56. Kesalahpahaman Vino pada Sandrina

25 5 18
                                    

Sandrina masuk ke ruang kepala sekolah selepas mengetuk pintu dan mendapat perintah dari dalam ruangan untuk masuk. Gadis itu terlihat santai, meski akan bertemu sang kepala sekolah. Entah ada urusan apa, sampai pria itu ingin bertemu dengan Sandrina secara pribadi. Padahal kalau menyangkut masalah beasiswa atau hal lain, semua sudah jelas dan di pasang di papan pengumuman. Paramitha selaku orang yang menjadi perantara pesan juga tidak memberitahu Sandrina apa-apa selain menyuruhnya untuk datang ke ruang kepala sekolah.

“Sandrina, ayo duduk!” perintah kepala sekolah dengan ramah, seperti biasa.

Sandrina duduk sesuai perintah. Ia menunggu pria yang duduk berseberangan dengannya bicara. Namun, bukannya langsung bicara ke inti, Pak Wahyu malah menuangkan teh hangat untuk Sandrina terlebih dahulu.

“Ayo minum dulu!” Pak Wahyu menyodorkan secangkir teh hangat pada Sandrina.

Sandrina sudah tidak sabar, tetapi ia tetap harus menjaga sopan santun. Walau bagaimanapun, Pak Wahyu adalah kepala sekolahnya. Terpaksa Sandrina meminum teh hangat pemberian Pak Wahyu walau sedikit.

“Oh iya, kemarin mama kamu nyariin kamu sampe nelepon Paramitha berkali-kali. Sebenernya kamu ke mana aja seharian?” tanya Pak Wahyu masih basa-basi, membuat Sandrina semakin tidak tahan.

“Ngerayain ultah temen,” jawab Sandrina dengan mengeratkan gigi-giginya.

“Oh gitu. Lain kali, kalo mau kemana-mana, jangan lupa ngabarin mama kamu! Kasihan mama kamu, kemarin sampe kebingungan nyariin kamu,” tutur Pak Wahyu.

Sandrina menghela napas. Ini sudah berjalan beberapa menit, tetapi sang kepala sekolah masih berputar-putar saja pembicaraannya. Jam belajar mandiri pagi sudah dimulai. Minimal Sandrina harus mengisi daftar kehadiran.

“Pak, jam belajar mandiri pagi udah dimulai dari dua menit lalu. Sebenernya Bapak nyuruh saya ke sini mau ngomong apa?”

Pada akhirnya, Sandrina buka suara. Ah, waktu terus berjalan, tetapi Pak Wahyu masih berputar-putar saja. Ucapan Sandrina memang terdengar tidak sopan. Namun, situasinya sedang tidak memungkinkan untuk banyak basa-basi.

“Maaf, ya, San!” sesal Pak Wahyu.

“Sebenarnya Bapak nyuruh kamu ke sini buat ngasih tahu kamu soal peraturan baru dari yayasan Dewangga. Tadi malem Bapak dapet kabar, kalo murid yang menerima beasiswa harus berada di Kelas Kompetisi agar nilainya tetap maksimal dan pihak yayasan tidak perlu memperbarui data penerima beasiswa tiap akhir semester.” Pak Wahyu menjelaskan.

Sandrina diam sejenak. Otaknya sedang mencerna penjelasan dari Pak Wahyu dan mencoba mencari solusi. Ya, solusi untuk tetap mendapat beasiswa tanpa harus mengikuti peraturan baru dari yayasan Dewangga. Egois? Tentu saja.

Singkat cerita, selepas libur tahun baru beberapa waktu lalu, Sandrina diberitahu oleh Pak Wahyu, bahwa ia akan masuk Kelas Kompetisi mulai semester genap. Sayangnya, Sandrina menolak hal itu dan malah meminta pada Pak Wahyu, agar Vino saja yang menempati kursinya di Kelas Kompetisi. Awalnya Pak Wahyu menolak, sebab hal itu akan membuat murid lain iri jika tahu. Namun, pada akhirnya Pak Wahyu mengiyakan setelah Sandrina berusaha membujuknya. Ya, hubungan Pak Wahyu dan Sandrina bisa dibilang cukup dekat karena hubungan Pak Wahyu dan ibunya Sandrina di masa lalu.

“Untuk masalah ini, Bapak akan berusaha mengaturnya. Yang penting, kamu harus masuk Kelas Kompetisi, kalo kamu ingin mempertahankan beasiswa dari yayasan Dewangga!” cetus Pak Wahyu yang terdengar sangat meyakinkan.

“Pak Wahyu, kalo misalnya aku masuk Kelas Kompetisi tanpa ngeluarin Vino dari sana, apa bisa?” Sandrina masih berusaha menawar.

Pak Wahyu menggeleng. “Nilai Vino adalah yang terendah di antara semua murid di Kelas Kompetisi. Di kuis penambah poin beberapa waktu lalu, Vino mendapat ulasan kurang baik dari wali kelas Kelas Kompetisi.”

Can't Stop [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang