Aila hari ini bangun lebih pagi, sedangkan Rama kembali tidur setelah membantu Aila menyapu, dan mengepel rumah. Rama tadinya bersikukuh ingin melakukan semua pekerjaan, dan membiarkan Aila bersantai. Namun Aila memaksanya untuk istirahat, karena melihat wajah suaminya yang tampak kurang baik.
Aila tahu suaminya itu masih sangat lelah dan mengantuk, tapi juga tidak ingin membuatnya kelelahan karena urusan pekerjaan rumah.
Akhirnya, setelah berdebat cukup alot suaminya menurut dan tengah tertidur pulas. Aila sudah menyelesaikan semua pekerjaan rumah, termasuk memasak juga.
Kini ia tengah menjemur pakaian di halaman rumah, setelah sudah di cuci, dan di keringkan di mesin cuci.
"Mbak, Aila. Lagi njemur baju ya?" sapa tetangga rumah yang tampak baru pulang dari belanja.
"Inggih Mbak. Mbak habis belanja toh?"
Orang yang menyapanya barusan adalah Mbak Resti, seorang pegawai bank, sedang suaminya bekerja di sebuah pabrik kimia. Karena ini hari libur, makanya Aila bisa bertegur sapa dengan tetangga yang persis bersampingan dengan rumahnya.
"Iya Mbak, mumpung libur mau masak saja hehe. Mbak libur juga toh?"
"Ndak Mbak. Aku ada jadwal malam nanti."
"Owalah. Yo wes, aku tinggal yo. Mau masak dulu."
Aila mengangguk, "Inggih Mbak."
Mbak Resti masuk ke dalam rumah, Aila kembali menjemur pakaian hingga selesai.
"Owalah, lagi libur toh Mbak?"
Aila menoleh ke arah suara, ia menemukan sosok ibu Sulastri. Ah, Aila mendadak merasa tidak enak, bukan apa sebelumnya ia sudah di peringati oleh Mbak Resti, dan penghuni lainnya untuk menghindari si ibu Sulastri ini yang katanya mulutnya jahat sekali.
Aila ingin menghindar, tapi rasanya tidak enak mengabaikannya begitu saja. Apalagi ia kan juga masih warga baru di kompleks ini, takutnya di cap tidak sopan karena mengabaikan tamu, dan orang yang lebih tua darinya.
Aila berdeham. "Inggih Bu." jawabnya.
Ibu Sulastri mengangguk, ia menatap tampilan Aila dari atas sampai bawah, dan sebaliknya. "Di rumah juga pakai cadar begitu?"
"Enggak Bu. Saya pakai kalau keluar rumah saja."
"Kenapa toh?"
"Ndak apa-apa," lagi-lagi Aila hanya menjawab singkat, sungguh ia tidak tahu apa yang harus ia jawab karena suasana di sekitarnya mendadak terasa mencekam.
Astagfirullah ....
Aila beristighfar di dalam hati. Ia tidak mau bersuudzan kepada ibu Sulastri, tapi hatinya merasa sangat tidak enak.
"Mana suamimu?"
Nah, sekarang topiknya berubah. "Ada Bu, sedang tidur."
"Iyalah suruh tidur. Suamimu kelelahan pasti, wong setiap hari ngurusin kerjaan rumah. Istrinya malah cuma ongkang kaki saja. Kalau suami orang lain mana mau mengerjakan pekerjaan rumah, dan kadang belanja di abang-abang sayur juga. Istrinya malah kerja, lupa akan tugasnya sebagai istri."
Aila menelan salivanya susah payah. Ibu Sulastri terus membanggakan suaminya, dan memojokkan dirinya.
"Apa karena suamimu nggak kerja, kamu bisa semena-mena begitu sama suami? Kamu anak kyai besar tapu kelakuannya seperti itu. Ceraikan saja Mas Rama, biar nanti saya nikahkan dengan anak saya."
Kedua mata Aila melotot, ember yang di pegangnya ia jatuhkan dengan kasar. Ibu sulastri sudah sangat keterlaluan, dan apa katanya tadi? Ibu sulastri memintanya menceraikan Mas Rama? Apa Ibu Sulastri ini tidak sedang bermimpi?
KAMU SEDANG MEMBACA
AILA & RAMA [TERBIT] ✓
General FictionDi zaman sekarang, zaman serba modern ini apakah perjodohan masih berlaku? Tentu saja, seperti yang terjadi pada Myiesha Aila Rizqiyana, seorang dokter bedah bergelar Ning, dari pondok pesantren besar di jogjakarta. Di tengah puncak kariernya ia jod...