Aila mengepalkan kedua tangannya. Hatinya berdenyut nyeri mendengar ucapan Rama, ia tahu dirinya sangat bersalah . Tapi bisakah suaminya itu sekali ini saja melupakannya, setidaknya biarkan ia mengobati lukanya dulu.
Sreet!
Suara gorden di sibakkan oleh seorang wanita berperawakan jangkung dengan rambut yang di cat blonde datang dengan sebuah kotak alat medis, wanita itu mendekat kepada Rama setelah sempat beradu tatap dengan Aila yang masih mematung di tempat melihat wanita itu yang menyibak bagian bawah kemeja Rama yang berlumur darah.
Wanita itu juga membersihkan darah Rama dengan sangat telaten, mengeluarkan satu persatu alat dari dalam tas medis yang di bawanya, wanita itu bahkan dengan gesit menjahit luka tusuk Rama lalu menutupnya dengan plester luka anti air.
Aila mengepalkan tangannya, kenapa Rama begitu tega kepadanya? Alih-alih membiarkannya mengobati, suaminya justru meminta wanita dengan rambut blonde itu mengobatinya.
“Bagaimana bu Dokter? Apa cara saya sudah benar?” tanya wanita itu.
Aila tersenyum getir di balik masker yang di kenakannya. “Semuanya benar, sampai saya merasa tidak berguna di sini,” sindirnya.
"Thanks Alexa." ucapnya seraya menerima sebuah kaos hitam lengan panjang yang di berikan oleh Alexa.
Alexa mengangguk, ia menutup kotak medis yang di bawanya dan membuang sampah medis ke tempat sampah. "Sama-sama Ram." ucapnya, tatapannya beralih kepada dokter wanita yang masih mematung di sisi brankar Rama. "Ibu doktet, apa tidak mau keluar juga? Setidaknya tinggalkan Rama yang akan mengganti bajunya."
Aila hendak membuka suara, namun suara Rama menginterupsi lebih dulu. "Keluarlah!"
Tentu ucapan itu di khususkan kepadanya, Aila mengangguk dan mengekori langkah Alexa yang sudah berjalan lebih dulu. Keduanya sama-sama duduk di kursi tunggu, "Saya tahu, kamu adalah istri Rama. Tapi yang membuat saya terkejut, kenapa kamu tidak mau mengakui Rama sebagai suamimu, dan menyembunyikan pernikahan kalian?"
Aila terkejut, bagaimana bisa perempuan ini tahu tentang itu? Ia menatap Alexa dengan pemikiran yang rumit, dan penuh tanya tentang siapa sebenarnya perempuan ini, dan apa hubungannya dengan Rama?
Kenapa perempuan yang ia ketahui bernama Alexa ini bisa tahu soal pernikahannya dengan Rama?
"Itu tidak ada urusannya dengan anda." balas Aila malas.
Aila mengerutkan kening, begitu mendengar Alexa tertawa. Apakah ada yang lucu, pikirnya.
"Rama itu manusia biasa. Ia juga memiliki batas kesabaran. Ning, Rama tidak selamanya bisa bersabar, dan biasanya orang yang seperti itu jika sudah lelah, dia akan benar-benar meninggalkanmu. Jangan sampai kamu menyesal nantinya."
Aila tidak lagi membalas ucapan Alexa yang tengah menyindirnya itu.
"Ayo Xa!"
Kedua perempuan itu menatap ke arah Rama yang sudah selesai berganti pakaian berwarna hitam pemberian Alexa, tidak lagi mengenakan kemeja putihnya yang sudah berlumur darah.
"Sudah selesai Ram?"
Rama mengangguk, ia sama sekali tidak menatap sang istri. "Bagas mana?" tanyanya.
Alexa bangkit dari kursinya, "Menunggu di mobil."
Keduanya lantas pergi meninggalkan Aila tanpa pamit. Melihat itu, ia hanya bisa tersenyum kecut seraya memandang punggung Rama yang kian menghilang dari pandangannya. Jangankan menjelaskan alasan kemana ia menghilang selama dua minggu, dan pulang dalam keadaan terluka. Suaminya bahkan sama sekali tidak berbicara kepadanya, dan malah pergi begitu saja bersama dengan Alexa.
Sungguh, rasanya sesak sekali.
Mengabaikan rasa sesak di hatinya, Aila memilih kembali bekerja.
Saat Aila menjauh, langkah Rama terhenti. Ia juga sesak karena harus bersikap kasar, dan dingin kepada Aila.
"Ram, kamu baik-baik saja?" Alexa langsung panik, namun ia bernapas lega saat Rama menggelengkan kepalanya.
"Ndak apa-apa."
Maaf Ning, tolong bersikaplah seperti biasa. Jangan peduli dengan apa pun tentang saya.
*****
Aila sudah pulang sejak sore tadi, namun ia belum menemukan sosok suaminya dimana pun. Sampai akhirnya Fikron datang menggodanya, dan mengatakan jika Rama tengah mengajar bersama Babanya di pondok. Itu tentu saja membuat Aila sedikit khawatir, Rama masih terluka dan membutuhkan istirahat, namun pria itu malah pergi mengajar?
Sampai akhirnya, ia baru bisa bertemu dengan sang suami saat makan malam bersama seluruh keluarga ndalem. Semuanya tampak terlibat percakapan bersama Rama, kecuali Aila yang saat itu hanya diam tanpa berniat ikut berbicara.
Rama tetap terlihat seperti biasanya, hangat, dan humoris. Aila tenti bingung, kenapa tadi siang Rama bersikap sangat dingin, dan terkesan marah kepadanya?
Aila juga melayani Rama dengan baik, mengambilkan nasi, dan lauk yang di inginkan oleh suaminya itu ke piring di hadapannya, seolah tidak ada kejadian apa pun yang terjadi hari ini.
"Baba senang lho, kita semua bisa kumpul seperti ini." ucap Baba Ikmal seraya tersenyum kepada istri yang sudah mengambilkan makanan untuknya. "Terima kasih sayang," ucapnya kepada sang istri.
Umi Ashilla mengangguk.
Fikron terkekeh pelan, "Bener Ba. Ndak ada yang akan uring-uringan lagi di tinggal suaminya pergi, haha." Ia mengerlingkan mata kepada sang kakak, sengaja menggodanya.
Tentu saja semua orang tertawa, hanya Aila yang tampak tenang seraya menyantap makanannya. Ia benar-benar bingung dengan sikap Rama yang berubah-ubah.
Babanya juga bercerita, jika Rama sempat bercerita kalau ponselnya sempat hilang di copet orang. Itulah mengapa ia tidak bisa di hubungi sampai kepulangannya hari ini, keluarga tentu saja terkejut.
"Mas, selama ini sebenarnya sampeyan kemana selama dua minggu ini? Orang pabrik bilang, Mas cuma lima hari di sana. Masalah juga sudah selesai."
Pertanyaan Fikron menarik atensi semua orang, termasuk Aila juga uang semula memilih mengabaikana apa pun menjadi tertarik dengan apa yang Fikron katakan.
Rama tampak terdiam beberapa saat, sebelum akhirnya ia menghela napas dan tersenyum. "Hm. Umi, Baba, sebenarnya selama ini Rama sedang mempersiapkan furniture di rumah baru."
Kening Aila mengerut. 'Rumah baru? Kenapa tiba-tiba rumah baru? Mas Rama bahkan tidak pernah membahas soal ini kepada saya.' batinnya.
"Rumah baru?" Baba, dan Umi bertanya bersamaan, menantu mereka ini memang benar-benar penuh kejutan.
"Inggih Umi, Baba. Rumah untuk Aila dan Rama. Ngapunten jika sebelumnya Rama ndak memberitahukan kepada Umi, dan Baba lebih dulu. Aila, juga belum tahu soal ini Umi." ungkapnya.
Kemudian Umi, dan Baba mengulum senyum. "Oh, jadi maksudnya Mas Rama ini memberi kejutan kepada Aila, begitu?" Goda Umi Ashilla, yang di balas senyum tipis dan anggukkan pelan dari sang menantu.
Fikron meringis, ia merasa kalau dirinya sudah mengacaukan rencana kakak iparnya untui memberi kejutan kepada Aila. "Maaf ya Mas. Gara-gara Fikron, rencana bikin kejutannya gagal."
Rama tertawa. "Ndak apa-apa. Mas malah terima kasih, karena kamu akhirnya Mas bisa memberitahu Umi dan Baba lebih cepat soal ini."
Aila mencengkeram sendok di tangannya. Kenapa lagi-lagi suaminya itu tidak pernah melibatkan dirinya dalam hal apa pun? Terlebih rumah baru itu untuk mereka berdua, seharusnya suaminya meminta pendapat, atau memberitahu soal rencana membeli rumah baru itu.
Kenapa rasanya Rama selalu egois?
KAMU SEDANG MEMBACA
AILA & RAMA [TERBIT] ✓
General FictionDi zaman sekarang, zaman serba modern ini apakah perjodohan masih berlaku? Tentu saja, seperti yang terjadi pada Myiesha Aila Rizqiyana, seorang dokter bedah bergelar Ning, dari pondok pesantren besar di jogjakarta. Di tengah puncak kariernya ia jod...