Setelah selesai makan bersama, Rama dan Aila mengutarakan kedatangan mereka kemari karena ingin mengajak Umi Desi, dan Pak Syahrul untuk ikut dengan mereka ke jogja karena insyaallah mereka akan mengadakan syukuran kecil-kecilan untuk rumah mereka berdua.
Kedua orang tua Rama setuju ikut dengan Rama dan Aila ke jogja, menginap sehari di rumah Kyai Ikmal dan besok paginya akan melihat rumah baru mereka, tentunya bersama seluruh keluarga Aila, termasuk Kyai Zidan dan Ibu Nyai Ayana, dan Gus Irham juga.
“Nduk, Rama pasti selama ini menyusahkan kamu ya?” di tengah-tengah heningnya suasana dalam mobil yang melaju dengan kecepatan sedang.
“Ndak kok umi, malah Aila yang menyusahkan Mas Rama,” jawab Aila.
“Nduk, jangan nutup-nutupi cacatnya Rama sama Umi. Umi iki tahu Rama iku orangnya bagaimana,” tambah Umi Desi yang seolah tidak percaya dengan ucapan menantunya.
Rama melirik Uminya dari kaca spion tengah, sebelumnya mereka sempat berdebat karena Uminya ingin Aila duduk bersamanya di kursi belakang, sedangkan Rama duduk dengan Bapaknya di depan.
Rama tentu saja protes, Uminya ini tidak tahu kalau ini adalah hari yang langka untuknya, karena Aila seharian ini bersikap sangat baik dan manis. Tapi Uminya malah terus memonopoli istrinya, huh!
Akhirnya perdebatan itu di menangkan oleh Umi Desi, power emak-emak memang sekuat itu.
Rama hanya menghela napas, melirik Bapak yang duduk di sampingnya. Lalu kembali berfokus kembali mengemudi. "Umi ini apa sih, Rama ini anak baik lho. Aila juga udah bilang tadi."
"Heleeh. Ning Aila yo pasti sungkan karena ada sampeyan." cibir Umi Desi.
Rama kembali protes. "Astagfirullah Umi. Sing anaknya Umi siapa? Rama apa Aila? Kesannya kok Rama kayak anak pungut."
Aila sudah terkekeh pelan, lagi-lagi pertengkaran kecil antara Rama, dan Uminya benar-benar terdengar lucu, dan sangat menghibur dirinya.
"Ya memang anak pungut."
"Astagfirullah Umi."
Pak Syahrul menggeleng, "Wes toh Mi, Ram. Malu karo Ning Aila, mungkin Ning Aila merasa terganggu." sergah Pak Syahrul.
"Ndak apa-apa Pak. Justru senang rasanya gak sepi hehe," Aila berbicara jujur. Ia sama sekali tidak terganggu sedikit pun.
Rama masih saja merasa kesal, karena Uminya yang terus memonopoli istrinya. "Umi itu ndak ngerti. Rama sama Aila kan masih penganten baru, dari sejak di rumah lho Umi pisahin terus." Pria berusia tiga puluh tahun itu terus menggerutu.
Wajah Aila kembali memerah, ia benar-benar merasa di cintai dengan begitu besar oleh pria yang bergelar suaminya itu. Ah, kenapa ia baru merasakannya sekarang? Apa karena suaminya itu menunjukkan kecemburuannya secara terang-terangan seperti ini ya?
"Berisik ah kamu." sahut Umi Desi. Kemudian ia melirik menantunya, "Tuh, Ning. Rama tuh ya aslinya seperti itu. Banyak ngomong, kayak Bapak."
Pak Syahrul yang merasa namanya di sebut, langsung menoleh ke belakang. "Lho, kok Bapak? Perasaan yang dari tadi bicara itu Umi ya Ram?"
Rama mengangguk. "Betul paduka, hamba juga merasa seperti itu." balas Rama, lalu ayah dan anak itu tertawa.
Umi Desi mendengkus kasar. "Dasar! Bapak sama anak sama-sama nyebelin!!" gerutunya, lalu mereka semua tertawa.
Sungguh perjalanan kali ini benar-benar terasa sangat menyenangkan, dan berkesan bagi Aila. Aila terkejut, saat tatap matanya bertemu dengan tatapan mata Rama yang tersenyum melalui kaca spion tengah.
Aila memalingkan wajahnya ke arah lain, rasanya ia tidak sanggup jika terus melihat senyum Rama yang tidak aman untuk jantung, serta hatinya.
Setelah berjam-jam lamanya di perjalanan mereka semua sampai di pondok Kyai Ikmal yang sudah ramai oleh keluarga Gus Zidan yang menyambut hangat keluarga Rama. Rama dan Aila sendiri langsung pamit ke kamar untuk membersihkan diri karena Rama harus mengantar Aila bekerja.
“Ndak apa-apa lho Mas. Saya bisa di antar Fikron, atau Irham. Takutnya Mas Rama capek habis perjalanan jauh,” ucapnya seraya menyiapkan pakaian berupa kaos pendek berwarna hitam dan celana pendek cream sebatas lutut.
Sementara Rama yang baru keluar dari kamar mandi itu gegas mengambil pakaian yang telah di siapkan Aila.Rama kembali ke kamar mandi, tak lama Rama keluar dengan berpakaian lengkap yang tadi di siapkan oleh Aila. "Ndak capek kok. Saya juga mau sekalian mampir ke tempat teman, untuk undang datang ke rumah besok."
Aila mengangguk, namun seketika raut wajahnya berubah. "Teman?" tanyanya.
Rama mengangguk, seraya meraih parfum miliknya dan menyemprotkannya di beberapa bagian. "Inggih Ning." ia kembali menyimpan parfumnya, dan mengambil kunci mobil milik Aila.
Sementara Aial sendiri tampak sibuk dengan pikirannya sendiri, ia tengah menerka-nerka siapa teman yang di maksud oleh suaminya ini. Tiba-tiba, pikirannya tertuju pada satu nama. Apa jangan-jangan, Alexa?
Tanpa sadar Aila menatap suaminya dengan tajam, itu tentu saja membuat Rama tiba-tiba terkejut dengan perubahannya. Kenapa tatapannya tiba-tiba seperti itu?
Rama berdeham, Aila segera meraih cadarnya yang berada di atas kasur dengan kasar, dan memakainya dengan cepat juga.
Rama menggaruk pelipisnya yang tidak gatal, seraya berpikir apakah ia ada salah bicara?
"Kenapa, hm?" tanyanya, namun tidak ada tanggapan dari istrinya yang sedang memasukkan ponsel, dan dompet ke dalam tas yang biasa ia bawa kerja.
Rama menahan tangan Aila yang hendak berjalan melewatinya begitu saja. Ia benar-benar tidak mengerti, kenapa mood Aila bisa berubah dengan cepat, padahal sebelumnya hubungan keduanya baik-baik saja. "Ning, kenapa? Saya ada salah bicara ya?"
Aila menghela napas, melepaskan tangan Rama dengan lembut. Haruskah ia jujur, jika ia sedang kesal karena mengingat Alexa? Ah, kenapa sih nama Alexa yang muncul di pikirannya? Apa benar teman yang akan di temui oleh suaminya?
Arrrggghh!! Rasa kesalnya semakin bertambah, dan semua ini gara-gara satu nama, yaitu Alexa!!
"Kamu kenapa sih? Mendadak beda banget seperti ini?" Rama kembali berbicara, namun sepertinya lagi-lagi istrinya enggan membahas itu.
"Ayo pergi. Nanti macet lho, lama lagi nanti sampainya!" gerutunya.
Rama menghela napas, menyusl sang istri yang sudah berjalan lebih dulu meninggalkannya. Sungguh, Rama belum mengerti apa alasan Aila tiba-tiba berubah seperti ini?
KAMU SEDANG MEMBACA
AILA & RAMA [TERBIT] ✓
General FictionDi zaman sekarang, zaman serba modern ini apakah perjodohan masih berlaku? Tentu saja, seperti yang terjadi pada Myiesha Aila Rizqiyana, seorang dokter bedah bergelar Ning, dari pondok pesantren besar di jogjakarta. Di tengah puncak kariernya ia jod...