RESTU BAPAK

10.3K 532 13
                                    

Malam sudah menunjukkan hampir jam sebelas malam. Ayah dan anak tampak duduk di kursi ruang tamu di temani dengan goreng pisang, dan juga kopi yang masih mengelulkan asap. Keduanya masih belum ada yang mengeluarkan suara, sama-sama diam.

Sejak tadi pagi, tepatnya setelah perseteruan itu terjadi, hubungan keduanya belum membaik. Pak Syahrul yang biasanya suka bercanda, mendadak diam terus selama makan, dan di waktu luang.

Rama mengepalkan tangannya, haruskah ia kembali ke pondok pesantren, dan menemui Kyai Ikmal, lalu mengatakan jika ia tidak bisa menikahi Ning Aila?

Di heningnya malam yang tampak sunyi, terdengar helaan napas dari Pak Syahrul "Sampeyan punya tabungan berapa Ram?"

Rama mengangkat wajah, keningnya mengerut dalam. Tidak menyangka jika sang ayah akan berbicara lebih dulu padanya.

"Bapak ada tabungan sedikit, untuk biaya renovasi rumah. Sampeyan pakai saja untuk biaya pernikahan." Pak Syahrul, sama sekali tidak memberikan sang putra untuk menjawab pertanyaannya.

Rama kembali terkejut, ketika tiba-tiba saja sang ayah menghampirinya dengan meletakkan sebuah buku tabungan bank di atas meja tepat di hadapannya.

"Ba-Bapak?"

Pak Syahrul menghela napas. "Maaf nggih, tadi Bapak hanya merasa terkejut, karena kamu mau meminang Ning Aila," paras yang sudah tidak muda lagi itu terlihat sedikit sendu. "Setelah di pikirkan, perjodohan yang di buat Kyai Ikmal bukan hanya kebetulan semata. Kyai Ikmal ndak mungkin asal menjodohkan putrinya dengan orang lain,"

Rama tak bergeming. Ia masih terlalu terkejut karena sang Ayah yang seharian ini menjauh darinya tiba-tiba saja setuju dan memberikan restunya.
"Bapak hanya merasa malu dengan keadaan kita yang sangat jauh di bawah keluarga Kyai Ikmal," mata teduhnya tampak berkaca-kaca, namun sebisa mungkin ia tidak membiarkan cairan bening itu jatuh membasahi wajahnya.

"Ram, Bapak ndak bisa bantu banyak. Tapi Bapak berharap uang yang ada di buku tabungan ini bisa membantu kamu."

Rama langsung menolak, memberikan kembali buku tabungan itu ke hadapan sang ayah. "Pak, ndak usah. Bapak bisa simpan saja uangnya."

Pak Syahrul menggeleng. Bagaimana bisa ia diam saja saat putranya ingin meminang seorang perempuan untuk jadi istrinya.

Melihat kegelisahan sang ayah, Rama kembali bersuara. "Rama ada sedikit tabungan Pak. Bapak ndak perlu khawatir, Bapak simpan saja nggih uangnya."

Mana mungkin ia tega memakai uang yang sudah di kumpulkan oleh sang ayah dalam waktu yang sangat lama, untuk tujuan renovasi rumah. Sungguh, Rama tidak akan pernah tega, lagi pula ucapannya barusan memang benar adanya, ia memiliki tabungan sekitar lima puluh juta di akun bank miliknya. Meski pernikahannya nanti tidak banyak mengundang orang, hanya di hadiri oleh keluarga dan kerabat, ia tetap harus memberikan seserahan pernikahan dan segala macam printilan pernikahan.

"Sampeyan apa benar punya tabungan Ram?"

"Iya pak. Insyaallah cukup, selama ini kan Rama bekerja bersama Gus Fikron dan Kyai Ikmal. Alhamdulillah Rama bisa tabung uangnya pak."

Pak Syahrul mengangguk, hatinya masih merasa sedikit sedih karena tidak bisa membantu apa pun untuk pernikahan putranya sendiri.

"Ndak usah di pikirkan ya pak. Insyaallah uang tabungan Rama cukup."

Pak Syahrul mengembuskan napas. Ia percaya, karena ia tahu sejak kecil Rama bukanlah anak yang suka berbohong. "Kamu sudah tanya berapa mahar yang di inginkan sama Ning Aila, Ram?"

Rama menggeleng. Astaga, ia lupa dengan menanyakan hal paling penting dalam pernikahan itu. "Nanti Rama tanyakan Pak. Keluarga Kyai Ikmal ingin pernikahan kami di adakan secara sederhana saja, dengan di hadiri oleh keluarga dan para kerabat saja."

Pak Syahrul menunduk, seraya mengusap wajahnya dengan kasar. "Masya Allah Ram. Bapak malu sekali, keluarga Kyai Ikmal begitu sangat memaklumi keadaan kita."

Pak Syahrul menatap wajah sang putra dengan sendu. "Ram, ingat pesan Bapak. Jangan sekali pun sampeyan menyakiti Ning Aila dalam rumah tangga kalian nanti. Bapak ndak pernah mengajari sampeyan untuk menyakiti perempuan."

Rama mengangguk, tatapan sang ayah begitu sangat lekat. Lagipula, bagaimana mungkin ia menyakiti perempuan yang ia cintai. "Inggih Pak. Saya akan mengingatnya."

"Bapak percaya sama sampeyan. Bapak hanya bisa mendoakan semoga semuanya lancar, maaf ya Bapak ndak bisa bantu apa-apa."

"Doa Bapak sama umi aja cukup bagi Rama."

Setelah berbincang banyak hal bersama sang ayah, Rama tidak segera kembali ke dalam kamar, ia merenung cukup lama hingga masuk ke kamarnya pada jam dua belas malam.

Ia sudah mengantongi restu dari ayahnya, tapi perasaannya masih belum tenang. Pikirannya belum tenang, rasanya seperti benang kusut, yang di pikirkannya saat ini adalah perasaan Ning Aila. Apakah perasaannya baik-baik saja dengan adanya perjodohan ini?

Ia jelas melihat kalau Ning Aila sangat sedih, seperti kata Ning Aila ia menerima ini karena sudah tidak ada jalan keluar bagi mereka berdua. Bukankah itu artinya Ning Aila mengorbankan diri, serta perasaannya sendiri?

Rama menghela napas, ia akan coba menjalani semuanya, dan memasrahkan semuanya kepada gusti Allah.

****

Keesokan harinya, Aila sudah kembali ke aktifitas rutinnya. Setelah sarapan pagi di rumah, ia langsung pergi ke rumah sakit dengan mengendarai mobil Daihatsu Ayla metallic orange yang setia menemaninya kemana pun.

Menghabiskan waktu tiga puluh menit di perjalanan, Aila akhirnya sampai di tujuan. Ia membalas sapaan yang di lontarkan oleh orang yang berpapasan dengannya di koridor yang menuju ke ruangan praktiknya.

Sampai disana ia menyandarkan tubuhnya pada kursi kerjanya. Lima belas menit lagi, ia harus menjalankan sebuah operasi dari pasien dengan penyakit usus buntu.

Ting!

Aila merogoh ponselnya yang berada di dalam tas slempang yang selalu ia bawa untuk bekerja. Dahinya mengernyit, ada sebuah pesan dari nomor Mas Rama. Ia menyimpan nomor Rama karena beberapa kali menghubungi orang kepercayaan Babanya itu jika nomor Fikron tidak dapat di hubungi, saat ia mengalami kendala pada mobilnya di tengah perjalanan, dan pria itu akan datang dengan Fikron untuk membantu.

Mas Rama

Assalamualaikum Ning

Ngapunten, ini Rama.

Apa Ning sibuk?

Aila selesai membaca tiga buah pesan yang di kirim oleh Rama. Ia bertanya-tanya ada apa gerangan pria itu mengirimkan pesan kepadanya?

Aila

Waalaikumsallam Mas. Saya ndak sibuk Mas, kebetulan masih ada waktu untuk beristirahat.

Ada apa ya Mas?

Aila menatap pesannya yang sudah bertanda centang dua berwarna biru, yang artinya pria itu sudah membacanya, ia juga melihat ketetangan jika sang pembalas pesan tengah mengetik.

Mas Rama

Hm, anu Ning. Berapa Mahar yang Ning minta?

Aila mengerutkan kening, kedua matanya benar-benar berfokus kepada kata "Mahar" di pesan yang di kirimkan Rama kepadanya.

"Mahar?" gumamnya.

Seketika Aila meringis. Ah, ia lupa jika akan menikah dengan sang pengirim pesan. Meski belum menentukan tanggal, tetap saja dalam waktu singkat statusnya akan berubah.

Aila memejamkan mata, menghela napas dan kembali membuka mata untuk membalas pesan dari pria yang merupakan calon suaminya.

Aila

Semampunya Mas Rama saja.
Saya ndak minta macam-macam, yang penting kita sah menjadi suami istri.

Pesannya terkirim, dan langsung berubah centang dua, namun sepertinya Raka tidak ada niatan membalas pesannya lagi, karena tidak ada keterangan sedang mengetik. Aila memilih menekan daya mati pada ponselnya mengingat sebentar lagi ia akan segera menjalankan operasi.

Tanpa sadar, jika sang penerima pesan tengah merasakan cubitan di hatinya, setelah membaca pesan yang ia kirimkan.

AILA & RAMA [TERBIT] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang