang untuk diberikan pada Sandrina.
Mendengar cerita Vino, Sandrina jadi makin menyukai gelang yang kini melingkar di pergelangan tangan kirinya. Vino membuatnya dengan sepenuh hati, itu berarti ia juga harus merawat gelang itu dengan baik.
Vino melihat jam tangannya dan baru sadar kalau sudah jam empat lebih. “San, biasanya bus sore lewat jam berapa?”
“Bus sore biasanya lewat jam empat,” jawab Sandrina.
“Gawat! Kita bisa ketinggalan bus sore.” Vino meraih lengan kiri Sandrina. Kemudian, membawa Sandrina berlari keluar area sekolah. Sandrina menurut saja sambil menikmati ketampanan Vino dari samping.
KAMU SEDANG MEMBACA
Can't Stop [END]
Teen FictionSandrina Laily dipaksa menyesuaikan diri dengan keadaan yang berubah drastis. Ia pindah sekolah dan tempat tinggal karena perceraian kedua orang tuanya. Di sekolah barunya, Sandrina mengenal Irawan Pradana Dewangga, seorang murid laki-laki yang suka...