"Ning, sebentar ya. Saya mau angkat telepon dulu."
Aila mengangguk, tak lagi memeluk suaminya. Rama sendiri terlihat berjalan agak jauh darinya untuk menjawab telepon entah dari sispa, tanpa sadar matanya tidak lagi fokus menatap keseluruhan ruangan yang ia pijak, Aila justru menatap suaminya yang berdiri memunggunginya seraya menjawab telepon.
Tubuh tegap tinggi, wajah tampan dan putih yang tersorot sinar mentari entah mengapa wajah Rama terlihat sangat tampan hari ini. Kemeja Abu muda berlengan pendek, dan celana bahan berwarna hitam benar-benar menambah ketampanannya berkali-kali lipat.
Hatinya di dera perasaan yang tidak bisa di deskripsikannya, kedua pipi istri dari Rama itu memerah mengingat adegan pelukan yang di lakukannya kepada Rama.
Selama ini mereka tidak pernah nerada dalam situasi seintim itu. Mereka hanya bersentuhan sebatas bersalaman, saat Aila hendak pamit bepergian.
Rama juga tidak pernah menuntut apa pun kepadanya selama ini. Benar-benar sangat menghormati, dan menghargainya. Padahal kemarin, suamjnya sedang marah tapi pagi ini ia kembali ke mode seperti biasanya, seolah rasa marahnya hilang selama dirinya tidur.
Mungkin benar kata Uminya, ia harus mulai menerima Rama pelan-pelan.
Kedua mata Aila mengerjap, saat Rama berbalik ke arahnya. Ah, ia bahkan tidak sadar jika Rama sudah selesai menelepon.
"Ning?"
"Iya Mas."
Ada jeda beberapa saat, kening Aila mengerut. Suaminya itu tampak terlihat bingung. "Ada apa Mas?" Aila bertanya, seraya menggenggam tangan suaminya.
Rama balas menggenggamnya. "Kamu ... Mau ikut ke rumah Bapak dan Umi ndak?"
"Yang barusan telepon Umi ya Mas?" tanya Aila, karena samar-samar ia mendengar Rama mengatakan 'Iya Mi.' Ketika menjawab teleponnya.
Rama mengangguk. "Iya Ning. Umi barusan tanya, jadi ke rumah apa ndak? Kalau Ning ndak mau--"
"Mau Mas. Saya mau ikut."
Kedua mata Rama membulat. Apa ia tidak salah dengar? Ning Aila mau ikut ke rumah kedua orang tuanya?
Aila mendengkus pelan. "Kamu itu kebiasaan deh Mas. Saya belum jawab apa-apa, kamu sudah menyimpulkan sendiri." sungutnya.
Aila berjalan lebih dulu meninggalkan Rama yang masih mematung, atas jawaban yang di berikan oleh Aila. "Mas Rama ayoo!!" Aila berseru saat tiba di depan pintu kamar utama seraya melambaikan tangannya pada sang suami.
Berdeham pelan, Rama bergegas menyusul langkah sang istri hingga kini keduanya berjalan berdampingan. "Mas, nanti kita mampir beli apa dulu gitu buat oleh-oleh untuk Umi dan Bapak."
Rama mengulas senyum tipis, entah mengapa ia melihat jika Aila lebih antusias untuk menemui kedua orang tuanya. "Iya, nanti kita mampir di supermarket depan aja ya?"
"Iya Mas."
Rama membuka pintu mobil, mempersilahkan istrinya masuk, lalu di susul olehnya dan mereka segera pergi meninggalkan pelataran rumah baru mereka, setelah mengunci dengan baik.
Din, din!!
Rama membunyikan klakson mobilnya, saat sampai di pos satpam, ia juga memberhentikan mobilnya, membuka jendela dan berbincang dengan seorang satpam yang berjaga.
"Pak, nanti saya minta tolong di data ya, ada berapa orang yang menghuni di sekitar perumahan ini, termasuk para satpam dan petugas kebersihan juga ya pak, semuanya di data. Nanti kirim ke saya ya." ucap Rama.
Satpam dengan name tag Saipul itu berpose hormat, setelah menyapa Rama. "Siap pak. Nanti saya WA ke nomor bapak. Bapak mau pulang lagi? Kapan mau di isi rumahnya?"
Rama mengulas senyum. "Lusa insyaallah saya isi pak. Kalau untuk data diri saya dan istri sudah di serahkan ke petugas RT dan RW setempat."
Aila hanya memperhatikan keduanyanyang berbincang sangat akrab, sepertinya Rama memang sudah sangat sering datang kemari. Apalagi suaminya itu sudah mempersiapkan kepindahan mereka dengan baik.
"Owalah. Siap pak!"
"Mari pak, kami duluan ya." pamit Rama.
"Inggih pak. Hati-hati di jalan ya."
Rama kembali membunyikan klakson, lalu menjalankan mobilnya. "Mas sering ke sini ya?" tanya Aila setelah mereka meninggalkan pos satpam.
"Iya Ning. Cukup sering, saya sebenarnya sudah menyiapkan rumah ini dari lama."
"Dari lama?"
Rama mengangguk. "Iya, awalnya karena ini berada di antara jalan utama yang menuju ke pabrik Baba juga kan. Jadi saya butuh tempat yang cukup dekat juga jika suatu saat ada pekerjaan mendadak dari Baba." paparnya.
"Tapi kan Mas lebih sering pergi ke pabrik Baba yang di bandung. Apa jangan-jangan Mas juga punya rumah di sana?"
Rama terkekeh. "Ndak dong Ning. Kamu pikir suamimu ini sultan dari lahir apa, sampai punya rumah di setiap kota?"
Aila meringis, sungguh maksudnya tidak ke sana. Tidak juga menghina keadaan Rama, ia baru ingat jika beberapa hari lalu uang di rekeningnya bertambah, dan itu dari transferan rekening milik suaminya, dengan jumlah yang cukup banyak yaitu sepuluh juta rupiah.
Bukan, ia bukan meragukan suaminya. Ia hanya berpikir, berapa sebenarnya gaji yang di berikan oleh Baba, dan adiknya kepada Rama. Sampai Rama bisa membeli rumah, dan melengkapi semua isinya. Bahkan dengar-dengar dari Fikron, seserahan, mas kawin, dan biaya pernikahan juga sepenuhnya menggunakan uang Rama pribadi.
Belum lagi uang bulanan yang cukup besar, darimana Rama mendapatkan semua itu?
Aila menggelengkan kepalanya, tidak imgin berpikiran buruk kepada Rama yang jelas ia ketahui adalah orang baik-baik.
Rupanya tingkah Aila itu terlihat oleh sang suami. "Kenapa Ning? Sakit kepala? Mau minum?" tanpa menunggu jawaban dari Aila, sebelah tangan Rama terulur ke bawah pintu mobil, mengambil sebotol air mineral yang masih tersegel yang entah kapan di siapkannya itu, karena Aila sendiri tidak merasa menaruh botol tersebut di sana.
Aila menerimanya. "Terima kasih Mas." seraya memperhatikan wajah serius Rama dari samping, ia tidak bisa menampik jika jutaan kupu-kupu beterbangan di hatinya. Karena sikap manis suaminya sejak sampai di rumah baru mereka, sampai sekarang Rama terus memanjakan, dan benar-benar memghargai batasan yang ia buat sebelumnya.
"Sama-sama Ning." balasnya.
Mas Rama, apa artinya perasaan cinta untuk kamu sudah mulai tumbuh di hati saya?
*****
Wohohoho makin seneng nggak kalian?
Maafkan typo yang bertebaran ya hehe. Semoga kalian gak bakal bosen sama cerita ini, karena ceritanya masih panjaaaang banget.
Terima kasih sudah membaca ❤️
Jangan lupa ikutan PO Novel Umi Shilla, batasnya cuma sampai 12 desember aja lho, bisa pesan lewat shopee di toko Candupena.
KAMU SEDANG MEMBACA
AILA & RAMA [TERBIT] ✓
General FictionDi zaman sekarang, zaman serba modern ini apakah perjodohan masih berlaku? Tentu saja, seperti yang terjadi pada Myiesha Aila Rizqiyana, seorang dokter bedah bergelar Ning, dari pondok pesantren besar di jogjakarta. Di tengah puncak kariernya ia jod...