Irawan berjalan menyusuri koridor lantai satu dengan santai. Sesekali ia menguap. Beberapa murid yang melihat penampakan Irawan saling berbisik satu sama lain. Bukan berbisik tentang hal buruk, tetapi berbisik tentang Irawan yang berhasil mendapat juara satu di kompetisi pidato bahasa Mandarin. Ini seperti plot twist, sebab setahu mereka, Irawan hanya tukang tidur di kelas dan bisa melakukan apapun yang diinginkan berkat koneksi keluarga Dewangga.
Ketika hendak menaiki tangga, Irawan dihampiri Imey. Ah, sepertinya Imey masih belum menyerah untuk mendekati dan berusaha akrab dengan Irawan.
“Selamat ya, Ir, lo berhasil dapet juara satu! Kemarin gue nggak sempet ngasih selamat ke lo karena lo tiba-tiba pulang gitu aja,” ujar Imey.
“Oh ... iya. Kemarin gue ada urusan,” balas Irawan.
Imey mengeluarkan sesuatu dari dalam tas dan memberikannya pada Irawan. “Buat lo!”
Irawan tak langsung menerima. Pemuda itu menatap heran kotak di tangan Imey. Lalu, beralih menatap gadis di hadapannya penuh tanya.
“Gue habis nyoba resep kukis baru yang rencananya bakal masuk menu di kafe dan toko roti nyokap gue. Dan lo adalah orang pertama yang gue kasih sampelnya.” Imey menjelaskan.
Sebenarnya Irawan enggan menerima, sebab merasa tak begitu akrab dengan Imey. Namun, ada banyak pasang mata yang melihat. Ia tak ingin membuat Imey merasa malu. Jadi, Irawan menerima saja sekotak kukis tersebut. Toh, jika Irawan tak ingin memakannya, nanti bisa diberikan pada orang lain.
“Thanks,” sambut Irawan seraya menerima benda tersebut.
Imey tersenyum, sebab Irawan mulai bersikap ramah padanya. Imey pikir, ia punya harapan untuk dekat dengan Irawan dan merealisasikan niat ayahnya.
“Kalo gitu, gue naik dulu!” pamit Irawan.
Imey mengangguk sebagai balasan. Irawan kembali melanjutkan perjalanan. Ia menaiki tangga dengan santai. Saat menginjak lantai dua, tiba-tiba Sandrina muncul di hadapan Irawan dan mengejutkannya. Nyaris saja Irawan menyebut aneka isi kebun binatang.
“Hampir aja jantung gue copot!” celetuk Irawan.
Sandrina nyengir menanggapi perkataan Irawan. Kedatangannya memang cukup mengagetkan, jadi ia maklum jika Irawan terkejut.
“Sorry, Ir!” sesal Sandrina.
Irawan kembali berjalan. Sandrina mengikuti sembari menyamakan langkahnya dengan Irawan. Pagi-pagi sudah mengikuti Irawan, tentu Sandrina punya alasan.
“Ir!” panggil Sandrina.
“Apaan?” balas Irawan tanpa memandang sang lawan bicara dan terus berjalan.
Mendadak pandangan Sandrina teralihkan pada sekotak kukis di tangan Irawan. “Woah, kukis buat siapa, nih?” tanyanya.
Irawan berhenti berjalan lagi. Ia menoleh, menatap Sandrina. “Lo mau?” Irawan menawarkan.
“Kalo dikasih, kenapa harus nolak?” jawab Sandrina yang sebenarnya mau tetapi bahasanya diperhalus agar tak terkesan gampangan.
Irawan berdecih. Kemudian, memberikan kotak di tangannya pada Sandrina. Beberapa hari ini, Sandrina lebih sering menghabiskan waktu bersama Vino. Bahkan kemarin saat kompetisi pidato bahasa asing, Sandrina hanya menyemangati Vino dan malah mengacungkan jari tengah pada Irawan. Rasanya aneh, mendadak pagi ini gadis itu seperti berubah haluan dengan mengikuti Irawan. Hal tersebut membuat Irawan curiga.
“Lo tumbenan pagi-pagi udah ngikutin gue? Pasti ada udang di balik rempeyek, nih!” Irawan menyipitkan mata. Pada akhirnya, ia mengungkapkan unek-uneknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Can't Stop [END]
Novela JuvenilSandrina Laily dipaksa menyesuaikan diri dengan keadaan yang berubah drastis. Ia pindah sekolah dan tempat tinggal karena perceraian kedua orang tuanya. Di sekolah barunya, Sandrina mengenal Irawan Pradana Dewangga, seorang murid laki-laki yang suka...