Aila masih setia duduk di hamparan sajadah, setelah shalat Isya ia terus berdoa meminta pengampunan kepada sang maha pencipta atas segala dosa-dosa yang menyakiti suaminya selama dua bulan pernikahan ini.
Ia sadar, jika mungkin saja dirinya tidak akan menemukan pria sebaik suaminya.
Alexa benar, dirinya terlalu angkuh. Selama ini selalu merasa yang paling tersakiti dalam pernikahan ini, merasa paling sangat di rugikan. Tanpa memikirkan bagaimana perasaan Rama selama ini. Padahal jika di pikirkan, yang paling sakit hati selama ini adalah suaminya, Rama.
Rama menghampiri Aila yang baru selesai shalat isya, Rama memang memilih shalat berjamaah di masjid dekat rumah mereka sekaligus mencoba beradaptasi dengan tetangga rumah mereka. Sejak kepulangan keluarga besar mereka tadi ba’da magrib, Aila memang terlihat banyak diam dan murung.
“Ning?” panggilnya.
Aila menoleh, berdiri dari posisinya dan menyalami punggung tangan Rama dengan khidmat. Namun tiba-tiba saja air matanya meluruh saat ia mengecup punggung tangan sang suami.Rama terkejut, Aila tiba-tiba saja bersujud di bawah kakinya seraya menangis dan mengatakan kata maaf terus menerus. “Ning, jangan begini. Ayo bangun Ning,” Rama membungkuk memegang bahu Aila untuk berdiri.
Setelah beberapa saat akhirnya caranya berhasil, Aila berdiri sejajar dengannya seraya menangis. Rama langsung menarik Aila ke dalam pelukannya, memeluk sang istri dengan erat dan memberikan ketenangan.
Setelah beberapa saat menangis di pelukan Rama, Aila dan Rama duduk di sisi ranjang tidur mereka saling berhadapan, dengan Rama yang mengusap wajahnya yang basah oleh air mata.
“Mas ...”
“Inggih Ning. Kenapa?”
“Maaf. Selama ini saya sudah jahat kepada Mas, saya—“
Rama menggeleng, “Jangan minta maaf. Mas ndak apa-apa. Jangan pikirkan apa pun tentang Mas. Sudah nggih jangan menangis,”
“Mas, ayo perbaiki hubungan kita. Ayo mulai semuanya dari awal Mas,”
Rama mematung, sedangkan Aila langsung menerjang tubuhnya dan memeluknya dengan sangat erat seraya menangis. Sungguh, Aila benar-benar menyesali semuanya, ia sungguh ingin memeperbaiki semuanya, dan mewujudkan pernikahan yang sudah semestinya.
Rama tidak menjawab, pria itu hanya memberikan usapan lembut pada punggung sang istri, dan meminta agar menghentikan tangisnya.
Rama masih terkejut, ia menganggap ucapab Aila barusan adalah halusinasinya sendiri.
Rama memandangi Aila yang sudah tertidur lelap di atas ranjang, setelah menangis cukup lama Aila tertidur, Rama sendiri belum menjawab perkataan terakhir Aila yang mengajak untuk memperbaiki hubungan mereka.
Bukan tidak mau, Rama hanya merasa jika Aila tidak serius dengan ucapannya, Rama tidak mau Aila melakukannya karena terpaksa, karena ia tahu bahwa hatinya Aila ada nama dokter Reza seorang dokter bedah sekaligus cucu pemilik rumah sakit tempat mereka bekerja.
Ya, Rama diam-diam mencari tahu latar belakang dokter Reza. Ia hanya ingin memastikan jika pria itu adalah orang yang baik. Benar, ia tidak menemukan keganjilan apa pun. Dokter Reza benar-benar orang yang sangat baik, dan mungkin itu yang membuat istrinya melabuhkan hati pada Dokter Reza.
Lagi pula, bukankah terlalu cepat jika Aila mengatakan jika ia sudah melupakan pria itu? Setiap hari mereka berdua bertemu, berinteraksi, makan bersama, dan banyak melempar tawa.
Ia tidak tahu apa alasan Aila mengajaknya untuk memperbaiki hubungan mereka, ia hanya tidak mau jika Aila melakukan semua itu dengan sangat terpaksa.
Rama mengusap surai hitam milik Aila, dan melabuhkan kecupan singkat pada pucuk kepala sang istri yang terlelap.
KAMU SEDANG MEMBACA
AILA & RAMA [TERBIT] ✓
General FictionDi zaman sekarang, zaman serba modern ini apakah perjodohan masih berlaku? Tentu saja, seperti yang terjadi pada Myiesha Aila Rizqiyana, seorang dokter bedah bergelar Ning, dari pondok pesantren besar di jogjakarta. Di tengah puncak kariernya ia jod...