Satu bulan berlalu, hubungan Aila dan Rama masih sangat begitu mesra. Keduanya sudah tidak lagi malu-malu untuk menunjukkan perasaan cinta mereka.
Mereka berdua selalu menyempatkan untuk pergi jalan-jalan berdua meski hanya sekedar ke taman kota, atau makan malam di sebuah cafe dan restoran yang sedang hits. Mereka sudah seperti pasangan muda yang baru saja mengalami kasmaran, setiap waktu seolah tidak ingin berpisah.
Aila masih bekerja di rumah sakit, Rama juga seminggu sekali pergi ke Bandung untuk mengecek pabrik di sana bersama dengan Fikron.
Pagi ini, raut wajah si cantik Aila itu tampak mendung seraya menutup koper berukuran sedang berwana hitam milik suaminya.
Sementara suaminya itu sedang berada di dalam kamar mandi, tengah bersiap untuk keberangkatannya ke Bandung, karena pabrik disana sedang mengalami masalah yang cukup serius, dan kemungkinan suaminya akan tinggal cukup lama disana, dan itu tentu saja membuatnya sangat sedih sekali.
Ia tidak mau berpisah dengan suaminya, tapi tidak bisa melarang suaminya untuk tetap pergi. Karena ia tahu, jika suaminya itu memiliki tanggung jawab yang besar juga seperti Fikron. Dalam masalah kali ini, Babanya juga akan ikut serta menanganinya.
Cklek!
Rama yang baru saja keluar dari kamar mandi terlihat begitu tampan dan juga segar. Alih-alih mengenakan kemeja formal seperti biasanya, suaminya itu kini berpenampilan cukup santai dengan kaos putih berkerah, serta celana panjang berwarna moka.
Ia menghampiri sang istri yang duduk di tengah ranjang dengan koper yang berada di hadapannya. Rama memposisikan duduk di belakang tubuh istrinya dan memeluknya dari belakang seraya meletakkan dagunya pada bahu iatrinya yang berbalut piama berwarna abu muda.
"Maaf ya, Mas tinggal kamu dulu sementara. Mas janji, kami semua akan menyelesaikan semuanya secepat mungkin, biar Mas bisa cepat pulang juga,"
Sejak tiga hari lalu, istrinya itu memang agak murung sesaat setelah ia mengatakan tentang masalah ini.
Aila masih bergeming, tidak membalas ucapan suaminya.
"Yang," Rama kembali membuka suara. Ia juga sebenarnya sangat berat meninggalkan Aila, tapi mau bagaimana lagi, ia juga tidak bisa mengabaikan masalah yang tengah terjadi.
"Nanti kamu tinggal sama Umi dulu ya Yang, sementara Mas pergi? Mas ndak mau kamu sendirian di rumah. Mas juga nanti suruh Irham antar jemput kamu kerja. Gapapa ya sayang?"
Aila memejamkan mata, dan buliran air mata mulai jatuh membasahi wajah cantiknya. Ia lalu melepaskan kedua tangan suaminya yang tengah memeluknya, lalu berbalik dan gantian ia yang memeluk suaminya seraya menangis.
Hatinya Rama juga ikut sedih mendengar tangis Aila. "Maaf ya sayang. Mas janji akan usahakan pulang cepat."
"Nggak mau! Aku nggak mau di tinggal Mas. Aku mau ikut sama Mas saja, nggak mau di tinggal .... " ucapnya seraya menangis.
Rama mengusap punggung istrinya dan memberikan kecupan pada rambut hitam Aila. "Nggak bisa sayang. Ning Ayu kan juga punya kesibukan di rumah sakit." Rama masih dengan sabar membujuk istrinya agar tidak menangis. "Nanti kalau kamu ada libur, Mas ajakin kamu jalan-jalan ke Bandung deh."
Namun Aila kembali menggeleng dan menangis, seraya mengatakan berkali-kali jika dirinya tidak mau di tinggal. "Aku bisa resign. Aku nggak mau di tinggal!!"
Rama membalas pelukan Aila, membiarkan istrinya itu menangis sepuasnya dalam pelukannya. Aila yang seperti ini membuatnya sangat berat untuk meninggalkannya.
"Mas Rama? Ini Umi."
Terdengar suara Umi Shilla memanggil seraya mengetuk pintu kamar mereka yang tidak tertutup rapat.
KAMU SEDANG MEMBACA
AILA & RAMA [TERBIT] ✓
General FictionDi zaman sekarang, zaman serba modern ini apakah perjodohan masih berlaku? Tentu saja, seperti yang terjadi pada Myiesha Aila Rizqiyana, seorang dokter bedah bergelar Ning, dari pondok pesantren besar di jogjakarta. Di tengah puncak kariernya ia jod...