"Jadi, bagaimana? Menurut sampeyan, Aila putri saya seperti apa?"
Rama menghela napas, ia pikir pertanyaan itu sudah terlupakan setelah derai tawa barusan, siapa sangka ternyata Kyai Ikmal masih ingin membahasnya.
Rama tertegun, namun tetap fokus mengemudi menuju arah pulang ke pondok pesantren Darul Hikmah.
Ning Aila ya?
Bagaimana ya cara ia mendeskripsikannya?Semua orang tentu tahu siapa sosok Ning Aila, di lihat dari banyaknya para Gus yang mengajukan lamaran kepada Kyai Ikmal untuk menjadikannya sebagai istri, namun semua di tolak oleh Ning Aila.
Terlepas dari gelar "Ning" yang tersemat pada namanya. Aila sendiri adalah perempuan tangguh, pekerja keras, dan juga hebat. Kariernya menjadi seorang dokter juga tidak perlu di ragukan.
Ning Aila nyaris mendekati kata "sempurna" di mata semua orang, termasuk Rama sendiri. Kenapa ia mengatakan jika Ning Aila nyaris "sempurna" ? Tentu saja karena kesempurnaan hanya milik sang pencipta saja.
"Piye Ram? Cantik ndak?"
Rama berdeham. Ia pernah melihat wajah Ning Aila tanpa cadar saat menginjak kelas satu SMA, setelah itu Ning Aila memutuskan untuk bercadar sampai sekarang.
Sungguh, ia akui jika Ning Aila memiliki paras yang cantik kala itu, dan ia yakin jika sampai sekarang pun masih sama.
Rama hanya mengangguk kaku. Cari aman takut-takut ia salah bicara dalam mendeskripsikan Ning Aila, di depan ayahnya.
Kyai Ikmal mengangguk, dengan senyum tipis di wajahnya. "Ram, jika sekiranya sampeyan di jodohkan dengan putri saya, apa sampeyan bersedia?"
Rama hampir saja mengerem mobil di tengah jalan, jika saja ia tidak ingat tengah membawa orang yang sangat di hormatinya. Bagaimana tidak, Kyai Ikmal baru saja mengatakan hal yang sangat tidak mungkin terjadi. Lagi pula, mengapa Ning Aila harus di jodohkan dengannya yang bukan dari kalangan Gus atau Kyai, mengapa tidak di jodohkan dengan keluarga yang setara?
"Ah, Yai mana mungkin Ning Aila di jodohkan dengan saya? Saya bukan siapa-siapa Yai," di akhir kalimatnya, Rama terkekeh pelan, sungguh ia masih mengira jika Kyai Ikmal tengah bercanda dengannya.
Kyao Ikmal mengerutkan kening, "Lho, saya serius Ram. Saya ingin menjodohkan Aila dengan sampeyan."
Deg!
Hah, demi apa?
Mimpi apa ia semalam, kenapa Kyai Ikmal ingin menjodohkan ia dengan putrinya?
Pembicaraan mereka berakhir, saat mobil yang di kemudikan oleh Rama sudah masuk ke dalam gerbang pondok pesantren Darul Hikmah. Karena ini juga, Rama akhirnya bisa bernapas lega beberapa detik.
Karena setelahnya Kyai Ikmal memintanya datang ke ndalem saat jam makan malam, tepatnya ba'da isya nanti.
Sungguh Rama berharap, jika semua yang terjadi hari ini adalah mimpi belaka. Rama benar-benar merasa sangat tidak pantas bila harus bersanding dengan Ning Aila yang sangat jauh di atasnya dalam segala hal.
"Inggih Yai. Insya allah, saya akan datang." ucapnya seraya memberikan kunci mobil kepada Kyai Ikmal, seraya menyalami punggung tangan sang guru.
Kyai Ikmal balas menepuk punggungnya. "Hm, sampeyan istirahat saja dulu nggih."
"Inggih Yai. Saya pamit undur diri, Assalamualaikum."
"Waalaikumsallam warahmatullah .... " balas Kyai Ikmal yang tersenyum menatap punggung pemuda yang kian menjauh dari pandangannya.
Saya yakin, sampeyan orang yang tepat untuk Aila, Ram. Batinnya berucap, ia sungguh menaruh harapan besar kepada pemuda bernama lengkap Ramadhan Althaf Bayu itu.
*****
Rama menempati janjinya untuk datang ke ndalem, meski terlambat datang pada pukul sembilan malam karena ada rapat di ruang guru. Rama yang sudah tiba beberapa saat lalu bersama Kyai Ikmal, kini tengah duduk bersama dengan keluarga ndalem, termasuk Aila juga.
“Nduk. Masih mau sendiri?” Kyai Ikmal bertanya kepada sang putri.
Aila mengernyitkan dahinya, “Kenapa Baba?” tanyanya.
“Umur kamu sudah 28 tahun nduk. Apa belum ingin menikah?”
Aila menghela napas, “Baba sudah janji lho, ndak akan ikut campur dalam kehidupan asmara Aila,” gerutunya kesal.
“Lho, lho. Kamu sendiri dulu janji ke Baba, jika Baba tidak ikut campur dalam urusan jodoh sampai kemu berusia 25 tahun. Begitu kan?”
Aila terdiam. Ia terjebak omongannya sendiri! Aish! Ia mengutuk waktu yang berjalan sangat cepat. Ia menatap sang ibu dengan wajah memelas, namun sang ibu malah menggelengkan kepalanya.
“Apa? Kamu mau cari pembelaan dari Umi? Umi dan Baba sejak kecil mengajarkan kamu dan Fikron untuk menempati janji,” papar Kyai Ikmal.
“Betul!” Fikron menyahut, dan itu sukses membuat sang kakak mendelik tajam.
Aila memijat pelipisnya. Haruskah ia mengatakan jika dirinya sudah memiliki seseorang yang di cintainya? Tapi, setelah itu apa? Babanya pasti akan melamarkan pria itu untuknya?
Sukur-sukur kalau pria itu juga mencintainya, dan mau menerimanya. Jika tidak? Bukankah dirinya beserta keluarga yang akan malu?
"Yo wes. Jadi, Baba mau menjodohkan Aila dengan siapa? Dengan Gus darimana?"
"Bukan seorang Gus. Baba memiliki calon sendiri untuk kamu."
Ucapan Kyai Ikmal barusan mengundang tanya dari semua anggota keluarga. Ibu Nyai Shilla juga tampak terkejut, pertanda jika ia juga tidak tahu apa-apa tentang ini.
"Siapa Ba?" tanya Fikron.
Semua orang menjadi sangat penasaran, berbeda dengan Rama yang tengah berdebar, berharap bukan nama dirinya yang di sebut oleh Kyai Ikmal.
Bukan, ia bukannya tidak menginginkan Ning Aila. Hanya saja, rasanya ia sangat tidak pantas bersanding dengan Ning Aila, seorang Ning yang berprofesi sebagai dokter bedah di rumah sakit yang cukup besar, sedangkan dirinya hanyalah seorang anak petani.
Ia menelan salivanya, berharap jika Kyai Ikmal tidak serius dengan ucapannya saat di perjalanan tadi.
Kyai Ikmal meneguk kopi buatan istrinya dengan tenang, tidak mempedulikan tatapan penuh tanya dari istri dan kedua anaknya. "Ada. Dia orang yang tepat untuk mendampingi puri Baba yang cantik ini."
Aila geregetan sendiri, bisa-bisanya Babanya itu bersikap tenang padahal semua orang sudah sangat penasaran dengan orang yang akan menjadi suaminya kelak. "Ya siapa Baba? Apa kami semua mengenalnya?"
Tatapan matanya menatap kepada pemuda yang tengah menunduk menatap lantai, Kyai Ikmal tersenyum sendiri apakah pemuda itu tengah gugup?
"Baba? Siapa orangnya?" kali ini Fikron yang bertanya. Demi apa pun, kenapa Babanya ini lama sekali mengatakan siapa nama laki-laki itu.
Ashilla juga sama penasaran, ia juga menunggu sang suami segera mengatakannya.
"Rama. Orang itu adalah Rama." ucapnya.
Deg!
Rama mengangkat wajah, tatapannya bertemu dengan Kyai Ikmal yang tersenyum kepadanya.
Jadi, ucapan Kyai Ikmal itu benar? Ia benar-benar di jodohkan oleh Ning Aila?
Sama seperti Rama yang terkejut dengan ucapan Babanya, Aila juga sama. Jadi, orang yang di jodohkan dengannya adalah Mas Rama? Pria yang saat ini duduk bersama dengan mereka di sini?
Kepala Aila mendadak pening.
KAMU SEDANG MEMBACA
AILA & RAMA [TERBIT] ✓
General FictionDi zaman sekarang, zaman serba modern ini apakah perjodohan masih berlaku? Tentu saja, seperti yang terjadi pada Myiesha Aila Rizqiyana, seorang dokter bedah bergelar Ning, dari pondok pesantren besar di jogjakarta. Di tengah puncak kariernya ia jod...