Suasana SMA Mahardika masih tampak tenang dan sepi. Benar saja, karena Vino sampai di sekolah jam enam lebih lima belas menit. Murid laki-laki itu memang berangkat lebih pagi dari biasanya, karena sopir keluarganya sedang libur. Jadi, hari ini Vino berangkat ke sekolah bersama sang ayah yang punya jadwal operasi pagi di rumah sakit.
Vino menaiki tangga menuju lantai dua. Langkah kakinya terdengar nyaring. Mata pemuda itu melihat area sekitar, seolah memastikan sesuatu. Dalam keheningan, Vino membayangkan dua murid laki-laki lain berjalan bersamanya. Meski selalu terlihat sendiri, sebenarnya Vino pernah tahu bagaimana rasanya memiliki sahabat. Sosok sahabat yang menyayangi dan melindunginya hingga akhir.
“Yang masuk kelas paling belakang, harus bayarin makan siang!” teriak seorang pemuda dengan tersenyum ceria berlari mendahului Vino.
Vino tersenyum tatkala bayangan Dikta, sahabatnya, layaknya sosok Dikta yang masih hidup setahun lalu. Namun, perlahan bayangan Dikta memudar seiring dengan kembalinya kesadaran Vino, bahwa apa yang ada di hadapannya hanya ilusi belaka.
Vino mengepalkan tangan kuat. Entah sampai kapan, ia akan terus seperti ini. Hidup dalam kesepian dan rasa bersalah. Meski sudah satu tahun berlalu, rasanya kejadian malam itu terus menghantuinya.
“Dik, lo pasti benci sama gue.” Vino bergumam.
Sesampainya di kelas, Vino disambut oleh keheningan. Belum ada satupun yang datang selain dirinya. Ia melangkah menuju loker untuk mengambil buku latihan yang memang sengaja ditinggal di sekolah. Sebelum membuka pintu loker, pemuda berkulit putih itu melihat tempat duduk kosong yang biasa ditempati Irawan.
“Dulu, kita sedeket itu. Sekarang, kita kayak orang asing,” bisiknya.
Vino memang terlihat tak peduli pada sekitar. Setiap hari, ia hanya bergelut dengan buku-bukunya. Hati orang memang tak mudah ditebak. Begitu pula dengan isi hati Vino.
Reputasi seorang Malvino Arshaka di sekolah sebagai si gila belajar dan nilai tinggi membuat beberapa orang kurang menyukainya. Ketika ada PR, Vino akan dengan senang hati mengingatkan sang guru agar PR tersebut dibahas atau dikumpulkan, meskipun teman satu kelasnya saling kong kalikong tak ingin mengerjakan dan mengumpulkannya.
Vino membuka pintu loker dengan perasaan was-was. Seperti biasa, di akhir bulan setelah tanggal 20, sepucuk surat menyambutnya. Jangan pikir itu adalah surat cinta. Sebab setiap kedatangan surat itu, Vino akan merasa seperti diingatkan tentang kejadian setahun lalu. Sudah sekitar sepuluh bulanan, pemuda itu rutin menerima surat yang kadang diselipkan ke dalam loker, bahkan laci mejanya.
Vino membuka surat tersebut. Tampak sebuah foto sepatu penuh darah. Vino mengenal sepatu itu, sebab itu adalah sepatu milik Dikta. Tangannya sedikit gemetar melihat penampakan foto tadi. Namun, Vino tetap berusaha tenang dan tak menunjukkan rasa gugup atau takut. Ia tak boleh lengah atau terganggu. Lebih baik mengabaikannya saja.
Beberapa saat kemudian, seorang gadis memasuki kelas sambil memegang perut. Vino segera memasukkan barang di tangan ke dalam tas. Ia kembali pada rencana semula, yaitu mengambil buku tugas. Selepas itu, berjalan ke tempat duduknya.
“Ketua Kelas! Gue izin nggak ikut sesi belajar mandiri pagi, ya?” Murid perempuan tadi menghampiri Vino yang mulai membuka buku.
Vino memandang wajah gadis itu dengan seksama. “Kenapa emang?”
“Gue sakit perut,” jawab murid perempuan tersebut yang tak lain adalah Maya.
Vino mengangguk pelan sebagai balasan. Kemudian, Maya keluar kelas, membuat Vino kembali menjadi satu-satunya penghuni kelas lagi. Selang dua detik, ponsel Vino bergetar. Sebuah pesan datang dari nomer yang tak pernah Vino simpan. Namun, Vino hampir hafal nomer itu, karena kerap mengirim pesan tak jelas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Can't Stop [END]
Novela JuvenilSandrina Laily dipaksa menyesuaikan diri dengan keadaan yang berubah drastis. Ia pindah sekolah dan tempat tinggal karena perceraian kedua orang tuanya. Di sekolah barunya, Sandrina mengenal Irawan Pradana Dewangga, seorang murid laki-laki yang suka...