Penyesalan tinggallah penyesalan, mau sehari penuh pun ia menangis, tidak akan bisa mengembalikan suaminya yang sudah mengambil keputusan untuk melepaskannya. Seperti apa yang di katakan suaminya, ia hanya perlu menunggu surat dari pengadilan agama datang ke rumah.
Semuanya sudah hancur, dan itu karena kebodohan yang di lakukannya. Benar kata Babanya, kurang apa Rama sampai ia harus menjerat laki-laki itu dengan tali yang penuh duri.
Setelah pembicaraan dengan Babanya, Aila sama sekali tidak keluar dari kamar. Untuk makan pun, Uminya yang mengantarkan ke kamar, namun sayangnya ia sama sekali tidak berselera untuk memakannya. Kepergian Rama benar-benar membuatnya sangat kehilangan, ia merindukan semua hal tentang suaminya. Benar kata orang, kehadiran seseorang akan sangat berarti jika sudah pergi, dan Aila merasakan itu semua.
Tok ... Tok ... Tok ....
Aila yang tengah duduk di lantai balkon kamarnya seraya menatap langit malam itu hanya menoleh ke arah pintu, tanpa berniat beranjak dari tempatnya berada.
Cklek
Pintu kamarnya terbuka, menunculkan sosok sang adik yang mengintip dari luar pintu kamarnya. "Kak, Fikron boleh masuk?" tanyanya.
Aila mengangguk, "Boleh, Fik. Masuk saja,"
Setelah mendapatkan izin dari sang kakak, Fikron masuk ke dalam dan menutup pintu kamarnya. Fikron lantas menghampiri sang kakak dan bergabung duduk di atas lantai balkon.
"Kamu pasti sekarang benci juga ya, sama kakak?" tanyanya, setelah sang adik duduk di sampingnya.
Fikron menghela napas berat. "Jujur, iya." kini kedua saudara itu saling bertatapan. "Fikron kaget saat tahu semua fakta itu dari Baba. Sejak tadi, Fikron terus bertanya-tanya, kenapa kakak bisa melakukan itu semua ke Mas Rama?"
Aila menggigit bibir bawahnya, tatapan dan kata-kata penuh kekecewaan dari sang adik membuat dadanya sesak, seolah menamparnya kembali jika yang ia lakukan sangatlah fatal.
"Apa karena Mas Rama tidak memiliki ijazah sarjana? Apa karena Mas Rama bukan dari orang berada? Fikron terus bertanya tentang itu kak .... "
Fikton tak lagi menatap kakaknya yang mulai menangis, ia memeluk kedua lututnya seraya menatap langit malam. "Maaf jika kesannya Fikron, dan Baba membela Mas Rama. Karena kami lebih banyak menghabiskan waktu dengannya, kami juga tahu Mas Rama itu orang seperti apa. Makanya Baba menjodohkan Kakak dengannya, karena Mas Rama orang yang tepat untuk kakak."
Benar, semua yang di katakan Fikron benar sekali. Karena itu seharian ini ia menangis, merasa bodoh kenapa baru sekarang ia merasa jika Rama adalah laki-laki yang baik dan tepat untuknya.
Fikron tidak lagi memeluk kedua lututnya, ia mengubah posisinya dengan duduk bersila, dan menatap penuh kakaknya yang tengah menangis. "Kak, apa kakak mencintai orang lain?" tanyanya.
Aila menggeleng. "Memang sebelumnya, kakak sempat dekat dengan seseorang, tapi itu bukan cinta Fik. Setelah menikah, kakak baru sadar jika sebenarnya kakak sudah jatuh cinta sama Mas Rama, tapi kakak terus menyangkal," ia menaangis di hadapan Fikron yang mulai melunak.
"Fik, kakak cinta sama Mas Rama. Kakak ndak mau berpisah sama Mas Rama .... " tangisnya.
Fikron mengelus bahu sang kakak, mencoba menenangkannya yang semakin menangis sampai matanya terlihat sangat sembab. “Apa Kakak mau berjanji, jika nanti Mas Rama kembali kakak tidak akan menyakitinya?”
Aila mengangguk cepat. “Kakak janji Fik, kakak tidak akan melakukannya. Karena ternyata rasanya sakit di tinggalkan orang yang di cintai,”
Fikron mengangguk. "Oh sebentar, Fikron punya coklat!" ucapnya seraya merogoh saku celananya, dan mengeluarkan dua buah coklat berbentuk bulat dengan bungkus berwarna kuning emas.
KAMU SEDANG MEMBACA
AILA & RAMA [TERBIT] ✓
General FictionDi zaman sekarang, zaman serba modern ini apakah perjodohan masih berlaku? Tentu saja, seperti yang terjadi pada Myiesha Aila Rizqiyana, seorang dokter bedah bergelar Ning, dari pondok pesantren besar di jogjakarta. Di tengah puncak kariernya ia jod...