Keduanya tiba di sebuah supermarket, Aila yang sedari tadi begitu antusias ingin belanja membeli buah tangan untuk orang tua Rama langsung mengambil troli, namun Rama menahannya. "Biar saya saja yang bawa."
Aila mengangguk, bibirnya tersenyum di balik cadar. Entah kenapa rasanya senang sekali menghabiskan banyak waktu bersama Rama yang selalu memperlakukannya dengan baik bak ratu.
Rama mengekori Aila yang menuju ke stand buah-buahan. Tangannya mulai memilih apel merah, dan buah pir seraya menoleh ke suaminya yang memegang troli. "Mas, Umi sama Bapak suka buah apa? Terus, kita mau beli berapa banyak?"
"Apa saja Ning. Umi dan Bapak suka semuanya kok. Jangan banyak-banyak, beli saja per jenisnya 250 gram sudah cukup, karena hanya Umi dan Bapak saja yang akan memakannya."
Aila mengangguk. "Mau beli yang banyak. Boleh?"
Rama terkekeh. "Boleh Ning."
Aila mengangguk lagi, ia mulai mengambil plastik setelah memilih buah sesuai dengan instruksi suaminya. Ia membeli apel merah, pir, anggur, dan jeruk manis.
Rama mengulas senyum, melihat Aila yang sangat antusias seperti ini membuatnya berharap lebih pada hubungan ini.
"Segini cukup ndak Mas?" tanya Aila.
Bolehkah sekali saja ia egois kali ini? Apa boleh ia berharap Aila terus seperti ini?
"Cukup Ning. Kamu mau membeli apalagi?"
"Kok saya?" Aila menunjuk dirinya sendiri, pertanda bingung mengapa tiba-tiba suaminya bertanya demikian. Sekaligus, ia juga ingin memastikan apa ia tidak salah dengar?
Rama memintanya membeli sesuatu, kan. Bukan begitu maksudnya?
"Iya Ning. Siapa tahu kan kamu butuh camilan selama di perjalanan, kamu boleh membeli beberapa. Perjalanan ke rumah Umi, dan Bapak jauh lho Ning." paparnya. Rama melakukannya karena ia juga terkadang membeli beberapa camilan jika hendak pulang ke kampung halaman untuk menemani perjalanan.
Aila tampak berpikir, beberapa saat sebum suara Rama kembali menginterupsi. "Boleh. Kamu boleh beli, dan ambil apa pun yang kamu mau."
Aila mengangguk, bersama dengan Rama yang mengekori seraya mendorong troli yang telah terisi beberapa jenis buah, keduanya kini menuju ke rak yang menyediakan banyak jenis, dan rasa dari camilan yang terpajang di hadapan mereka.
Rama membiarkan Aila memasukkan apa pun yang di inginkannya ke dalam troli. Rasa hangat menjalar di dalam hati, jadi seperti ini rasanya berbelanja bersama dengan istri, sangat menyenangkan.
Rama tidak banyak meminta, ia hanya ingin hari ini mereka menjadi suami-istri sungguhan. Hanya hari ini saja, karena akan serakah sekali rasanya jika ia meminta hal seperti ini terus terjadi selamanya, sedangkan ia tahu sendiri bahwa namanya belum singkah di hati Ning Myiesha Aila Rizqiyana, istrinya sendiri.
"Mas mau beli apa?" tanyanya setelah meletakkan sebuah camilan terakhir yang di pilihnya.
"Kamu sendiri apa sudah selesai?"
Aila mengangguk. "Sudah Mas. Mas mau beli apa?"
"Hm, beli minum saja." balas Rama.
"Air mineral?"
"Inggih Ning."
"Ndak mau yang manis-manis, Mas?"
Rama terkekeh, entah mengapa hari ini Aila banyak berbicara sekali, tapi itu bagus. Ia menyukai momen yang terjadi hari ini, hingga rasanya sayang sekali jika harus berakhir dengan cepat. Ia ingin menikmati hari ini dengan baik, sebelum nanti semuanya kembali seperti semula.
Rama menggeleng. "Ndak Ning. Manisnya kan ada di kamu."
Kedua mata Aila melebar, barusan Mas Rama gombalin saya? batinnya.
Aila lalu berdeham, merasakan rasa hangat yang menjalar di kedua pipinya. Duh, kok pipi saya mendadak panas ya?
Rama sendiri langsung menutup mulitnya dengan telapak tangan, setelah menyadari apa yang baru saja di katakannya. Astaga Rama, apa yang baru saja kamu lakukan hah? Ning Aila pasti marah ini.
Suasana mendadak canggung, keduanya tidak lagi terlibat pembicaraan. "Mas ke kasir duluan saja ya. Nanti saya menyusul, mau beli minuman dulu." ucap Aila sembari menahan diri untuk mengakui terang-terangan jika dirinya tengah salah tingkah sekarang.
Rama mengangguk kaku, memitar tubuh dan berjalan cepat seraya mendorong troli menuju kasir. Aila juga melakukan hal yang sama, ia berlari kecil ke arah lemari pendingin yang berisi beberapa jenis dan rasa minuman.
Ia membuka pintu pendingin itu agak lama, bukan tengah bingung ingin memilih minuman apa, tapi karena ingin mendinginkan pipinya yang masih mengahantarkan rasa hangat, mungkin saja saat ini tengah memerah bak kepiting rebus, untungnya ia memakai cadar, Rama atau orang lain tidak akan tahu jika pipinya sedang merona.
Aila gegas mengambil beberapa jenis minuman, mulai dari susu berperisa strawberry kesukaannya, air mineral, sampai minuman isotonik. Lantas ia segera berjalan menuju kasir, dimana suaminya tengah mengantre.
"Masukkan sini saja. Kamu mau tunggu di luar, apa gimana?" jelas sekali jika Rama juga terlihat sangat canggung seperti Aila.
Aila berdeham. "Tunggu di luar saja. Setelah ini giliran Mas, kan?"
Rama mengangguk. Aila juga sudah berjalan ke luar supermarket, sungguh suasana canggung ini benar-benar tidak nyaman.
Rama meruntuki dirinya sendiri, karena dirinya suasana yang menghangat tadi berubah canggung seperti ini.
****
Setelah menempuh perjalanan selama beberapa jam untuk sampai ke kampung halaman sang suami, setelah melewati kecanggungan selama perjalanan yang panjang, dan hening. Akhirnya mereka sampai di depan halaman rumah yang luas dengan banyak pohon rindang yang sejuk. Kesan pertama Aila pada saat sampai disana rasanya sangat tenang, dan asri.
Rumah yang Rama bilang kumuh ternyata tidak sama sekali. Rumahnya memang model bangunan jaman dulu, namun malah terlihat antik sekali. Selain pohon-pohon di halaman rumah, ada banyak sekali tanaman bunga dalam pot yang sangat cantik-cantik.
Aila tidak berhenti mengucapkan lafadz Masyaallah di dalam hati. Ia sangat kagum, dan entah mengapa rasanya senang dan damai sekali saat kedua kakinya menginjak rerumputan di halaman rumah mertuanya.
Ia sangat menyukai suasana disini yang tampak masih sangat asri, beda seperti di kota. Ah, rasanya ia sangat ingin berlama-lama di tempat seperti ini untuk melepaskan penat di kepalanya setelah bekerja seharian di rumah sakit.
Rama membuka bagasi mobil, mengeluarkan barang bawaan mereka sebanyak dua plastil besar, berisi buah, dan juga camilan mereka yang masih tersisa banyak, karena selama perjalanan Aila sempat tertidur.
Setelah menutupnya, Rama melihat tubuh Aila yang masih mematung di tempat. Hatinya di landa kecemasan, bagaimana jika Aila menyesal datang ke sini?
Padahal sebenarnya, Aila tengah kagum dengan tempat tinggal kedua orang tua Rama.
Rama berjalan menghampiri sang istri. "Ning--"
"Owalah, kamu toh Ram yang datang. Tak kirain siapa, soale bawa mobil mewah."
Rama, dan Aila kompak menoleh ke samping, dan menemukan dua orang ibu-ibu yang mengenakan daster batik berlengan panjang, dan juga kerudung. Aila mengerutkan kening, ia dapat melihat jika kedua ibu-ibu itu menatap ke arah suaminya dengan tidak suka, dan juga judes.
Ia bertanya-tanya siapa mereka?
KAMU SEDANG MEMBACA
AILA & RAMA [TERBIT] ✓
General FictionDi zaman sekarang, zaman serba modern ini apakah perjodohan masih berlaku? Tentu saja, seperti yang terjadi pada Myiesha Aila Rizqiyana, seorang dokter bedah bergelar Ning, dari pondok pesantren besar di jogjakarta. Di tengah puncak kariernya ia jod...