Setelah menutup, dan mengunci pintu, Rama kembali menghampiri Aila ia duduk di atas lantai, tepat di hadapan istrinya seraya menggenggam tangan Aila dan mengecupnya dengan lembut.
Aila kembali terharu, mengucapkan syukur berkali-kali dalam hati, dan juga berterima kasih kepada Babanya karena sudah menjodohkannya dengan Rama, orang yang sangat lembut, dan juga penyabar.
Rama tidak pernah sekali pun meninggikan suara, atau mengangkat tangan untuk menyakitinya.
"Mas, kenapa duduk di bawah? Duduk disini saja, di atas sofa sama aku."
Rama menggeleng, "Ndak apa-apa, Mas di bawah saja." Rama kembali membuat Aila tersentuh dengan sikap lembutnya. "Jadi, kenapa Ning Ayu tiba-tiba menangis hm?"
Aila membalas genggaman tangan suaminya, matanya kembali berkaca-kaca. "Mas, hatinya Mas Rama pasti sakit ya?"
Rama mengerutkan keningnya, sedih? Apa maksudnya? "Kenapa tiba-tiba bertanya begitu, hm?" kini sebelah tangannya beralih mengusap pipi Aila dengan sangat lembut, seolah takut melukai Ning Ayu kesayangannya itu.
Alih-alih menjawab, Aila malah kembali menangis.
"Ning, kenapa nangis lagi toh?"
Rama berpindah duduk di atas sofa bersama Aila, ia kembali menyeka wajah sang istri. “Kenapa hm? Lagi datang bulan, perutnya sakit?” Rama kemudian meringis karena pertanyaan konyolnya. Padahal istrinya sempat bilang baru selesai shalat malam, ia malah bertanya hal yang tidak penting. Ck!
Aila menggeleng, “Mas tahu kalau dokter Reza mau melamarku pada Baba?”
Ada jeda beberapa saat, Rama tidak segera menjawabnya.
“Mas, perasaan Mas pasti sakit ya? Aku--aku sudah sangat jahat sama Mas. Aku juga sudah bilang ke Dokter Reza kalau aku sudah menikah!"
Rama terkejut, jadi Aila menangis karena hal ini? Apakah benar jika Aila sudah memiliki perasaan padanya? Bolehkah ia meminta pada yang maha kuasa, untuk terus bersama dengan Ning Aila sampai selamanya?
"Mas, kita publikasikan saja ya pernikahan kita? Ndak perlu resepsi Mas. Maaf ya, seharusnya dari dulu--"
"Ssstt." Rama langsung menyela ucapan Aila. Ia tidak ingin Aila terus berlarut dalam kesedihannya. "Wes toh, ndak perlu ingat yang sudah-sudah," ia menyandarkan kepala Aila pada bahunya.
"Ning Ayu, soal tawaran sampeyan yang ingin memperbaiki hubungan kita. Mas setuju, tapi nanti ya jangan terburu-buru untuk mempublikasikan pernikahan kita."
Aila mendongkak, menatap Rama yang juga tengah menatapnya dengan teduh. "Kenapa Mas? Apa Mas, ndak takut kalau nanti Dokter Reza datang ke rumah, dan melamar aku kepada Baba?"
Rama terkekeh. "Bukan begitu Ning Ayu. Lagi pula, Baba juga ndak akan mungkin diam saja kalau ada yang datang melamar sampeyan. Lha wong, kamu udah punya suami kok,"
Aila mencebik, merasa tidak puas dengan jawaban suami. Iya, ia memang tahu jika Babanya pasti akan melakukan hal itu, tapi apa tidak ada alasan lain? Seolah-olah Rama tidak mau mencoba berjuang mempertahankannya.
"Ning Ayu ... Kalau di bilang takut, ya takut. Siapa memangnya yang ndak takut kehilangan istri seperti Ning Ayu ini, hm?"
Mendengar itu, tersipu lah kedua pipi seorang Myiesha Aila Rizqiyana. Ia berdeham, rasanya nyaman sekali bersandar pada bahu suaminya, dengan Rama yang merangkul bahunya.
Rama mengecup pucuk kepala istrinya, ia berharap jika nanti ia tidak bisa kembali dengan selamat, ia ingin Aila berjanji untuk hidup dengan baik, dan mungkin Dokter Reza memanglah orang yang sejak awal di takdirkan untuk mendampingi Aila.
Rama juga ikhlas, jika sekiranya Aila akan menikah dengan Dokter Reza, yang sudah pasti adalah orang yang sangat baik, dan tentu bisa membahagiakan Ning Aila dengan segala materi yang di milikinya.
"Ya sudah. Sekarang bobok ya? Sudah malam lho."
Aila tiba-tiba menegakkan kepalanya, tidak lagi bersandar pada bahu suaminya, ia menarik ujung kemeja yang di kenakan Rama.
"Hm, kenapa Ning Ayu?"
Aila tampak menggigit bibirnya, sebelum akhirnya berdeham. "Mas, ndak mau minta hak Mas, padaku? Bukannya Mas bilang mau memperbaiki hubungan kita?"
Rama terkekeh, ia menangkup wajah istrinya dan menekan pipinya dengan gemas. Astaga, apakah istrinya itu tidak sadar, jika ucapannya barusam membuat pikirannya traveling kemana-mana. Sebagai pria normal, ia tentu terpancing, apalagi Ning Aila sudah halal baginya. Tapi ia berhasil menahannya selama ini, karena takut akan menyakiti dan melukai Ning Aila.
"Itu nanti saja. Kita bobok saja ya? Mas capek sekali, ngantuk juga."
Aila tampak kecewa, kepalanya menunduk. "Kenapa Ning Ayu? Serius Ning, Mas bukannya ndak mau. Tapi keadaan Mas ndak memungkinkan, tubuh Mas juga kotor karena seharian berkendara juga," Aila masih belum memberikan respons, namun membiarkan tangan suaminya berada di kedua pipinya.
"Ah, apa Mau mas gendong lagi?"
Berhasil. Bujukan itu akhirnya membuat Aila mengangkat wajahnya, dan memandang Rama.
Rama terkekeh, ia melepaskan kedua tangannya dari wajah sang istri.
"Mau gendooong...." rengeknya manja.
Rama terkekeh, gemas sekali melihat Aila seperti ini.
"Ayo Maaaas" rengeknya lagi.
Rama menggeleng, mata Aila memicing sebal. "Ndak mau ah. Ning Ayu berat!!" Ejeknya, seraya berlari kecil meninggalkan Aila yang merengek sebal padanya.
"Mas Rama .... " Aila menyusul langkah suaminya yang sudah masuk ke dalam kamar sembari tertawa.
"Mas Rama!!" Aila berseru, saat Rama membuka pintu lemari pakaian, mengambil kebutuhannya. "Mas Rama tadi bilang apa? Ayo bilang sekali lagi!!" serunya.
Rama hanya tertawa. Lalu menutup pintu lemari, menunjukkan ekspresi menyebalkan bagi Aila. "Ning Ayu berat," bisiknya.
"Mas Ramaaaa .... " Aila merengek, tidak terima di katakan berat oleh suaminya. Namun suaminya itu sudah lebih dulu masuk ke dalam kamar mandi.
Aila mendengkus, melihat jam dinding yang menunjukkan pukul tiga pagi. Suaminya itu benar-benar di luar prediksi, apa tidak dingin memangnya mandi malam-malam begini? Ia yakin setelah mandi, suaminya juga tidak akan tidur karena menunggu adzan subuh datang.
Aila membuka atasan mukena yang di kenakannya, melipatnya, dan menyimpannya di atas nakas bersamaan dengan sajadah serta mushaf al-qur'an miliknya.
Ia merapikan tempat tidurnya sedikit, lalu memilih berbaring disana sembari menunggu suaminya selesai mandi, namun tanpa bisa di cegah kedua matanya sudah lebih dulu terpejam dan tertidur pulas.
Rama keluar dari kamar mandi dengan rambut yang masih basah, bibirnya tersenyum melihat Aila yang tengah terlelap.
Benar seperti dugaan Aila, ia memilih membuka ponsel khusus pekerjaannya, sampai adzan subuh berkumandang, barulah ia membangunkan Aila untuk berwudhu, dan shalat subuh berjamaah.
KAMU SEDANG MEMBACA
AILA & RAMA [TERBIT] ✓
General FictionDi zaman sekarang, zaman serba modern ini apakah perjodohan masih berlaku? Tentu saja, seperti yang terjadi pada Myiesha Aila Rizqiyana, seorang dokter bedah bergelar Ning, dari pondok pesantren besar di jogjakarta. Di tengah puncak kariernya ia jod...