Sandrina, Sony, Yeslyn, Paramitha, dan Pak Wahyu memasuki sebuah gedung pertemuan bersama beberapa murid lain dari SMA Mahardika dan SMA lain. Mereka datang untuk memberikan dukungan pada para peserta yang mewakili sekolah untuk kompetisi pidato bahasa asing. Pak Wahyu tampak sangat antusias, sampai-sampai membawa banner bertuliskan SMA Mahardika, jiayou!
Sebenarnya Paramitha sudah memperingatkan sang ayah agar tak berbuat hal aneh. Namun, pria itu tampaknya tak mau mendengar perkataan sang putri. Ia malah membawa banner berukuran besar untuk memberikan semangat pada para peserta. Karena hal itu, sejak berangkat tadi Paramitha terus menggerutu.
“Anak-Anak, ayo bantu Bapak pegang banner!” perintah Pak Wahyu setelah duduk di tempat yang sudah disediakan.
Sony, Sandrina, dan Yeslyn dengan sigap langsung melaksanakan perintah. Sementara Paramitha malah menjaga jarak dari sang ayah. Ia yakin, saat kompetisi dimulai nanti, pasti sang ayah akan berbuat hal yang membuatnya malu.
“Terima kasih, Anak-Anak!” ucap Pak Wahyu setelah banner tertata rapi.
“Sama-sama, Pak!” balas Sony, Sandrina, dan Yeslyn bersamaan.
Tak lama kemudian, kompetisi pidato bahasa asing antar SMA dimulai. Ada banyak juri yang siap menilai para peserta dengan jujur dan terbuka. Bahkan wali kota juga ikut andil menjadi juri. Sebelum peserta pidato bahasa asing pertama tampil, para peserta kompetisi berdiri di panggung untuk mendapatkan nomer urut peserta.
Vino dan Irawan kebetulan berdiri berdampingan. Keduanya melihat ke area penonton dan menangkap penampakan Pak Wahyu bersama teman-teman satu sekolahnya. Irawan melihat Sandrina tersenyum dan mengacungkan jempol ke arahnya. Ya, awalnya Irawan mengira itu untuknya, tetapi ia salah besar. Ternyata acungan jempol tersebut untuk Vino yang berdiri di sampingnya. Ah sial, rasanya mood Irawan langsung memburuk. Untung saja di samping Sandrina ada Yeslyn yang tersenyum padanya, seolah berkata lo pasti bisa.
Sejujurnya, Irawan sangat malas ikut serta dalam kompetisi semacam ini. Ia bahkan sudah berencana tak datang. Sayangnya, sang nenek mengetahui bahwa Irawan ditunjuk untuk mewakili sekolah sebagai peserta kompetisi pidato bahasa Mandarin. Alhasil, wanita itu memaksa Irawan untuk tetap ikut serta dan tidak boleh coba-coba melarikan diri.
Setelah mendapat nomer urut peserta, Irawan kembali melihat ke arah Sandrina. Kebetulan saat ini Vino sibuk mengambil nomer urut peserta, jadi Irawan tak akan salah paham lagi seperti tadi. Layaknya sebuah kebetulan, ketika Irawan melihat Sandrina, Sandrina juga melihat Irawan. Namun, Sandrina tak mengacungkan jempol padanya. Malah mengacungkan jari tengah.
“Dasar cewek gila! Giliran Vino, dikasih jempol!” gumam Irawan kesal.
Sony yang sejak tadi memperhatikan Irawan dan Sandrina hanya tertawa. Ia yakin, saat ini Irawan pasti ingin mengamuk, tetapi masih berusaha menahan diri.
“Adik Ipar!” teriak Sony, yang kini juga mengacungkan jari tengah pada Irawan.
Irawan hanya bisa berdecih melihatnya. Setelah selesai dengan tugasnya nanti, ia berencana mengajak Yeslyn pulang agar Sony tak bisa menghabiskan banyak waktu bersama Yeslyn.
Selepas semua peserta mendapat nomer urut, kompetisi dimulai dengan pidato sambutan dari wali kota dalam empat bahasa, yaitu bahasa Inggris, bahasa Mandarin, bahasa Jepang, dan bahasa Jerman. Sementara para peserta turun dari panggung untuk menunggu panggilan tampil dan duduk di tempat khusus peserta yang berada di samping panggung.
Ketika Irawan dan Vino hendak duduk berdampingan, mendadak Imey datang dan menyerobot. Gadis itu langsung duduk di kursi samping Irawan dengan wajah tanpa dosa. Karena hal tersebut, Vino jadi harus pindah tempat duduk.
KAMU SEDANG MEMBACA
Can't Stop [END]
Ficção AdolescenteSandrina Laily dipaksa menyesuaikan diri dengan keadaan yang berubah drastis. Ia pindah sekolah dan tempat tinggal karena perceraian kedua orang tuanya. Di sekolah barunya, Sandrina mengenal Irawan Pradana Dewangga, seorang murid laki-laki yang suka...