SAMPEYAN MAU CERAI?

12.1K 580 15
                                    

Rama dan Bagas sudah sampai di tempat tujuan, Rama bergegas keluar mengabaikan sosok Alexa yang menyapanya. Ia masuk ke dalam sebuah ruangan, dan keluar sudah berganti pakaian olahraga.

Alexa, wanita berdarah inggris-indonesia itu menatap Bagas dengan lekat, menanyakan apa yang terjadi kepada Rama yang tengah berlari memutari lapangan luas tempat latihan mereka, namun Bagas menggelengkan kepala, ia juga tidak tahu menahu tentang apa yang terjadi kepada Rama.

Bagas, dan Alexa saling tatap. Rama orang yang sangat tertutup dengan kehidupan pribadinya, padahal mereka bertiga sudah berteman sangat lama. Melihat Rama yang berlari seperti orang gila, membuat mengerti jika Rama sedang tidak baik-baik saja. Entah masalah macam apa yang tengah di hadapinya sampai Rama berlari segila itu, seolah jika berhenti masalah itu akan menyergapnya.

“Bawakan minum sana Gas. Rama sudah capek banget kelihatannya,” ucap Alexa, si gadis berambut blonde yang merupakan istrinya Bagas sendiri.

Bagas menurut, ia menerima dua botol air mineral dingin pemberian Alexa, dan segera berlari menghampiri Rama yang masih berlari.

"RAM!! RAMA! BERHENTI DULU!!"

Rama yang semula berlari kencang, lamgsung melambatkan laju larinya, dan perlahan menjadi hanya berjalan santai ke arah Bagas yang mengangkat sebotol air mineral dingin di tangannya.

"Mau cerita?" tanya Bagas setelah Rama mendudukkan dirinya di pinggir lapangan, dengan kaki yang berselonjor. Ia juga menerima air mineral dingin yang sudah di buka lebih dahulu segelnya oleh Bagas.

"Saya ndak apa-apa." jawabnya seraya meneguk air dingin tersebut.

Bagas menghela napas, "Ram, kita ini sudah saling mengenal sejak lama. Sampeyan bukan lagi orang asing bagi aku dan Alexa."

"Rumit. Sampeyan ndak akan ngerti Gas."

"Justru lebih rumit lagi kalau sampeyan ndak mau cerita." Bagas menepuk bahu Rama, "Ram, jangan di pendam. Aku siap dengar semua cerita sampeyan."

Setelah mengatur napas yang semula terengah karena berlari, akhirnya Rama menceritakan semuanya, termasuk tentang keadaan rumah tangganya yang tidak baik-baik saja.

Bagas tentu terkejut, karena pasalnya tidak ada yang tahu jika Rama sudah menikah dengan Ning Aila, anak dari Kyai Ikmal, gurunya sendiri.

"Jadi, sampeyan wes nikah sama anak Guru sampeyan?"

Rama mengangguk. Bagas menghela napas beberapa kali, pantas saja Rama menjadi sekacau ini, karena pasalnya Ning Aila sudah melukai hatinya berkali-kali. "Lalu, sampeyan mau apa dengan pernikahan kalian yang hambar? Sampeyan mau cerai?"

"Ndak tahu Gas."

Bagas jelas melihat ada banyak kesedihan yang coba Rama sembunyikan. Ia sakit, tapi ia juga cinta dan tentu tidak ingin berpisah dari Ning Aila.

Rama seolah menjelaskan melalui ketulusannya, jika ia rela sakit, tersayat dan berdarah-darah asalkan bisa bersama Ning Aila, semua itu tidaklah mengapa.

"Saya juga bingung, Gas."

Bagas menghela napas. "Yo wes, aku doakan yang terbaik untuk pernikahan kalian."

Rama tersenyum kecut. Yang terbaik? Bagaimana jika pilihan terbaiknya adalah berpisah? Apakah ia siap, jika  harus melepaskan Ning Aila, dan membiarkannya bahagia dengan pria lain yang di cintainya?

Semuanya benar-benar sangat rumit.

*****

Sementara itu, di tempat berbeda Aila baru saja menyelesaikan operasi bersama dengan Dokter Reza, keduanya baru keluar dari ruang operasi lalu sosok security menghampiri Aila.

Ngapunten dok. Ini kunci mobil, dan handphone Dokter,"

Ah, Aila baru ingat jika ponselnya tertinggal. Karena saat ia sampai Aila langsung bersiap ke ruang operasi. Tapi, kenapa ada kunci mobil juga?

Suwun Pak. Pak maaf, kok ada kunci mobil ya?”

“Oh nggih Dok. Sopir Dokter yang menitipkan kepada saya, untuk di sampaikan kepada Dokter,”

Deg!

Sopir?

Kedua matanya melebar. Apakah Rama mendengar pembicaraannya dengan Dokter Reza?

“Pak, dimana orangnya pak?” Aila benar-benar panik. Perasaan bersalah langsung menyelimuti hati.

“Sopirnya Dokter sudah berjalan menuju halte Dok,”

Tanpa berpikir panjang Aila langsung berlari keluar, tak memedulikan Dokter Reza yang tampak bingung melihat Aila yang begitu panik. Aila berlari menuju halte, berharap Rama masih disana. Namun ternyata nihil, ia tak menemukan suaminya disana.

Ia mencoba menghubungi nomor ponsel Rama, namun ponsel pria itu tidak aktif. Aila menggenggam ponselnya dengan erat, Rama pasti marah kepadanya.

Ah, tentu saja. Suami mana yang tidak akan marah jika mendengar ucapan itu.

Aila menggigit bibirnya, apa yang telah di lakukannya? Kenapa ia bisa berkata demikian kepada dokter Reza, dan menyakiti Rama.

Ya Allah, bagaimana ini?

Seharian ini, Aila tampak tidak bergairah. Ia hanya mengaduk-aduk makan siangnya yang di antarkan oleh Irham, tanpa berniat memakannya.

"Kenapa toh? Sampeyan galau?"

Ya, Irham masih disana. Menemani Aila makan di taman rumah sakit, seraya melihat aktifitas beberapa pasien yang berjalan-jalan bersama keluarganya.

"Mbak. Sampeyan ndak lagi kesambet toh?"

Irham mengernyit, aneh sekali pikirnya. Biasanya saudaranya itu akan memukul, atau protes saat di goda seperti itu. Tapi kenapa sekarang tampak diam?

"Mbak. Jangan nakut-nakutin dong. Sampeyan kenapa tiba-tiba begini hm? Lagi marahan sama Mas Rama?"

Mendengar nama suaminya di sebut, Aila menoleh ke samping menatap Irham.

"Bener?" Irham kembali bersuara.

Namun lagi-lagi Aila tidak berbicara, membuat Irham mengembuskan napas kasar. Aila kembali sibuk mengaduk-aduk makanan yang berada di pangkuannya. "Aku bawa makanan jauh-jauh dari resto punyaku kesini, khawatir sampeyan belum makan. Eh, sampe sini makanan yang aku bawa sia-sia. Kalau ndak mau, sini aku yang makan!"

"Iih, pelit banget. Iya, ini aku makan lho." Aila langsung memakannya, tanpa sadar jika Irham mengambil potret dirinya yang tengah makan, dan mengirimkannya kepada seseorang.

Irham

Send a picture.

Misi selesai! Bojomu, udah makan siang.

Bibirnya tersenyum saat melihat pesan yang di kirimnya berubah menjadi centang biru.

"Apa liat-liat?" ketus Irham, saat Aila menatapnya dengan kening yang berkerut.

"Sampeyan kenapa senyam-senyum liat hp begitu? Ooh, mau aku laporin ke Abi, kalau sampeyan ini pacaran?"

Mata Irham melotot. "Sembarangan. Siapa yang pacaran. Dosa Aila, pacaran itu dosa!!"

Aila mendengkus, kadang-kadang Irham akan memanggilnya 'Mbak' jika mereka tengah mode akur. Sementara jika sedang kesal, putra dari Abi Zidan dan Amih Ayana itu akan memanggil 'Aila' saja.

"Habiskan makanannya. Kalau ndak habis, aku ndak mau ya kasih makanan gratis lagi ke sampeyan."

"Iya, iya. Irham pelit!"

"Dasar dokter nyebelin!!"

AILA & RAMA [TERBIT] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang