02. Irawan Pradana Dewangga dan Keluarga Dewangga

110 10 78
                                    

Irawan menyandarkan kepala ke puncak kursi penumpang. Setelah melarikan diri dan membeli sebuket bunga, pemuda itu menatap jalan raya yang tampak ramai. Matanya berkaca-kaca dengan tangan mencengkram buket bunga. Kejadian satu tahun lalu kembali terlintas di otak, seolah baru saja terjadi. Darah segar berceceran di seragam putih abu-abunya yang baru dikenakan di hari pertama masuk SMA.

Tanpa terasa, air mata Irawan jatuh setelah ditahan dengan susah payah beberapa saat. Secepatnya jari-jari putih laki-laki itu mengusapnya kasar. Akan memalukan jika ada orang yang melihat seorang Irawan Pradana Dewangga menangis. Reputasi Irawan sebagai sosok yang keren akan ternodai.

Beberapa saat kemudian, taksi yang ditumpangi Irawan berhenti di depan sebuah TPU. Irawan membayar ongkos dan lekas turun dari taksi. Kakinya melangkah memasuki area TPU. Semilir angin menemani perjalanan Irawan menuju tempat peristirahatan terakhir seseorang.

Irawan menghentikan langkah di depan sebuah gundukan tanah yang berhiaskan beberapa buket bunga yang masih segar. Pemuda itu meletakkan buket bunga di tangannya ke samping batu nisan.

“Dik, nggak kerasa, ya, udah setahun kita nggak main basket bareng,” kata Irawan, berusaha menahan air mata.

Tangannya meremas pakaian yang dikenakan dengan gemetar. Tepat setahun yang lalu, sosok sahabat yang sangat disayangi pergi untuk selamanya. Sosok yang sudah Irawan anggap layaknya saudara.

“Sorry, gue ke sini dengan pakaian kayak gini! Gue nggak sempet ganti baju. Pasti tampang gue sekarang kayak orang gila yang kabur dari RSJ.” Irawan tersenyum dengan mata berkaca-kaca.

Tak lama berselang, seseorang datang. Irawan langsung membalikkan badan, menyadari hal itu. Seorang murid laki-laki berdiri tepat di depan Irawan dengan sebuket bunga di tangan. Mata Irawan dan pemuda itu saling bertemu tatap sampai beberapa detik.

Tanpa mengucapkan sepatah kata, Irawan melangkah melewati laki-laki yang seumuran dengannya tersebut.

“Irawan!” panggil pemuda tadi.

Pemilik nama menghentikan langkah, tetapi tidak melihat orang yang memanggil namanya.

“Gimana keadaan lo?” tanya laki-laki tinggi itu.

Sebuah pertanyaan yang terdengar peduli dan khawatir. Sebagai seorang yang pernah dekat, sosok tersebut masih peduli dengan Irawan meski kini hubungan keduanya tak lagi seperti dulu. Ia tahu benar, Selama liburan, Irawan menghabiskan waktu dengan ikut balapan liar. Tidak ada alasan di balik keinginan Irawan mengikuti hal berbahaya itu. Kata Irawan, ia hanya ingin membuat masalah saja.

“Bukan urusan lo!” balas Irawan yang kemudian kembali berjalan.

Sungguh Irawan membenci pemuda tadi. Setelah semua yang terjadi, sosok yang pernah bersahabat dengan Irawan itu bersikap seolah tidak terjadi apa-apa. Apalagi merasa bersalah. Sikap egois dan pengecutnya membuat persahabatan mereka hancur dalam sekejap.

“Sialan! Hari ini gue nggak masuk sekolah biar nggak liat muka dia. Tapi malah ketemu di sini.” Irawan berbisik kesal.

***

Sore telah datang. Sinar matahari yang berwarna jingga memasuki jendela kaca sebuah ruangan yang agak berantakan. Di sana, ada Irawan yang tengah tidur pulas layaknya gembel yang tak memiliki tempat tinggal. Padahal memiliki rumah besar dan mewah, tetapi Irawan lebih memilih menghabiskan sebagian waktunya di bengkel milik salah satu kenalannya.

“Ir, bangun! Gue mau tutup,” ucap seorang pria berusia akhir dua puluhan sambil membereskan ruangan. Tak lupa, ia melempar beberapa botol ke tubuh Irawan yang masih terbaring nyaman di sofa.

“Cepet bangun!” Kini, lelaki yang akrab disapa Dodi itu menarik kaki panjang Irawan.

Aksi Dodi kali ini berhasil membuat Irawan bangun. Meski sudah bangun, Irawan tetap tidak mau berpindah posisi.

Can't Stop [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang