11. Jadi Suami Istri Sehari

61 7 64
                                    

Sandrina memberikan satu botol air mineral pada Irawan. Dengan tangan masih gemetaran dan tubuh penuh keringat dingin, Irawan menerima minuman tersebut. Ia lekas menenggaknya hingga habis. Masuk wahana rumah hantu benar-benar membuat Irawan ketakutan setengah mati. Bukan tanpa alasan, Irawan bisa sampai setakut itu. Ada cerita di baliknya.

Sekitar tujuh tahun lalu, Irawan pernah dikunci kakak perempuan tertuanya, Yenara Camellia Dewangga, di gudang rumah keluarga Dewangga di Beijing. Saat itu, Irawan masih berusia 10 tahun dan baru beberapa hari tinggal di sana. Irawan belum akrab dengan orang-orang di keluarga Dewangga dan masih kerap menangis karena ingin bertemu ibu kandungnya.

Hari itu, Irawan terus berteriak meminta tolong, tetapi tak ada seorang pun yang datang. Ruangan gelap disertai udara musim dingin menemani Irawan hingga tubuhnya tergeletak di atas lantai tak sadarkan diri. Keesokan harinya, Irawan ditemukan oleh ART yang hendak membersihkan gudang. Ketika itu, Irawan ditemukan dalam keadaan tubuh nyaris membeku.

“Ir, lo mikirin apaan?” tanya Sandrina sambil mengibaskan tangan di depan wajah Irawan.

Irawan yang teringat kejadian tujuh tahun lalu seolah ditarik Sandrina untuk kembali tersadar. Barusan, ia tenggelam dalam salah satu kenangan buruknya setelah masuk keluarga Dewangga.

“Eng ... nggak mikirin apa-apa.” Irawan berusaha tak menampakkan ekspresi sendu. Ia mengalihkan pandangan ke arah lain untuk menghindari tatapan mata Sandrina.

Sandrina duduk di samping Irawan dengan sesekali tersenyum. Rasanya, ia tak bisa melupakan ekspresi Irawan saat ketakutan tadi. Sangat menggemaskan. Tak pernah Sandrina duga, seorang Irawan Pradana Dewangga yang menyebalkan memiliki sisi imut dan menggemaskan.

Nadira menarik kaos Sandrina dari belakang setelah menghabiskan es krim. Area bibir gadis kecil itu belepotan oleh sisa es krim, membuat Sandrina harus membersihkannya. Walau sering menunjukkan sikap galak, Sandrina sebenarnya cukup pandai mengurus anak kecil. Diam-diam, Irawan melihat apa yang Sandrina lakukan sambil tersenyum.

“Kak, aku pengen foto sama beruang itu!” kata Nadira sembari menunjuk salah satu maskot taman hiburan yang berdiri tak jauh darinya.

Sandrina bangkit dari zona nyaman untuk mengikuti permintaan Nadira. Dua orang beda usia itu berjalan menuju tempat maskot taman hiburan berada. Sebelum mengambil foto, Sandrina terlebih dahulu mengatur pencahayaan kamera ponselnya agar hasil foto bisa lebih bagus. Padahal Nadira sudah berpose dan siap untuk difoto.

Tiba-tiba saja Irawan menghampiri Sandrina dan memberikan ponsel mahal dan bermereknya pada gadis itu. “Pake HP gue aja!”

Secepatnya Sandrina memasukkan ponselnya ke tas. Disambarnya ponsel Irawan segera. Memang benar, ada harga ada rupa. Setelah memotret Nadira, benda pipih berharga fantastis itu menghasilkan foto yang sangat bagus dan tampak nyata.

“Sekarang, lo berdiri di samping Nadira! Biar gue fotoin!” perintah Irawan.

Sandrina menyerahkan ponsel di tangannya pada si pemilik. Lalu, menghampiri Nadira. Sandrina berdiri di samping Nadira, layaknya seorang ibu yang menemani anaknya berfoto. Sementara Irawan tampak seperti seorang ayah yang mengabadikan momen istri dan anaknya.

Selepas mengambil beberapa jepretan foto, Irawan menunjukkan hasilnya pada Sandrina dan Nadira. Mereka bertiga terlihat kompak, seperti keluarga kecil bahagia.

“Sekarang giliran aku yang fotoin Kak Irawan sama Kak Sandrina.” Nadira berucap tiba-tiba.

“Hah?” Sandrina dan Irawan terlihat kaget dan saling menatap.

“Aku sering disuruh ayah buat ngambil fotonya sama bunda,” papar Nadira dengan ekspresi polos khas anak-anak.

Sandrina mencubit Irawan. “Ini anak kecil nyuruh kita jadi pengganti ayah sama bundanya beneran.”

Can't Stop [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang