Rama benar-benar pria yang baik. Semua orang mengakui itu, termasuk Aila yang terdiam karena Rama menyanggupi syarat yang ia berikan, bukankah seharusnya pria itu menolak?
"Yai, Umi. Saya mohon izin pulang ke jombang besok. Saya harus menyamoaikan perjodohan ini kepada Umi dan juga Bapak. Untuk persyaratan dari Ning Aila, saya sangat setuju."
Tatapan matanya beralih kepada Kyai Ikmal yang sedari tadi diam. Segudang rasa bersalah meliputi hatinya, apakah keputusannya menikahkan pria sebaik Rama dengan putrinya sudah benar?
"Yai, apa tetap akan ada lamaran dari pihak pria?"
Kyai Ikmal lantas menggeleng. "Ndak perlu Nak Rama. Langsung ke pernimahan saja, untuk waktu pelaksanaannya kami akan menyerahkan ke keluarga Nak Rama sendiri."
Rama mengangguk. Lagi pula, semuanya sudah terlanjur kan? Ia akan tetap menikahi Ning Aila.
"Nak Rama, jangan pikirkan tentang pernikahan kalian. Semua akan di urus oleh keluarga kami." imbuh sang pengasuh pondok pesantren Darul Hikmah. Kedua matanya memancarkan keteduhan, kepada pria yang sudah ia pilih untuk mendampingi putrinya. "Bawalah mobil Fikron besok, Ram."
Rama dengan tegas menggeleng. Ia tidak mau banyak merepotkan keluarga ndalem. "Ndak usah Yai. Ndak perlu repot-repot. Saya akan pulang besok menggunakan Bis saja, untuk biaya pernikahan juga insyaallah saya sanggup menanggung semuanya Yai."
"Nak Rama. Kami minta maaf atas sikap Aila tadi. Umi tahu, Aila tidak bermaksud menyinggung hati Nak Rama."
Rama mengangguk. Pembicaraan itu berakhir sampai di sana saja, Rama pamit undur diri. Sesaat setelah keluar dari ndalem ia menengadahkan wajahnya menatap langit malam yang penuh bintang. Ini semua sudah menjadi takdirnya, menikah dengan Ning Aila wanita yang di cintainya tentu adalah mimpi terbesarnya, tapi dengan keadaannya yang masih belum memiliki apa pun, apakah ia akan sanggup memikul beban sebagai kepala keluarga?
Wajahnya menunduk menatap tanah yang di pijaknya, tanpa sadar air matanya mulai berjatuhan, semua itu tidak luput dari pandangan Aila yang melihat itu semua dari balkon kamarnya.
Ia meremas besi pembatas balkon, ia tahu status mereka berdua akan berubah setelah ijab kabul nanti, dan mungkin saja kehidupan mereka tidak akan mudah karena sama-sama menikah karena terpaksa dan mungkin saja Rama juga memiliki orang yang di cintainya.
Malam itu, Rama dan Aila sama-sama bersujud di sepertiga malam, memohon petunjuk dan juga kekuatan iman.
****
Keesokan harinya, sesuai dengan ucapannya semalam saat pagi tiba ia berangkat naik bus untuk pulang ke kampung halaman. Kedatangannya tentu di sambut riang oleh Umi Desi dan Bapak Syahrul, orang tua nya.
Namun perasaan riang itu mulai surut saat Rama mengatakan bahwa kedatangannya kemari untuk membicarakan perjodohannya dengan Ning Aila, alih-alih senang Pak Syahrul sang ayah malah terlihat begitu marah.
Bukan, bukan karena tidak ingin memiliki menantu seorang Ning Aila. Ia hanya malu jika berbesan dengan Kyai Ikmal, rasanya sangat tidak pantas sekali, dan Rama malah datang membawa kabar jika ia dan Ning Aila sepakat menerima perjodohan dan menikah.
“Ya Allah Ram! Sampeyan iki sudah ndak waras! Malu Ram, malu jika sampai kita berbesan dengan Kyai Ikmal. Astagfirullah Rama!” Pak Syahrul meraup wajahnya kasar.
Umi Desi menghampiri sang suami yang berdiri dari posisi duduknya, seraya berkacak pinggang dengan rahang yang mengeras. "Pak, sabar pak."
Sabar katanya?
Bagaimana ia bisa sabar, jika putra semata wayangnya ini baru saja mengatakan hal yang sangat gila. Pak Syahrul memijat pelipisnya, "Anakmu ini lho Mi. Ada-ada saja." tatapannya beralih kepada Rama yang masih dalam posisi duduk seraya menundukkan kepalanya, ia tidak sanggup menatap wajah marah ayahnya.
"Sampeyan punya apa memangnya sampai berani mau menikahi Ning Aila, hah?" Lagi, Pak Syahrul kembali memijat pelipisnya.
"Sing sadar diri Ram. Perlu Bapak kasih kamu cermin? Coba sampeyan bercermin, siapa sampeyan sampai beraninya mau bersanding dengan keluarga Kyai Ikmal. Kita ini hanya keluarga petani Ram. Apa sampeyan ndak malu?"
Umi Desi mengusap bahu sang suami. "Pak, sudah Pak. Jangan bicara pakai emosi, Bapak kan bisa bicara pelan-pelan dengan Rama. Ndak usah begini."
Pak Syahrul memalingkan wajah, ia memejamkan matanya Rama ini benar-benar sudah gila. Bisa-bisanya ia ingin mempersunting Ning Aila, dengan keadaan keluarganya yang seperti ini?
"Saya cinta dengan Ning Aila Pak."
Kalimat yang di lontarkan oleh Rama kembali menarik atensi Pak Syahrul, juga menambah emosi yang tengah memuncak. "Astagfirullah Rama! Cinta saja ndak cukup Ram. Yang akan sampeyan nikahi itu adalah Ning dari seorang Kyai ternama. Sampeyan ini apa sudah ndak punya akal sehat!!"
"Astagfirullah Bapak!" Umi Desi menegur suaminya yang baru saja mengeluarkan kata-kata kasar kepada Rama. "Sudah nggih, darah tinggi Bapak bisa naik nanti."
Pak Syahrul mendengkus, "Kalau pun darah tinggi Bapak kambuh, itu karena anak kamu Mi."
Umi Desi menghela napas, tidak lagi membujuk sang suami yang masih dalam emosi yang belum stabil. Ia beralih menghampiri Rama yang masih duduk. Ia duduk di samping putranya seraya mengusap bahu Rama. "Rama, cah bagus. Bilang sama Umi, apa sampeyan sudah siap menikahi Ning Aila? Siap dalam arti sebagai suami, dan tulang punggung keluarga?"
Rama mengangguk, "Insyaallah Umi."
"Ning Aila itu sejak kecil sudah terbiasa hidup serba berkecukupan. Jangan sekali-kali kamu menyengsarakan Ning Aila dengan menikah dengan kamu. Keluarga kita ndak punya apa-apa Ram. Kita tidur pun, bukan di kasur busa, hanya kasur kapuk. Untuk makan saja susah, dan sampeyan tiba-tiba ingin menikahi Ning Aila? Dimana pikiran kamu Ram!!"
Rama sejak tadi menahan perasaan sesak di dadanya. Ia sudah menduga jika respons ayahnya akan seperti ini, dengan keadaan mereka yang seperti ini tentu tidak mungkin rasanya untuk mengadakan pernikahan dengan keluarga besar seperti Kyai Ikmal.
Untuk makan saja susah, apalagi untuk mengadakan resepsi.
Umi Desi berdecak, menatap sinis sang suami yang masih saja keras terhadap Rama. "Pak, sudah ah. Jangan marahi Rama terus, duduk sini bicara baik-baik dengan Rama." ucapnya menengahi pertengkaran antara anak dan ayah itu.
"Bapak ndak akan kasih restu!"
Deg!
Rama mengepalkan kedua tangannya, Bapaknya benar-benar tidak setuju dengan permintaannya.
"Jika sampeyan mau menikah dengan Ning Aila, silahkan! Tapi setelah itu jamgan pernah kamu datang lagi ke rumah ini!"
Rama dan Umi Desi terkejut. Umi Desi langsung berdiri, dan memukul bahu Pak Syahrul. "Bapak, istigfar! Rama anak kita pak!"
Pak Syahrul tidak menghiraukan ucapan, dan perasaan Umi Desi, dan juga Rama yang tentu paling terluka dengan semua perkatannya.
Pak Syahrul berlalu begitu saja dari hadapan istri dan anaknya, di susul oleh Umi Desi yang mengekorinya.
Kini tinggallah Rama sendirian di sana, kepalanya tertunduk, ia menangis. Wajar jika ayahnya mengatakan hal seperti itu kepadanya, ia paham ke khawatiran sang ayah.
Ayahnya khawatir, jika ia tidak bisa mencukupi hidup Ning Aila yang sejak kecil sudah berkecukupan.
Semuanya benar-benar menjadi sangat rumit, ayahnya sampai semarah itu kepadanya. Seharusnya sejak awal ia menolak perjodohan ini dengan sangat tegas.
Ia memang menghormati Kyai Ikmal sebagai Guru. Tapi ia akan menjadi durhaka kepada kedua orang tuanya, jika tetap nekat menikahi Ning Aila.
Ya Allah, hamba harus bagaimana? Batinnya berteriak frustrasi.
KAMU SEDANG MEMBACA
AILA & RAMA [TERBIT] ✓
General FictionDi zaman sekarang, zaman serba modern ini apakah perjodohan masih berlaku? Tentu saja, seperti yang terjadi pada Myiesha Aila Rizqiyana, seorang dokter bedah bergelar Ning, dari pondok pesantren besar di jogjakarta. Di tengah puncak kariernya ia jod...