MASA NGIDAM RAMA

12.3K 531 52
                                    

"Ugh! Huweek!!"

Beginilah hari-hari di kediaman Rama dan Aila. Setiap hari, Rama terus memuntahkan cairan dari dalam perutnya membuat Aila sering menangis diam-diam saat sang suami sudah terlelap.

Sungguh, rasanya tidak tega sekali melihat Rama yang biasa tersenyum, dan menggodanya menjadi sangat lemas dan menderita seperti itu.

Aila mengusap air mata yang jatuh membasahi wajahnya, lalu memijat tengkuk suaminya yang masih mengeluarkan semua makanan yang di cernanya hari ini.

Setelah cukup lama, Rama akhirnya berkumur dan membasuh wajahnya pada keran wastafel di dapur.

"Udah baikan Mas? Aku bawain air hangat ya buat kamu."

Rama menggeleng, membiarkan Aila memapah tubuh lemasnya ke sebuah sofa di ruang ramu.

"Lemes banget Yang .... " keluhnya seraya menyandarkan kepalanya yang masih terasa pusing itu ke bahu istrinya.

Aila mengulum bibirnya, menahan agar dirinya tidak menangis di hadapan suaminya. Ia membelai rambut suaminya yang sudah terlihat sangat lemas, dan lelah itu.

Semasa usia kehamilannya, banyak hal yang berubah dari Aila yang nafsu makannya meningkat, sampai Rama yang mengalami ngidam. Rama yang biasanya menjadi sosok yang mandiri, dan terbiasa mengerjakan seluruh pekerjaan rumah, menjadi sangat manja seperti ini.

Aila bersyukur karena Umi Shilla, dan Amih Ayana bergantian mengunjungi, serta membantu Aila dalam mengurus rumah. Mereka juga menawarkan agar Aila memakai jasa ART sementara, untuk membantunya. Karena baik Umi Shilla dan Amih Ayana tentu tidak bisa sering-sering mengunjunginya karena memiliki kesibukan sendiri di pondok pesantren.

Seperti biasa, Rama akan berbaring di atas pangkuan Aila dengan kepala yang menghadap pada perut Aila. "Maaf ya Ning Ayu, Mas ngerepotin kamu terus .... "

Bagaimana Aila tidak ingin menangis, suaminya ini masih saja meminta maaf kepadanya. Seharunya ia yang meminta maaf karena membuat suaminya kerepotan mengalami semua ini yang seharusnya di tanggung olehnya, justru malah di tanggung oleh Rama.

Sungguh, Aila merasa sangat bersalah sekali, dari dulu selalu Rama yang berjuang, yang kesakitan, dan banyak berkorban untuknya.

"Aku yang minta maaf Mas. Harunya Mas nggak harus mengalami ini semua," katanya seraya memberikan usapan pada rambut Rama.

Rama bergerak, kini wajahnya mendongkak menatap wajah Aila yang memerah karena tangis. Perasaan bersalah, di tambah lagi karena hormon kehamilan membuatnya sangat mudah sekali menangis.

Rama mengulurkan tangannya, mengusap wajah Aila yang basah. "Nggak apa-apa. Kamu nggak perlu minta maaf sayang, Mas malah bersyukur Mas yang mengalami ini semua."

Aila semakin terisak.

"Mas nggak bisa membayangkan, jika semua yang Mas alami ini terjadi kepada kamu. Kamu juga sudah kesusahan dengan mengandung kedua calon buah hati kita, kalau kamu mengalami ini semua, Mas nggak akan tega rasanya Yang."

Aila terisak. Lihatlah, betapa beruntungnya ia di cintai sebesar ini oleh Rama, suaminya. Betapa beruntung dirinya memiliki suami seperti Rama yang selalu memperhatikannya.

"Sudah ya, jangan menangis. Malu dong sama baby twins."

"Bangun dulu Ram. Minum dulu nih air hangatnya, kamu ini ngerepoti Ning Aila terus!"

Rama mencebik saat Uminya memarahi dirinya yang tengah bermanja-manja pada Aila. Ya, Umi Desi dan Pak Syahrul, kedua orang tua Rama sudah seminggu berada di rumah Rama untuk membantu Aila.

"Bangun Ram." Umi Desi kembali berucap.

Dengan penuh rasa terpaksa, Rama bangkit dari posisinya dan mengambil segelas air hangat yang di bawakan oleh Uminya. "Mual banget Mi," keluhnya kepada sang Ibu.

Umi Desi berdecak, "Minum dulu. Kamu mau sampai kapan bikin Ning Aila repot terus hah?"

Rama menurut, lalu meminum air hangat itu hingga bersisa setengah gelas. "Hmmp!" Rama meletakkan gelas itu di atas meja, dan berlari kembali menuju wastafel memuntahkan kembali apa yang ia cerna barusan.

Ugh! Rama benar-benar tidak bisa meminum air hangat yang katanya bisa meredakan rasa mual itu. 

Aila meringis, sedangkan Umi Desi menghela napas.

Rama berjalan gontai ke arah Aila yang masih duduk di atas sofa, dan kembali berbaring di atas pangkuan sang istri. Sungguh, aroma pewangi pakaian yang di kenakan oleh Aila sangat bisa menenangkan dirinya, dan menekan rasa mual yang mendera. Padahal, ia dan Aila menganakan pewangi pakaian yang sama, tapi entah kenapa milik Aila tercium lebih wangi di hidungya.

"Wah, wah, wah. Bagus nih, kalau di jadiin sinetron, judulnya 'Aku menjadi istri siaga untuk suamiku yang ngidam' hahaha!!"

Fikron datang dengan membawa satu buah plastik berisi mangga muda yang tentu saja adalah pesanan dari sang kakak ipar. 

Mendengar itu, Rama mendelik seraya semakin sengaja menekan kepalanya pada perut Aila. Ia mendadak malas melihat Fikron, karena anak itu selalu mengejeknya.

Tapi, jika bukan Fikron dan Irham, tidak ada yang mau membantunya memenuhi segala macam drama makanan aneh-aneh yang di inginkannya.

Fikron meletakkan plastik berisi mangga muda itu di atas meja. "Nah, ini mangga muda pesanan paduka raja." ucapnya, yang tentu saja dengan nada yang terdengar menyebalkan di telinga Rama.

"Umi, Bapak.” Fikron menyalami sosok kedua orang tua Rama yang sudah seminggu menginap di kediaman Rama dan Aila, karena beberapa hari lalu Rama merengek ingin memakan sop iga buatan ibunya.

Dan, seperti yang kalian duga. Fikron yang bertugas menjemput kedua orang tua Rama, ia juga bersedia di repotkan mencari makanan yang kadang aneh-aneh permintaan kakak iparnya.

Umu Desi membawa sambal rujak buatannya yang selalu tersedia di dalam kulkas, karena tahu Rana pasti akan sangat membutuhkannya seperti sekarang ini.

"Maaf ya Nak Fikron, Rama ngerepotin terus." ucap Umi Desi seraya meletakkan sambal rujak, serta pisau.

Rama sendiri sudah tidak lagi berbaring di pangkuan Aila. Calon ayah itu tiba-tiba saja tidak merasakan lemas saat melihat mangga muda, dan sambal rujak.

Fikron tertawa. "Enggak apa-apa Umi, Fikron ikhlas lahir batin demi keponakan kembar Fikron. Yang terpenting, ada hitungannya lah minimal langsung transfer ke rekening bisalah Mas, hehe."

Semua orang tertawa mendengar ucapan Fikron, kecuali Rama tentunya.

Rama tidak menghiraukan Fikron, ia tampak tidak sabar untuk memakan mangga muda yang sedang di kupas oleh sang istri, sambal petisnya sendiri sudah di buat oleh uminya.

“Segar banget Yang!”

Fikron hanya meringis, melihat Rama yang memakan mangga muda itu dengan lahap, alih-alih merasa ngilu karena rasa asamnya Rama malah tampak sangat menikmati, dan merasa segar.

"Hih, ngeri lho aku liatnya Mas!" ujarnya seraya meringis.

Umi Desi menggeleng, "Ya namanya krang ngidam seperti itu Fik. Maunya yang asam-asam, persis banget kayak Bapak dulu."

Pak Syahrul terkekeh. Benar sekali, dulu saat Umi Desi hamil Rama, ia yang mengalami ngidam seperti yang Rama alami sekaramg.

"Bapak juga ngidam toh Mi?" tanya Aila.

Umi Desi mengangguk. "Iya Ning, sampai Umi tuh kewalahan sendiri nuritin permintaan aneh-aneh Bapak tiap hari."

Fikron menggelengkan kepala. Ternyata yang namanya couvade syndrom itu benar adanya. Ia pikir hanya Rama saja yang baru mengalami hal itu. "Tuh, Mas. Mas Rama harus bersyukur punya adik ipar yang baik kayak Fikron ini."

Rama berdecak, menatap Fikron dengan sebal. "Baik hati apanya? Kamu tuh nggak ikhlas bantu Mas. Masa habis beli apa-apa langsung chat ke Mas, ngasih tahu harganya sekian. Kode keras banget, minta di ganti uangnya!" seru Rama, yang lagi-lagi membuat semua orang tertawa.

Dasar Fikron!

AILA & RAMA [TERBIT] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang