Vino menuruni tangga bersama beberapa murid lain. Dengan earphone yang melekat pada kedua telinga, pemuda itu berusaha tak mendengar perkataan beberapa orang tentang para murid yang ikut serta di olimpiade. Jujur saja, dibandingkan memusingkan peneror itu, Vino jauh lebih pusing dan tak percaya, bahwa Sandrina menjadi satu-satunya peserta olimpiade yang berasal dari kelas biasa. Nilai matematika Sandrina memang sangat bagus. Namun, tetap saja Vino tak bisa menyembunyikan rasa kecewa akan kekalahannya dari murid perempuan itu.
Dari halaman sekolah, tampak Rio melambaikan tangan padanya dengan tersenyum. Ingat! Senyuman itu hanya senyuman palsu. Melihatnya, Vino semakin kesal. Rasanya ia ingin melarikan diri, tetapi tak tahu harus kemana. Terpaksa, Vino tetap melangkah menuju tempat Rio berada. Tak lupa, ia mematikan musiknya.
“Kenapa mukanya ditekuk gitu? Senyum, dong!” ucap Rio sembari menyentuh ujung bibir mungil sang adik. Vino menyingkirkan tangan Rio pelan. Dengan pencapaiannya yang tak seberapa, bersikap kasar pada Rio akan membuat Vino kehilangan harga diri.
Rio mendekatkan wajahnya pada wajah Vino. Pemuda berkulit putih itu menyipitkan mata dan tersenyum miring. “Pasti nilai evaluasi bulanan lo nggak maksimal,” bisik Rio menebak.
Vino tak bisa berbuat apa-apa selain hanya menahan amarah dengan mengeratkan gigi-giginya. Ia benci cara Rio menatapnya, seolah ia adalah orang paling bodoh di dunia. Padahal jika dilihat, sebenarnya prestasi Vino tak seburuk itu. Vino termasuk jajaran murid dengan nilai bagus yang berada tepat di bawah para murid dari Kelas Kompetisi.
“Gue ada tempat bagus yang cocok buat suasana hati lo saat ini.” Rio memasuki mobil.
Vino memandang sang kakak yang kini sudah mengenakan sabuk pengaman. Ia tak tahu, apalagi yang direncanakan oleh Rio. Yang pasti, pemuda berusia sembilan belas tahun itu akan membuat hidup Vino tak tenang dan merasa rendah diri.
“Tunggu apa lagi? Ayo masuk!” perintah Rio dari dalam mobil.
Vino mengikuti perintah Rio. Ia memasuki mobil dan duduk di samping kemudi. Ada begitu banyak hal yang ditebak oleh Vino. Namun, Vino hanya menebaknya dalam hati.
“Let's go!” ucap Rio seraya melajukan mobil.
Dari bawah pohon samping halaman, Sandrina diam-diam memerhatikan Vino sedari tadi. Sejak melihat Vino dibentak oleh Rio beberapa hari lalu, Sandrina jadi kerap memerhatikan sang ketua kelas. Sosok Vino yang terkenal egois dan ambisius, sesungguhnya adalah sosok yang lemah.
“Lo liatin apa?” tanya Irawan yang entah darimana, tiba-tiba saja sudah berdiri di samping Sandrina dan ikut melihat apa yang Sandrina lihat.
Sontak hal itu membuat Sandrina kaget dan nyaris menyebut nama salah satu binatang. “Anj ... ngagetin aja lo!”
“Lo merhatiin Vino, jangan-jangan lo naksir sama Vino,” tukas Irawan, mencoba menebak.
“Ngaco!” balas Sandrina dengan berjalan meninggalkan Irawan.
“Eh, tunggu bentar!” teriak Irawan mengejar Sandrina.
Sandrina berhenti. Ia menoleh, memandang Irawan. “Kenapa?”
“Nih, duit yang waktu itu!” Irawan memberikan satu lembar uang lima puluh ribuan pada Sandrina.
Sandrina tersenyum. Irawan benar-benar menganggap uang tak seberapa itu sebagai utang. Padahal Sandrina tak berniat menganggapnya utang.
“Nggak usah, Ir!” tolak Sandrina dengan suara lembut.
“Beneran? Tapi gue udah janji mau ganti sepuluh kali lipat!” Irawan masih kekeuh.
Sandrina menghela napas. Ternyata Irawan cukup keras kepala. Gadis itu kemudian mengambil uang di tangan kanan Irawan dan memasukkannya ke kantong seragam Irawan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Can't Stop [END]
Teen FictionSandrina Laily dipaksa menyesuaikan diri dengan keadaan yang berubah drastis. Ia pindah sekolah dan tempat tinggal karena perceraian kedua orang tuanya. Di sekolah barunya, Sandrina mengenal Irawan Pradana Dewangga, seorang murid laki-laki yang suka...