05. Ketidakharmonisan Keluarga Dewangga

67 11 76
                                    

Irawan menghela napas untuk yang ke sekian kali setelah kalah bermain gim. Entah sudah berapa ronde pemuda itu kalah. Bermain gim sama sekali tak bisa dijadikan pelarian, tetapi malah menambah kesal. Irawan beranjak dari tempat bermain gim dan membanting tubuh tingginya ke tempat tidur yang nyaman. Ia memandang langit-langit kamarnya, mengingat wajah seseorang yang tak ingin dilupakan.

“Gue susah payah inget wajah dia tiap hari. Apa dia masih inget sama gue?” bisik Irawan.

Tangan putih Irawan bergerak untuk mencari ponsel. Namun, bukannya mendapat benda yang diinginkan, laki-laki itu malah mendapat sweeter merah muda hasil pinjaman paksanya. Sudah memakai sweeter yang sangat feminim, nyatanya Irawan tetap tertangkap oleh sang nenek. Ah, sungguh sial hari ini. Semua rencana gagal total.

Ketika Irawan melempar sweeter ke kursi tempat ia bermain gim, sesuatu jatuh dari saku sweater itu. Irawan dibuat penasaran dengan benda tersebut. Ia bangun dan melihat sebuah foto lusuh tergeletak di atas lantai.

“Ini foto keluarga Sandrina?” Irawan bergumam seraya memungut benda yang dimaksud. Ia memerhatikan foto yang sedikit lecet itu sambil sesekali menggerakkan alis tebalnya.

Dalam kegiatannya, tiba-tiba seseorang mengetuk pintu kamar dari luar. Dengan malas, Irawan beranjak berdiri dan melangkah menuju pintu. Tak lupa, ia mengantongi foto tadi.

Setelah membuka pintu, tampak seorang wanita paruh baya tersenyum ramah. “Waktunya makan malam, Tuan Muda. Nyonya Besar sudah menunggu di ruang makan.”

Irawan hanya mengangguk. Meski ia ingin memberontak, nyatanya laki-laki itu selalu kalah telak. Sosok Nyonya Besar keluarga Dewangga memang tak bisa dianggap remeh. Bahkan putra laki-laki satu-satunya keluarga Dewangga, yang lebih tepatnya adalah ayah kandung Irawan, tunduk dan takut padanya.

Irawan menutup pintu kamar. Kemudian, menuruni tangga menuju ruang makan. Sesampainya di sana, sudah ada anggota keluarga Dewangga lain yang menunggu. Irawan duduk di samping saudara perempuannya, Yeslyn. Namun, Nyonya Riana menyuruhnya pindah dan duduk di samping wanita itu. Terlihat jelas, jika Irawan sangat terpaksa pindah tempat duduk.

Acara makan malam pun dimulai. Semua orang makan sesuai selera masing-masing. Ada berbagai jenis makanan yang tersedia di atas meja. Semua bisa memilih sesuai selera. Kehidupan mewah dan serba berkecukupan di keluarga Dewangga memang membuat banyak orang iri. Akan tetapi, dibalik segala kemewahan tersebut, terselip banyak tekanan dan rasa sakit.

Irawan dengan cepat menghabiskan makanannya agar bisa lekas kembali ke kamar dan tak mendengar ocehan sang nenek. Sayangnya, Nyonya Riana sudah mengendus rencana Irawan. Sebelum Irawan pergi, ia terlebih dahulu angkat bicara.

“Irawan, minggu depan kamu harus ikut Oma ke tempat golf!” ujar Nyonya Riana sembari meletakkan sendok ke atas piring bekas makannya.

Semua orang yang berada di ruang makan tampak kaget. Mengajak pergi ke tempat golf, berarti memperkenalkan Irawan dengan sebagian rekan bisnis dan beberapa pemegang saham. Jika sudah sejauh ini, tak akan lama lagi Irawan akan mendapatkan haknya sebagai cucu laki-laki satu-satunya keluarga Dewangga.

Putra keluarga Dewangga, Edo Dewangga, lekas angkat bicara. Kentara sekali jika ia belum bisa merelakan semua untuk dikuasai putranya. “Ma, Irawan masih terlalu muda buat melangkah sampai sejauh itu. Bukannya Mama bilang mau ngenalin Irawan ke orang-orang penting saat umur Irawan udah 20 tahun?”

Mendengar perkataan sang putra, Nyonya Riana tersenyum. Kini, tangan putihnya menggeser piring bekasnya hingga ke dekat piring bekas anaknya.

“Seandainya kamu sedikit lebih berguna, Mama nggak akan sampai berbuat seperti ini. Edo, kamu lihat anak-anak kamu! Mereka semua udah mulai tumbuh dewasa. Tapi kamu ... kamu masih tetep jadi beban di keluarga Dewangga. Jangan kamu kira Mama nggak tahu tentang judi ilegal yang kamu lakuin di Hongkong baru-baru ini. Mama tahu semuanya sampai-sampai Mama pengen ngehancurin kartu keluarga dan ngehapus nama kamu dari daftar ahli waris!” ucap Nyonya Riana sembari membanting piring di atas meja.

Can't Stop [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang