Setelah selesai shalat isya, Rama yang mengeluh kurang enak badan itu langsung terlelap. Aila juga ikut menemaninya, karena Rama tidak mau di tinggal. Dalam hening, Aila kembali menangis melihat Rama yang setiap hari harus melewati masa-masa ngidam yang sangat ekstrem sampai Aila sendiri tidak tega melihatnya. Apalagi dengar-dengar dari pegalaman dari pasien Hilda yang mengalami couvade syndrom seperti Rama bisa sampai berbulan-bulan, bahkan kasus yang paling parah sampai sembilan bulan.
Membayangkan itu, ia tidak bisa melihat Rama terus kewalahan karena itu semua.
Rama menggeliat dalam tidurnya, kelopak matanya perlahan terbuka. Ini sudah seperti kebiasaannya, Rama memang sering kesulitan untuk tidur dan menekan keinginannya untuk menginginkan makanan-makanan yang cukup aneh.
"Yang .... "
Aila langsung menghapus air mata di wajahnya. "Iya, kenapa Mas? Mas laper? Mau aku masakin sesuatu?"
Rama menatap wajah Aila dengan lekat, lalu ia menggeleng dengan tangan yang terulur membelai sisi wajah Aila yang cantik, dan tidak mengenakan kerudung serta cadarnya. Ia tahu, jika istrinya ini habis menangis terlihat dari kedua matanya yang memerah. "Maaf ya sayang. Kalau Mas ngerepotin kamu terus."
Aila menggeleng. "Aku yang minta maaf--"
"Sssshh, jangan minta maaf sayang. Kenapa nangis hm?" tanya Rama dengan lembut. "Pinggangnya sakit?"
Aila menggeleng seraya kembali menangis.
"Lho, lho. Jangan nangis sayang, nanti di ketawain Baby Twins lho. Masa Bundanya cengeng." ucapnya, kini tangannya mengusap perut sang istri. "Baby twins, jangan cengeng kaya Bunda kamu ya nanti. Ayah nanti kewalahan kalau harus momong tiga orang sekaligus."
Aila merengek, mendengar candaan yang di keluarkan oleh suaminya. Bisa-bisanya suaminya itu malah bercanda di keadaannya yang seperti ini.
Alih-alih berhenti menangis. Aila malah semakin menangis. "Lho, lho kok makin nangis?"
"Aku lapar Mas .... "
Rama tergelak. Ia pikir istrinya ini menangis karena ala, ternyata karena lapar. "Mau makan apa sayang? Nanti Mas masakkan."
"Boleh?"
"Boleh, sayang mau apa?"
"Makan Mie boleh?"
Rama mengerutkan keningnya, Aila sudah menatapnya dengan penuh harap. "Oke. Sesekali boleh. Mau ikut ke dapur apa mau disini saja?"
"Mau ikuut!!" suasana sedihnya beberapa saat lalu berubah dengan cepat menjadi senang.
Rama terkekeh, memberikan kecupan pada bibir Aila. Lalu turun dari atas ranjang, "Mau gendong?" tawarnya seraya merentangkan kedua tangannya. Ia sudah sangat hafal, selama masa kehamilan Aila senang sekali minta di gendong olehnya, baik di depan atau pun belakang.
Aila berdiri dan berjalan di atas kasur memeluk Rama yang sigap menggendong Aila seperti koala.
Rama menurunkan Aila setelah mereka sampai di dapur. Rama gegas mengambil sebungkus mie instan yang berada di lemari atas di dapur mereka, setelah itu ia merebus air. Lalu menatap istrinya yang berdiri di sampingnya, "Mau pakai telur, sama sayuran nggak Yang?"
"Mau, mau!!" Aila menjawab dengan antusias.
Rama terkekeh gemas melihat tingkah istrinya yang sangat menggemaskan ini. "Oke siap tuan putri."
"Hehe, mau sambil peluk Mas, boleh nggak?" tanyanya.
Rama terkekeh, astaga random sekali istrinya ini. "Boleh dong sayangku. Mau sambil cium juga boleh kok sayang."
KAMU SEDANG MEMBACA
AILA & RAMA [TERBIT] ✓
General FictionDi zaman sekarang, zaman serba modern ini apakah perjodohan masih berlaku? Tentu saja, seperti yang terjadi pada Myiesha Aila Rizqiyana, seorang dokter bedah bergelar Ning, dari pondok pesantren besar di jogjakarta. Di tengah puncak kariernya ia jod...