SORRY, WE ARE CLOSED!
Aila mematung di tempat, tepat di depan pintu toko kue yang memajang tulisan tersebut. Jauh-jauh ia datang kesini, menahan kantuk dan mata pandanya yang menghitam karena bekerja semalaman, ia di buat kecewa seolah semua perjuangannya itu menjadi sia-sia.
Aila menoleh mendengar decakan kesal dari orang yang berdiri di sampingnya dengan berkacak pinggang. Wajahnya sudah kesal sekali, "Nah, kan tutup. Aku bilang juga apa. Kita langsung pulang saja." Gerutu pria jangkung berkulit putih yang tampak sangat kesal kepadanya.
"Iisshh!! Ini semua gara-gara kamu yang jemput aku Ham!"
Irham melotot sebal, mencubit pipi Aila yang tertutup cadar dengan sedikit keras, menumpahkan semua kekesalannya. "Kalau ndak aku yang jemput, siapa yang mau jemput hah? Fikron sama Mas Rama sibuk ambil pesanan kue." sungutnya.
Aila berteriak sebal, sampai akhirnga Irham melepaskan cubitannya. "Oh, jadi kamu terpaksa jemput aku, begitu?"
Irham berdecak, Aila adalah makhluk paling keras kepala yang ia kenal di dunia ini. "Heh. Harusnya sampeyan panggil aku kakak. Karena aunty Shilla itu adiknya Abi aku." sungutnya.
"Diih. Usia aku lebih tua lima tahun dari kamu, kalau kamu lupa!"
Tuh kan, tidak ada gunanya mendebat Aila. Ujung-ujungnya ia akan kalah, benar-benar sangat keras kepala sekali, kan Aila ini?
Ck!
"Ya sudah, sekarang bagaimana? Mau pulang saja?" tanya Irham, jujur ia sedang ingin sekali istirahat, dan sepertinya Aila juga begitu.
"Ndak tahu," cicitnya. Ia benar-benar kecewa, jika sudah begini Alexa pasti akan mengejeknya karena gagal mendapatkan dua makanan favorit suaminya tersebut.
Irham berdecak, dan menggelengkan kepalanya. "Kok ndak tau sih? Mau nunggu sampai buka? Katanya orang dekat sini, tokonya tutup sampai besok. Kamu mau nunggu sampai besok?"
Aila mencebik kesal, menatap sekali lagi pada pintu toko yang tertutup rapat. "Iihh Irham. Ya sudah, ayo pulang."
Irham menghela napas, kenapa tidak dati tadi saja sih? Aila ini memang menyebalkan!!
Mereka segera masuk ke dalam mobil, Irham mulai menyalakan mesinnya, Aila sendiri bersandar lesu di kurisnya. Jelas sekali ia sangat kesal, kenapa tokonya harus tutup sekarang sih?
Aila memijat pelipisnya, benaknya bertanya-tanya. Bagaimana dengan Alexa? Apakah ia berhasil mendapatkam dua kue tersebut?
"Akh!" Aila berteriak kesal, mengundang atensi Irham yang mengemudi.
"Kenapa sih? Kesambet lagi?"
Aila tidak menjawab, demi apa pun ia sedang sangat kesal. Bagaimana jika Alexa berhasil mendapatkannya?
Argghh!!
"Kenapa sih Mbak? Dari tadi mukanya kesel banget."
Aila mendelik kesal ke arah Irham. "Kamu ndak bakal ngerti Ham."
Irham menghela napas, ia harus mempertahankan kesabarannya seluas samudera itu, tidak berubah menjadi setipis tisu di belah tiga karena harus menghadapi Aila. "Ya gimana mau ngerti, kamu aja ndak bilang apa-apa. Sumpah, ndak jelas banget. Mas Rama kok betah punya istri kaya sampeyan."
"Apa sih. Kamu itu berisik. Mbak makin pusing nih!"
"Dih, yang berisik siapa, yang di marahi siapa." gerutu Irham seraya mendengus kesal.
Aila kesal, cuaca cerah tapi hatinya mendung. Semua gara-gara toko kue yang tutup. Niatnya untuk membeli dua makanan kesukaan suaminya itu pupus sudah, ia sudah kalah sebelum berjuang. Ah, ia berharap Alexa juga tidak akan berhasil mendapatkan dua kue tersebut. Di tengah-tengah rasa kesalnya dering ponsel milik Irham berdering, memecahkan suasana yang tampak hening sejak tadi.
“Nah, Kakang prabu Rama telepon aku Mbak,” ucap Irham.
“Sini Mbak yang angkat, nanti kamu yang ngobrol nggih? Mbak mau loudspeaker juga,”
Irham mengangguk seraya mengemudikan mobilnya.
"Hallo Ham"
"Iya Mas."
"Kamu sama Aila kenapa belum sampai? Kalian ndak kenapa-napa kan?"
Irham menatap Aila yang duduk di sampingnya, wanita itu tampak tengah sangat serius mendengarkan percakapan mereka.
"Ndak kenapa-napa Mas. Kami baik-baik saja." Jawabnya seraya mengemudikan mobil, sedang ponselnya di taruh pada holder yang berada di dashboard mobilnya.
"Yakin? Kalian kok lama banget."
"Ya gimana ndak lama toh, istrine Mas Rama iki minta putar arah ke toko roti apa sih namanya, lupa. Ah, luna's cake and bakery, taunya sampai sana malah tutup sampai besok. Nih, orangnya lagi dengerin kita ngobrol."
Aila melotot ke arah Irham, dan memberikan cubitan pedas pada pinggangnya, hingga pria itu meringis. “Sakit lho Mbak. Astagfirullah, kalau mobilnya oleng bagaimana? Kita bisa-bisa ndak selamat lho,” keluh Irham yang masih meringis seraya mengemudikan mobil miliknya.
“Sayang, kamu mau makan kue?” tanya Rama yang tentunya bukan lagi Irham yang ia tanya, melainkan sang istri yang mendadak kaku mendengar panggilan tidak biasa dari suaminya.
Meski Aila sadar, Rama melakukan itu karena ada Irham namun tidak bisa di pungkiri bahwa hatinya berdesir mendengar panggilan itu, apalagi Rama memanggilnya dengan sangat lembut.
"Hadeuuh, di tanya kok malah bengong. Mas, istrine sampeyan kayaknya ketempelan--aduuh ampun iissh nyebelin. Sakit lho Mbak cubitanmu!" Irham mencebik kesal.
"Sayangku, Ning Ayu .... "
Aila berdeham, demi apa pun tolong amakan jantungnya sekarang.
"I--inggih Mas." jawabnya terbata, ah beruntung Rama tidak melakukan panggilan video sekarang, setidaknya ia tidak akan terlamu malu karena Rama tidak melihat wajahnya yang memerah di balik cadar.
"Kamu mau makan kue memangnya?" Rama bertanya.
"Ndak Mas. Saya lagi ndak mau makan kue."
"Terus kenapa mampir ke toko kue, hm?"
Irham merotasi kedua bola matanya. "Mas, tolong ya jangan buat iri Irham!" seru Irham yang mendapatkan pukulan dari Aila yang melotot sebal padanya.
Terdengar suara kekehan pelan dari Rama.
"Ham, bisa diem nggak? Tolong ya hargai privasi orang." Balas Aila.
Irham mencebik. "Privasi? Mbak sadar nggak dari tadi teleponan pake hp orang."
Irham langsung bungkam begitu mata Aila kembali melotot.
"Mas?" Panggil Aila, kepada sang suami yang masih terhubung di panggilan.
"Hm, dalem sayang?"
Aduuh, Aila meraba dadanya yang tampak bergemuruh. 'Dalem sayang,' yang di ucapkan Rama berhasil membuat jantungnya bertalu-talu.
"Aku ke toko kue buat beli Bika Ambon, sama Mooncake kesukaan kamu. Tapi malah tutup .... " tuturmya sedih.
"Masyaallah sayang. Mas berterima kasih sebelumnya, karena kamu sudah berusaha meski tidak dapat karena tutup. Ndak apa-apa, Mas tetap akan berterima kasih. Matur suwun nggih, Ning Ayu."
Wajah Aila bersemu di balik cadar, Rama lagi-lagi membuat dirinya tersipu. Tanpa dirinya sadari, belakangan ini ia lebih banyak berinteraksi dan melakukan skinship dengan Rama. Ia juga sudah nyaman dengan sosok Rama yang mewarnai harinya, hanya saja Aila belum menyadarinya. Termasuk, soal hatinya yang diam-diam telah terisi oleh Rama.
“Iya Mas,” ia menjawab ucapan Rama sebelumnya.
“Inggih sudah dulu ya. Minta Irham untuk membawa mobilnya pelan-pelan ya sayang. Hati-hati ya sayang,’”
“Inggih Mas. Assalamualaikum,”
“Waalaikumsallam,”
Panggilan itu terputus, dengan hati Aila yang masih berbunga-bunga. Mood-nya yang semula hancur, kini sudah membaik. Mas Rama-nya adalah penembali mood yang baik.
KAMU SEDANG MEMBACA
AILA & RAMA [TERBIT] ✓
General FictionDi zaman sekarang, zaman serba modern ini apakah perjodohan masih berlaku? Tentu saja, seperti yang terjadi pada Myiesha Aila Rizqiyana, seorang dokter bedah bergelar Ning, dari pondok pesantren besar di jogjakarta. Di tengah puncak kariernya ia jod...