"Ning a--yu. Ber--janjilah u--un--tuk ter--us ba--ha--gi--a .... "
Tidak!
Aila kembali menggelengkan kepalanya, ia tidak mau mendengarkan apa pun yang di katakan suaminya. Demi Tuhan, ia tidak mau berpikiran macam-macam, Mas Ramanya pasti akan selamat, hanya itu yang harus ia yakini.
Aila tidak lagi memegangi wajah Rama yang pucat dan sesekali meringis, ia menghampiri dokter Reza dan memegangi jas bagian depannya seraya menangis. “Tolong ... tolong selamatkan suami saya Dok,” isaknya pilu. Sadar akan ia yang tidak akan mampu menangani suaminya, Aila menyerahkan itu semua kepada dokter Reza.
Seakan tersadar, dokter Reza memberi perintah untuk membawa Rama masuk ke ruang UGD melakukan serangkaian ia juga bahkan langsung mengurus ruang operasi dan perawatan Rama karena Aila pasti tidak akan sanggup.
“Saya akan berusaha semampu saya Mei,” jawabnya, sungguh saat ini perasaannya benar-benar sangat campur aduk. Kecewa, dan sedih yang paling mendominasi. Tapi, di balik itu semua bukankah ia harus tegap profesional?"Nduk?"
Aila menoleh dan berhambur memeluk tubuh sang Umi Shilla yang baru saja sampai bersama keluarganya. "Mi, Mas Rama. Umi .... " isaknya.
Umi Shilla membalas pelukannya seraya mengusap punggung putrinya.
"Rama dimana? Apa sudah di tangani?" Tanya Baba Ikmal, wajahnya terlihat penuh kekhawatiran dan juga sedih saat mendengar kabar jika menantunya di larikan ke rumah sakit.
Aila mengangguk, sebagai jawaban dari pertanyaan Babanya barusan. Dunianya serasa sudah runtuh, melihat suaminya yang selalu tersenyum cerah menatapnya setiap hari, kini berbarjng tidak berdaya di atas brankar dengan luka tembak yang terus mengeluarkan darah.
Ia sangat takut kehilangan suaminya, ia takut tidak bisa melihat wajahnya yang selu berseri saat memanggilnya 'Ning Ayu'.
Ia benar-benar takut, dan tidak bisa membayangkan bagaimana jika suaminya itu tidak selamat.
Tiba-tiba sosok pria dengan seragam polisi datang menghampiri Baba Ikmal. "Permisi. Mohon maaf sebelumnya, saya Bambang. Orang yang menghubungi Kyai Ikmal tentang Rama,"
Baba Ikmal mengangguk. "Oh inggih Pak. Saya Ikmal."
Pak Bambang melibat sekilas ke arah Aila tengah menangus di pelukan sang ibu, lalu kembali menatap kepada Baba Ikmal. "Maaf sebelumnya, keluarga di minta untuk menandatangani persetujuan operasi pada Rama karena lukanya cukup fatal, ada tiga peluru yang bersarang di tubuhnya," papar Pak Bambang.
Semua orang tentu terkejut, Aila juga bahkan langsung melepaskan pelukannya dari sang ibu.
Baba Ikmal ingin bertanya lebih jelas, namun keadaan Rama adalah hal yang penting sekarang. "Nduk? Sampeyan saja yang tanda tangan nggih?"
Aila tidak menjawab pertanyaan Babanya, ia malah menatap penuh tanya dan kening yang berkerut kepada pria yang barusan menjelaskan keadaan Rama.
"Pak, sebenarnya Bapak ini siapa? Mas Rama juga siapa sebenarnya? Terus kenapa bisa Mas Rama mendapatkan luka tembak sebanyak itu?" Aila terisak, wajah pucat Rama terhs terbayang-bayang di kepalanya.
"Kalian ini apa tidak memikirkan bagaimana perasaan saya yang bisa saja hancur jika Mas Rama di nyatakan tidak selamat? Apa kalian tidak berpikir sampau kesana?"
Umi Shilla mengusap bahu putrinya yang kembali bergetar karena tangis. "Istigfar nduk. Umi tahu kamu kecewa, sedih, dan terkejut. Tapi sampeyan barus tetap tenang nggih?" Umi Shilla menggenggam kedua tangan putrinya, "Ayo ikut Umi untuk tanda tangan berkas dulu. Agar Mas Rama bisa segera di tangani secepatnya."
Pak Bambang memalingkan wajah, menahan agar air matanya tidak jatuh. Kemudian kembali menatap istri dari Ramadhan Althaf Bayu, "Maaf Ning, saya akan menjelaskan semuanya nanti, setelah kamu menandatangani persetujuan operasi Rama, sekalian ada sesuatu yang harus saya berikan kepada sampeyan dari Rama."
Aila mengusap wajah dan cadarnya yang basah oleh air mata seraya mengucap istigfar, ia di bawa oleh sang ibu untuk memberikan tanda tangannya pada formulir persetujuan operasi pada Rama, setelah selesai ia yang di papah oleh ibunya berjalan ke lorong ruang operasi bersama dengan tubuh Rama yang sudah tidak sadarkan diri. Ia mendekat pada brankar milik Rama, ia kembali menangis tidak lagi mendapatkan wajah Rama yang berbinar seperti biasa, hanya ada wajah pucat dan terlihat sangat tenang.
Ia takut sekali jika benar-benar tidak bisa melihat wajah tampan suaminya seperti hari-hari sebelumnya.
"Mas Rama janji sama aku kalau Mas akan kembali. Kamu sudah berjanji kalau kita akan memublikasikan pernikahan kita Mas. Kamu juga janji tidak akan meninggalkan aku Mas, jadi aku mohon tolong kembali untukku. Untuk Ning Ayu yang kamu cintai .... "
Pecahlah sudah tangis semua orang yang menyaksikan kerapuhan seorang Myiesha Aila Rizqiyana karena seorang Rama. Meski tidak ada kaya cinta yang terucap di bibirnya untuk pria yang berbaring di atas brankar di depan pintu masuk ruang operasi. Tangis darinya sudah menunjukkan cinta yang sangat besar untuk suaminya. “Dok, janji sama saya. Tolong selamatkan Mas Rama. Janji dok!”
Dokter Reza mengusap sudut matanya yang berair, “Saya akan melakukan semampu saya Mei,”
Aila menggeleng. “Tidak. Kamu harus bisa menyelamatkannya, saya sangat membutuhkan Mas Rama Dok. Tolong ya, selamatkan—“
Bruk!
“AILA!!”
Semua orang berteriak saat tubuh Aila ambruk, beruntung Fikron bergerak cepat dan menangkap tubuhnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
AILA & RAMA [TERBIT] ✓
General FictionDi zaman sekarang, zaman serba modern ini apakah perjodohan masih berlaku? Tentu saja, seperti yang terjadi pada Myiesha Aila Rizqiyana, seorang dokter bedah bergelar Ning, dari pondok pesantren besar di jogjakarta. Di tengah puncak kariernya ia jod...