09. Motor Baru dengan Penumpang Tidak Tahu Diri

61 9 31
                                    

Vino membereskan alat tulis dan memasukkannya ke dalam tas. Bel tanda pulang sudah berbunyi sejak tadi. Teman-teman sekelasnya juga banyak yang sudah pulang. Pemuda itu dari tadi sibuk mengerjakan soal matematika yang masih belum dimengerti. Entah di bagian mana yang salah. Vino sendiri tidak paham, padahal ia sudah mengerjakan sesuai dengan rumus dan memasukkan angka-angkanya dengan tepat.

Vino beranjak berdiri dengan malas. Hari ini tidak ada jadwal bimbel, itu berarti ia harus belajar sendiri di rumah. Memang begitulah kegiatan Vino sehari-hari yang membosankan. Sepulang sekolah jika tak ada jadwal bimbel maupun bimbel online, pemuda itu akan tetap belajar habis-habisan. Semua Vino lakukan demi membuang sebutan Produk Gagal dari sang kakak untuknya.

Memiliki saudara kandung yang cerdas di atas rata-rata membuat Vino sangat terbebani. Orang-orang kerap membandingkan mereka dan membuat Vino merasa rendah diri. Sang kakak, Mario Agrata, lulus SMA ketika berumur 16 tahun dan berhasil masuk salah satu universitas terbaik di Inggris. Meski kedua orang tua Vino tak pernah menuntut Vino agar sebaik Rio, akan tetapi Vino merasa harus bisa memberikan sedikit saja rasa bangga pada kedua orang tuanya. Entah itu dengan bisa masuk Kelas Kompetisi atau memenangkan olimpiade antar sekolah. Sayangnya, Vino belum mampu mencapai hal tersebut.

“San, ngeliat kehebatan lo ngerjain soal tadi, kayaknya lo bakal jadi kandidat murid baru di Kelas Kompetisi, deh,” ujar Maya ketika melewati Vino.

“Gue nggak tertarik masuk Kelas Kompetisi,” balas Sandrina enteng.

“Ey, jangan gitu! Kalo lo bisa masuk Kelas Kompetisi, jalan lo buat masuk universitas bergengsi luar negeri bakalan mulus.” Maya menambahkan.

“Mulus semulus ketek Lisa blekping,” sahut Sony sembari tertawa.

Vino begitu ingin masuk Kelas Kompetisi, tetapi Sandrina justru menganggap enteng kelas tersebut. Entah seberapa hebat seorang Sandrina Laily dalam hal akademis. Namun, melihat cara Sandrina mengerjakan soal tadi, Vino jadi was-was, karena saingannya bertambah untuk masuk Kelas Kompetisi.

“Masuk Kelas Kompetisi apa hebatnya? Gue udah lama ditawarin buat masuk ke sana. Tapi gue tolak.” Irawan menimpali sambil berjalan dari belakang mengejar Sandrina, Sony, dan Maya. Ia sengaja menabrak pundak Vino seraya tersenyum miring pada pemuda itu. Perkataan Irawan barusan disambut gelak tawa oleh Sony.

“Sangat tidak manuk akal. Eh, masuk akal.” Sony menanggapi.

Gelagat Irawan ketika memandang Vino seolah menunjukkan, bahwa ia tidak menyukai sang Ketua Kelas yang terkenal ambisius itu. Tentunya Irawan memiliki alasan kuat, mengapa begitu tidak menyukai seorang Malvino Arshaka. Semua termuat dalam satu kisah di hari pertama masuk SMA setahun lalu yang juga melibatkan Dikta, sahabat Irawan yang sudah meninggal.

Vino melihat Irawan dan yang lain keluar kelas. Sejak masuk SMA, kehidupan Vino hanya didedikasikan untuk belajar, belajar, dan belajar. Apa itu bermain? Apa itu berteman? Apa itu hang out? Mohon maaf, Vino tak memiliki waktu untuk hal yang baginya tak berguna.

***

Irawan membuka pintu ruang bawah tanah bersama seorang pria paruh baya. Sudah hampir satu bulan pemuda itu tak mengebut di jalanan. Tentu Irawan sudah rindu membuat masalah lagi dengan motornya. Mumpung Nyonya Riana masih berada di luar negeri, Irawan harus memanfaatkan kesempatan dengan baik.

“Tuan Muda, Nyonya Besar bilang, Tuan Muda nggak boleh motoran lagi!” kata pria yang akrab disapa Pak Karjo.

Irawan meraih tangan Pak Karjo dan memasang wajah memelas. Andalan Irawan tatkala merayu Pak Karjo selaku orang kepercayaan Nyonya Riana untuk mengawasi dan menjaga rumah besar keluarga Dewangga, memang seperti itu. Apalagi Pak Karjo orangnya tidak tegaan. Sebagai sosok yang sudah bekerja di keluarga Dewangga lebih dari 30 tahun, Pak Karjo tentunya mengetahui seluk-beluk keluarga besar itu, termasuk asal-usul Irawan.

Can't Stop [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang