AILA MODE BUCIN

11.6K 572 90
                                    

Rama tidak langsung pulang ke rumah, ia justru mampir dulu ke tempatnya Bagas, seperti biasa saat ia kesana Alexa sudah tidur lelap, tentu saja setelah membuat Bagas kewalahan dengan tingkah ibu hamil itu.

Keduanya berada di ruang tamu milik Bagas, duduk di sofa panjang bersama dengan keadaan suasana yang cukup serius. "Ram, saya dapat laporan dari Reksa jika 'mereka' sudah mulai ada pergerakan."

Rama menghela napas, memang Reksa sudah mengintai 'mereka' semua sejak lama, dan akhirnya Reksa berhasil melacak markas tetap tersebut. "Apakah titik lokasinya sudah pasti?"

"Sudah Ram."

Rama kembali mengangguk. "Oke. Kita berangkat besok malam. Aila juga kebetulan besok ada jadwal jaga malam."

Seraya mengerutkan kening, Bagas menjawab: "Apa tidak terlalu cepat Ram?"

Rama menggeleng, ia menyandarkan tubuhnya ke sandaran sofa. Tatapan matanya menatap Bagas dengan tegas, "Lebih cepat, lebih baik bukan? Selesai misi ini, kita resmi keluar. Saya ingin hidup tenang Gas, dan saya yakin sampeyan juga begitu."

Benar kata Rama, Bagas juga ingin hidup tenang dan damai bersama Alexa, dan juga calon bayi yang tengah di kandung oleh Alexa. "Oke. Sekarang tim kita hanya tersisa empat orang, karena Alexa sudah resmi keluar setelah misi kemarin."

"Iya, sisa kita, Reksa, dan Gilang." Rama menepuk bahu sahabatnya. "Masuk gih, saya juga mau pulang. Besok kita berangkat bareng dari sini, Gilang dan Reksa akan menunggu di markas."

"Hm, sampeyan hati-hati di jalan ya,"

"Inggih, Assalamualaikum."

"Waalaikumsallam,"

Rama melajukan mobilnya meninggalkan kompleks perumahan Bagas. Sebenarnya ia sudah lama sampai di jogja, namun ia tidak langsung pulang karena Reksa, dan Gilang rekan satu tim mereka meminta bertemu dan bersiap melakukan misi secepatnya, dan keputusan Rama mereka akan berangkat besok.

Ia melirik ponsel miliknya yang sudah kehabisan daya, sementara satu ponselnya yang biasa ia gunakan untuk menghubungi rekan dan khusus untuk pekerjaannya itu berdering, ada sebuah email masuk dari Reksa yang mengirimkan lokasi keberadaan orang yang mereka cari.

Rama mencengkeram kemudinya, ia tak sabar ingin menyelesaikan misi ini, dan hidup dengan normal bersama—Aila.

Tak butuh waktu lama, ia akhirnya mulai memasuki kompleks perumahan tempat tinggalnya, memasukkan mobil pada garasi unit rumah miliknya.Lantas mengantongi kedua ponselnya sebelum turun dari mobil dan menguncinya. Waktu sudah menunjukkan pukul satu malam ia yakin Aila sudah tidur, beruntung ia selalu membawa kunci cadangan, jadi ia tidak perlu khawatir jika pulang malam.

Baru saja ia hendak memasukkan kunci yang di pegangnya pada lubang kunci, ia terkejut saat pintunya sudah terbuka dan memunculkan Aila yang memakai atasan mukena tanpa cadar. Belum hilang keterkejutannya, ia kembali di kejutkan dengan Aila yang memeluk pinggangnya dan menempelkan wajahnya di dada bidangnya seraya menangis.

Rama bertanya-tanya dalam hati, kenapa Aila tiba-tiba seperti ini? Apa ia tengah mimpi buruk? Atau jangan-jangan istrinya ini menunggunya pulang?

"Mas ... Jangan--jangan tinggalkan aku ya Mas. Aku ndak mau kehilangan Mas Rama .... "

Rama melepaskan pelukannya, lalu menangkup wajah sang istri yang memerah dan basah oleh air mata, tangannya terulur menyeka air mata di wajah sang istri. “Kenapa hm? Ning Ayu mimpi buruk?”

Aila menggeleng, menikmati usapan lembut tangan Rama yang menyeka air matanya.

“Terus kenapa? Ning Ayu belum tidur?”

“Sudah Mas,” ia menjawab dengan suara serak dan isakan pelan. “Baru selesai shalat malam,” imbuhnya.

Rama menghela napas, masih menatap sang istri dengan teduh. "Sudah nggih, jangan menangis. Sayang lho air matanya, dari tadi ndak berhenti-berhenti." bujuknya.

Bukannya berhenti, tangis Aila malah semakin kencang, dan membuat Rama panik. "Lho, lho, wes toh jangan menangis. Nanti di kira tetangga yang nangis penunggu pohon depan. Sudah ya, Ning Ayu .... "

Aila masih menangis, sungguh ia merasa sangat beruntung di satukan denhan pria sebaik Rama. Jika bukan Rama, akankah ia tetap di perlakukan dengan baik seperti ini setelah semua penolakan yang di lakukannya?

Rama bahkan masih memanggilnya dengan sebutan 'Ning Ayu' dengan nada yang begitu lembut. Sungguh, kenapa ia baru menyadarinya sekarang?

Menyadari jika pilihan Babanya adalah yang terbaik, dan tidak pernah mengecewakannya.

Rama adalah pria yang tepat, yang mampu mengimbangi keras kepalanya dengan kesabaran yang tidak ada habisnya. Rama berhasil membuatnya jatuh cinta, sejatuh-jatuhnya.

"Ayo masuk dulu ya. Nangisnya di dalam saja ya Ning Ayu,"

Aila mengangguk, tanpa melepaskan kedua tangannya yang melingkari pinggang sang suami.

"Tapi lepas dulu tangannya dari pinggang Mas ya?"

"Ndak mau," ucapnya dengan nada yang terdengar parau.

Rama terkekeh pelan, "Piye toh? Nanti susah jalannya Ning Ayu." Sungguh ia tidak pernah membayangkan akan berada di momen ini, momen di mana ia dan Aila saling bercengkerama dengan begitu dekat seperti ini.

"Sambil pelukan ajaa," rengeknya.

Rama tidak bisa lagi menahan tawanya, ia tertawa seraya menarik hidung mancung Aila dengan lembut.  "Ya ndak bisa dong Ning Ayu. Apa Mau mas gendong aja?"

Tentu saja itu adalah opsi yang menguntungkan juga bagi Aila, sungguh ia benar-benar tidak mau berjauhan dengan Rama. "Huum," jawabnya seraya menganggukkan kepalanya.

Rama terkekeh gemas, memberikan kecupan singkat pada puncak kepala Aila. "Owalaah kenapa toh manja sekali, hm?"

Aila mencebikkan bibirnya, "Ya kenapa, memangnya ndak boleh ya kalau--"

"Boleh. Boleh sekali Ning Ayu. Jadi, beneran mau di gendong?"

"Iya Mas."

"Oke, siap tuan putri!" kekehnya, lalu ia menggending Aila dengan ala brydal style. Sungguh rasanya ia ingin menghentikan waktu agar bisa terus bersama seperti ini.

Aila mengalungkan kedua tangannya pada leher Rana, wajah suaminya terlihat berkali-kali lebih tampan saat di lihat dari dekat seperti ini. Jantungnya langsung bertalu-talu dengan kencang, ya ia yakin telah jatuh cinta sepenuhnya kepada Rama.

Rama mendudukkan Aila di atas sofa ruang tamu. "Tunggu sebentar nggih, Mas mau tutup pintu dulu."

Aila mengangguk, "Inggih, Mas."

AILA & RAMA [TERBIT] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang