JADI BUNDA

11.6K 583 43
                                    

Suasana begitu hening, baik Rama mau pun Aila sama-sama sibuk dengan pikirannya masing-masing. Rama yang sibuk memikirkan mengapa Aila tiba-tiba berubah, dan Aila yang sibuk karena nama Alexa terus berputar-putar di dalam kepalanya.

Ah, ia benar-benar kesal. Apalagi jika mengingat insiden Rama yang terluka, dan wanita itu yang mengobati, juga saat Alexa menasehatinya untuk tidak menyia-nyiakan Rama. Memangnya perempuan itu siapanya Rama? Kenapa sangat tahu sekali semua tentang suaminya, cih.

Tanpa terasa keduanya sudah sampai di depan gedung rumah sakit, Aila langsung menyalami tangan Rama. "Mas pamit ya. Assalamualaikum!" serunya.

"Waalaikumsallam,"

Aila langsung keluar dari dalam mobil, ia menatap punggung Aila yang menjauh. Benar, apa kata teman-temannya kalau perempuan adalah makhluk paling rumit, Bagas juga sering mengeluh karena tingkah random dan tindakan di luar nalar dari istrinya, dan sekarang ia mengalami itu semua.

Rama menghela napas, jika Aila masih bungkam seperti itu, bagaimana bisa ia tahu apa kesalahan yang ia perbuat sampai membuat istrinya itu terus murung. Menggelengkan kepala, Rama kembali melajukan mobilnya meninggalkan pelataran rumah sakit, tanpa tahu jika Aila menatap kepergiannya dengan kesal.

"Dasar nggak peka!" sungutnya.

Ya, begitulah wanita. Selalu ingin menang, dan di perhatikan. Benar kata Rama, bagaimana ia bisa peka kalau yang ia tanyai saja bungkam terus dan larut dengan pikiran randomnya sendirian.

Setelah membuang napas kasar, Aila membalikkan tubuhnya memilih untuk mulai bekerja, namun langkahnya terhenti saat sosok pria yang sudah berganti mengenakan pakaian kasual mendekat padanya.

"Dokter Reza," sapanya.

Ya, pria itu adalah Dokter Reza. Laki-laki yang tampak seumuran dengan Rama itu adalah orang yang diam-diam di sukainya. Ia tidak dapat memungkiri, jika masih ada debar yang menyapa kala jarak mereka yang dekat.

"Kamu shift malam?" tanya pria berperawakan jangkung, seraya tersenyum, menampakkan lesung pipit di kedua pipinya.

Aila mengangguk, ia mundur dua langkah untuk menjaga jarak, karena bagaimana pun ia dan Dokter Reza bukan muhrim.

Dokter Reza terkekeh, ia menyukai kebiasaan rekan kerjanya ini. Selalu menjaga jarak darinya, "Ah maaf, harusnya saya tidak berdiri terlalu dekat dengan kamu ya."

Aila menunduk, sungguh dirinya tidak bisa menahan debar jantungnya. "Semangat ya Mei!"

Aila mengangkat wajah, dan menemukan pria itu tersenyum lebar, seraya mengangkat kepalan tangannya sebagai bentuk menyemangati dirinya yang akan bekerja sampai pagi.

Aila mengangguk. "Terima kasih dok. Hati-hati di jalan ya."

Dokter Reza mengangguk. "Sampai jumpa. Asssalamualaikum."

Aila berdeham, "Waalaikumsallam." Ia menggelengkan kepalanya, lalu berlari kecil untuk sampai ke ruang poli bedah.

"Ning Aila!!"

Tangannya yang semula hendak meraih handle pintu ruangannya itu terhenti saat sang sahabat, Dokter Hilda memanggil namanya dengan wajah yang sangat cerah.

"Aku ngeri lho, lihat kamu lari-lari begitu." ucap Aila.

Yang di tegur hanya menunjukkan gigi rapinya. "Hehehe."

Aila menggeleng pelan, tidak habis pikir. Padahal usianya sudah bukan lagi anak-anak, tapi tingkahnya seperti anak kecil, benar-benar tidak kalem sama sekali, berbeda dengan penampilannya yang anggun.

"Kenapa kamu lari-lari?"

"Masuk dulu ke ruangan kamu yuk. Aku ada info penting, buat sampeyan."

Kening Aila mengerut, ia hendak membuka mulut, namun Hilda mendorong tubuhnya untuk masuk ke dalam. Huh, Aila hanya bisa pasrah dan membuka pintu ruangannya, mempersilahkan sahabatnya itu untuk duduk.

"Info apa?" tanya Aila.

Hilda mencebik, "Iishh!! Basa-basi dulu kek, apa kek. Tanya kabarku dulu, ini langsung mau ke inti saja."

Aila menghela napas. "Iya, kabar sampeyan piye? Sudah lima tahun ya, kita ndak ketemu." sarkasnya.

Hilda tertawa puas, melihat kekesalan Aila. "Hehehe."

Aila mendengkus, "Kalau masih mau 'hehehehe' kaya gitu, aku sumpel mulut kamu pake kapas, sama kasa. Mau?"

Hilda memukul lengan Aila dengan sedikit keras, sampai sang empunya meringis. "Aku punya kabar baik buat kamu!" serunya. Aila dengan sabar menunggu apa sebenarnya yang ingin di sampaikan oleh sahabatnya ini.

Aila masih memperhatikan gerak-gerik Hilda yang tengah mencari sesuatu di saku jas yang di kenakannya. Raut wajah sahabatnya itu berbinar saat menemukan apa yang di carinya, ia mengeluarkan sebuah kertas foto berukuran kecil dan meletakkannya di atas meja.

"Apa ini?" Aila mengambilnya, dan kedua matanya berbunar melihat gambaar yang di cetak hitam putih itu.

"Selamat, aku akan jadi Umi, dan kamu akan jadi Bunda!!"

Aila berkaca-kaca, mendengar kabar itu. "Kamu hamil Da?" tanyanya

Hilda mengangguk. "Selamat, kamu akan jadi Bunda, hehe."

Aila berdiri dari duduknya, ia langsung menghampiri Hilda dan memeluknya seraya menangis haru. Ia bahagia karena dulu saat sama-sama kuliah, mereka sering sekalu berbicara random, termasuk tentang ini. Jika suatu hari Hilda hamil, ia ingin di panggil Bunda oleh anaknya Hilda. Begitu pun dengan Hilda, ia juga meminta agar nanti ia di panggil Umi oleh anaknya Aila.

Dan sekarang, hal itu terjadi. Hilda hamil, dan ia akan menjadi Bunda juga untuk anaknya Hilda.

"Selamat ya Da." ia melepaskan pelukannya, tangannya terulur untuk mengelus perut datar sahabatnya. "Hallo anak Bunda," sapanya dengan air mata yang mengalir. "Jadi anak sehat, dan kuat ya sayang, soalnya Umi kamu agak bar-bar."

Plak

Hilda memukul bahu Aila dengan pelan. "Sembarangan banget, malah bongkar aib aku ke anak aku." gerutunya, ia juga turut meneteskan air mata.

Momen ini benar-benar sangat mengharukan. "Jaga baik-baik anak aku ya! Kamu nggak boleh grasak-grusuk lho sekarang!!"

Hilda tertawa kala Aila memarahinya. "Enak aja anak kamu. Ini anak aku lho! Eh, kamu apa gak mau nyusul aku juga?"

Wajah Aila berubah datar. "Da, kamu bahagia dengan pernikahan yang berawal dari perjodohan?" tanyanya tiba-tiba.

Hilda mengerutkan kening, lalu kemudian kembali memukul tangan Aila. "Aduuhh sakit ih!!" pekik Aila.

"Apa bayi ini nggak cukup menjadi jawaban atas pertanyaan kamu?"

Skakmat!

Aila bungkam, benar. Hilda bahagia dengan pernikahannya yang berawal dari perjodohan. Ia juga dapat melihat wajah sahabatnya itu selalu berseri-seri setiap hari.

Tapi kenapa rasanya ia sulit menerima pernikahan yang di jalaninya dengan Rama?

AILA & RAMA [TERBIT] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang