KELUARGA YANG MENYENANGKAN

12K 630 24
                                    

Berbeda dengan kedua ibu-ibu itu yang menatapnya dengan tidak suka, Rama malah terlihat tenang, dan tersenyum tipis. "Inggih bu. Ibu sehat?"

Aila benar-benar tidak mengerti, mengapa Rama tetap sopan, padahal kedua ibu itu berbicara kepadanya dengan sangat ketus sekali.

"Yo sehat Ram. Ndak lihat kami bisa berdiri di sini sekarang?" ibu dengan kerudung abu tua juga ikut berbicara dengan ketus dan tidak bersahabat kepada Rama.

Rama terkekeh pelan. "Inggih. Maaf ya, Rama ndak maksud ke sana kok. Cuma ya kan kita lama ndak ketemu."

Keduanya mendengkus. Sampai ibu berkerudung hitam mengalihkan tatapannya kepada Aila yang sedari tadu diam saja. "Owalah, iki toh mantune Umi Desi? Ayu tenan."

Aila tetap diam, ia rasanya malas sekali menanggapi orang seperti itu.

"Eh, kenapa baru ke sini setelah sebulan menikah. Pasti sampeyan malu nggih, punya mertua miskin? Iya toh?" Ibu berkerudung Abu tua langsung menyosor.

Demi apa pun, Aila sangat kesal. Bisa-bisanya mereka menghina Rama dan keluarganya seperti ini?

Aila ingin sekali mengeluarkan suara, namun urung saat merasakan tangan Rama menggenggam tangannya. "Ngapunten ibu-ibu, saya dan istri mohon pamit nggih. Istri saya kelelahan, mau segera istirahat." ucap Rama, membuat kedua ibu-ibu nyinyir itu semakin meradang.

"Halah, sombong bener sampeyan Ram. Hidup sampeyan masih numpang karo kyai Ikmal kok, ndak pantas sampeyan jadi sombong seperti ini. Cih!"

"Hooh bener. Ning, opo ndak isin punya suami yang ndak punya pekerjaan apa-apa? Sayang banget lho, Ning itu orang kaya kok mau sama Rama sih."

Aila menjadi semakin kesal. Astagfirullah, bagaimana bisa ucapan mereka begitu sangat jahat seperti itu?

Rama juga kenapa diam saja saat dirinya di injak-injak seperti itu, dan malah terus tersenyum?

Rama menoleh ke arah Aila yang menatapnya dengan aneh. "Ndak usah di ladeni." bisiknya.

"Maaf ya ibu-ibu. Saya duluan, assalamualaikum." pamit Rama.

"Waalaikumsallam!!" sahut mereka sewot.

Rama menggandeng tangan Aila, sementara sebelah tangan miliknya membawa plastik besar berisi belanjaan mereka di supermarket sebelum menuju kemari. Kedatangan keduanya disambut sangat senang oleh Umi Desi, dan Pak Syahrul selaku kedua orang tua Rama.

Rama dan Aila bergantian menyalami punggung tangan kedua orang tua Rama. Bahkan Umi Desi langsung memeluk sang menantu dengan penuh sayang, Aila yang di perlakukan sangat baik di rumah suaminya itu terlihat sangat senang.

Ah, ia tahu sekarang mengapa Rama tumbuh menjadi orang baik, tentu saja karena kedua orang tuanya juga baik, dan menanamkan sifat itu pada anak mereka sejak kecil.

"Umi mu senang sekali kalian berdua kesini. Dari pagi sibuk mondar-mandir mau masak apa untuk anak dan mantunya, Bapak sendiri sampai lupa di perhatikan lho Ram." Adu Pak Syahrul, setelah mereka semua duduk di kursi ruang tamu yang terbuat dari bambu.

Rama terkekeh, menanggapi keluhan Bapak. Hatinya juga berbunga-bunga melihat Aila yang duduk di kursi yang sama dengan Uminya, dan saling memeluk. Sedang Rama, duduk bersama dengan sang ayah.

'Seandainya pernikahan kita berada di jalur yang seharusnya, saya sangat ingin melihat pemandangan ini setiap hari.' batinnya. Namun ia hanya bisa tersenyum getir, mungkin saja pulang dari sini sikap Aila akan kembali berubah seperti semula.

"Pak, di lihat-lihat kok sekarang Umi udah ndak sayang sama kita ya Pak." Rama berucap, kemudian terkekeh melihat kedua mata Uminya yang melotot padanya.

"Opo sih, Bapak sama anak sirik saja. Umi kan kangen sama mantu umi. Ya sayang?"

Aila mengangguk, sama sekali tidak melepaskan pelukannya dari sang mertua. Ia beruntung memiliki suami yang baik, dan juga kedua mertua yang sama baiknya.

Rama mengangguk, bersama dengan Pak Syahrul. Ayah dan anak itu kompak memasang wajah cemberut, dan juga sedih. "Oh, Umi cuma kangen sama mantune katanya pak."

"Iya Ram. Hati Bapak kok sakit ya Ram."

"Iya Pak. Hati Rama juga, kayak di tusuk samurai ini, duuh!!" Rama semakin mulai sok dramatis dengan menyentuh dadanya seraya meringis.

Aila terkekeh, ia tidak tahu jika suaminya punya sisi humor yang seperti ini, di tambah lagi dengan Bapak mertuanya yang sama-sama humoris benar-benar membuat suasana rumah semakin hangat, dan--menyenangkan.

"Halah, opo toh mulai lebay nya." semprot Umi Desi. "Ayo cah ayu, kita pindah ngobrolnya ke belakang, di sana lebih sejuk, dan yang paling penting--" Umi Desi melirik ke arah suami dan putranya yang duduk di kursi yang berseberangan dengannya. "Di sana ndak ada pengganggu!" serunya.

Rama dan sang Ayah kembali tertawa. Menggoda Umi, adalah hal yang menyenangkan bagi kedua laki-laki di rumah ini.

Umi Desi menuntun sang menantu untuk ikut dengannya, meninggalkan Rama dan suaminya yang tengah tertawa menyebalkan itu.

Seraya berjalan, tangan Umu Desi dan Aila masih bertaut. Berjalan bersama dengan saling bergandengan tangan benar-benar membuat Aila senang. Umi Desi memperlakukannya seperti anaknya sendiri, ia benar-benar sangat bersyukur.

"Maaf nggih Ning, jika rumah Umi membuat sampeyan ndak nyaman."

Aila melihat ada tatapan lembut yang berubah sendu dari kedua mata ibu mertuanya. Apakah Umi Desi salah mengira jika dirinya tidak nyaman berada di rumah ini?

Aila menggeleng, mengeratkan genggan tangannya. "Aila nyaman kok Umi. Suasananya sejuk sekali, apalagi Umi dan Bapak juga sangat baik dengan Aila."

Umi Desi mengulas senyum tipis. "Maaf ya, beginilah adanya rumah kami. Kecil, dan sempit Ning."

Aila menghela napas. "Umi, Aila serius. Aila nyaman disini. Umi, jangan panggil Aila pakai 'Ning' ya? Panggil nama saja, sungkan rasanya di panggil seperti itu sama Umi."

Umi Desi mengerutkan kening, "Lho, kalau seperti itu malah Umi yang ndak enak. Masa panggil nama saja? Ndak mau ah Umi,"

"Umi, Aila ini istrinya Mas Rama. Itu artinya Aila juga anak Umi, iya toh? Umi ndak usah sungkan sama Aila, ya?"

Umi Desi mengangguk, "Rama beruntung memiliki istri sebaik sampeyan nduk."

Aila menepis kalimat itu dalam hati. Bukan, bukan Rama yang beruntung memilikinya, tapi ia yang beruntung memiliki Rama yang sangat baik, dan sabar menghadapi sikapnya selama ini.

AILA & RAMA [TERBIT] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang