38. Pesta Ulang Tahun Si Kembar

36 6 171
                                    

Irawan keluar dari tempat parkir setelah memarkir motor. Ia melangkah melewati halaman menuju koridor lantai satu. Besok adalah hari ulang tahun palsunya, yang akan dirayakan secara besar-besaran. Sebenarnya tidak tepat jika disebut perayaan ulang tahun. Namun lebih pantas disebut ajang pamer calon pewaris utama untuk meyakinkan para investor dan petinggi Dewangga Group. Sungguh Irawan malas mengikuti skenario neneknya untuk besok malam. Kalau bisa, ia ingin meng-skip hari esok saja dan langsung lompat ke lusa.

Hari ini Irawan membawa sepuluh undangan ke sekolah untuk dibagikan pada teman-teman dekatnya. Tadi pagi setelah sarapan, Pak Karjo memberikannya pada Irawan. Sebelum Irawan berangkat ke sekolah, Nyonya Riana berpesan, agar Irawan juga mengundang Sandrina. Alasannya, tentu agar Sandrina sadar, bahwa Irawan terlalu tinggi untuk digapai gadis biasa sepertinya. Walau mengaku tak mau mengurusi hubungan Sandrina dan Irawan, nyatanya Nyonya Riana tak terima jika sang cucu tetap dekat dengan Sandrina.

“Irawan!”

Tepat saat kaki Irawan hendak menaiki tangga, seseorang memanggil. Ia lekas membalikkan badan dan melihat Vino berjalan ke arahnya.

“Untung ketemu lo di sini,” ujar Vino.

“Ada apa emang?” tanya Irawan heran, melihat sang teman sudah masuk sekolah.

Vino mengeluarkan dua buku dari dalam tas. Kemudian, memberikannya pada Irawan. Di bagian sampul buku tersebut, tampak nama ‘Sandrina Laily’ terpampang dengan rapi. Irawan dibuat lebih heran dan terkejut, mengetahui buku Sandrina ada pada Vino. Namun ia ingat, kalau keduanya akhir-akhir ini cukup dekat. Bahkan sepertinya Vino selangkah lebih dekat dengan Sandrina dibanding dirinya.

“Gue titip ini, ya?! Tolong kasih ke Sandrina!” pinta Vino.

Irawan mengangguk. “Tapi ... kenapa nggak lo kasih sendiri?” Kini Irawan merasa penasaran.

“Gue mau ke rumah sakit buat ngelepas gips. Gue udah izin sama Pak Yudi, kalo gue nggak bisa hadir di sesi jam belajar mandiri pagi dan jam pelajaran pertama sama kedua. Karena jam pelajaran pertama matematika, jadi gue harus ngembaliin dua buku ini ke Sandrina,” jelas Vino.

Irawan memperhatikan dua buku di tangannya. Yang satu buku catatan matematika, yang satunya lagi buku kumpulan rumus matematika dari kelas 10 hingga kelas 11. Sepertinya Sandrina sangat menyukai matematika sampai-sampai menyusun buku rumus matematika sendiri.

“Ir, nilai matematika lo 'kan yang paling payah. Coba deh, lo pinjem buku kumpulan rumus ini! Sandrina nyusunnya rapi dan gampang dipahami.” Vino memberi saran sambil menunjuk salah satu buku di tangan Irawan.

Irawan tahu, Vino bermaksud baik. Sayangnya, fokus Irawan saat ini bukan pada niat Vino memberinya saran tersebut, tetapi lebih ke seberapa dekat Vino dan Sandrina sampai-sampai Sandrina rela meminjami buku-buku tadi. Jika dipikir lagi, sebenarnya Vino dan Sandrina adalah rival untuk masuk Kelas Kompetisi.

“Vino, ayo kita berangkat, Nak!” teriak seorang pria dari dalam mobil yang ada di halaman sekolah.

“Iya, Pa!” balas Vino, ikut berteriak.

“Kalo gitu, gue pergi dulu, Ir!”

Vino menepuk pundak Irawan. Lalu, berlari menuju mobil sang ayah. Irawan melihat kepergian Vino dengan ribuan pertanyaan yang bergelantungan di kepala. Benarkah Vino selangkah lebih cepat darinya? Benarkah ia harus menganggap Vino sebagai saingan? Lalu, bagaimana dengan perasaan Vino? Apakah ia juga menyukai Sandrina? Ah, sial! Pagi-pagi Irawan sudah dibuat bertanya-tanya tanpa tahu jawaban yang pasti.

“Bodoamat!” bisik Irawan, mencoba untuk tak peduli.

Murid laki-laki itu kembali berjalan. Ia menaiki tangga dengan tangan mencengkeram buku-buku milik Sandrina. Gara-gara dua benda itu, ia jadi over thinking dan kesal sendiri. Rasanya Irawan ingin membakar buku-buku tersebut agar bisa melampiaskan rasa kesalnya.

Can't Stop [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang