Aila berdeham, "Mas, memangnya apa sih yang sedang Bapak tonton? Umi kok kayanya kesel banget."
Rama tidak lagi mendorong ayunannya. "Bukan apa-apa Ning. Bapak cuma nonton berita soal penangkapan bandar narkoba aja." jelasnya. Ia yakin jika Bapaknya itu terus menonton berita itu berulang-ulang sampai Uminya menjadi kesal. "Masuk yuk Ning!" ajaknya.
Aila mengangguk, "Inggih, Mas."
Eh? Aila tersentak saat jemari besar Rama menggenggam tangan kecilnya. Ah, rasanya seperti tersengat ribuan volt. Jantung, serta hatinya benar-benar tidak aman. Rama benar-benar terus menyerang hatinya dengan perlakuan lembut, serta tindakan yang tidak pernah terduga.
Rama mengeratkan genggaman tangannya, seraya berjalan berdampingan dengan Ning kesayangannya. Jika boleh, Rama ingin sekali terus menggenggam tangan ini dalam waktu yang lama. Tidak perlu seumur hidup, karena ia tidak berani memintanya. Setidaknya saat ini, jangan paksa ia untuk melepaskannya.
"Mas, saya suka sekali berada di rumah Umi. Boleh ya, kita sering-sering main ke sini?"
"Boleh Ning. Tapi ndak bisa sering-sering, kamu kan punya pekerjaan, saya juga kadang keluar kota. Jarak rumah kita ke sini jauh lho Ning, butuh waktu berjam-jam."
"Ndak apa-apa Mas. Justru rasa lelahnya terbayar setelah sampai, dan lihat pemandangan di rumah Umi. Ya, ya ya. Janji ya nanti sesekali kita kesini lagi?"
Rama terkekeh gemas, bolehkah ia memeluk kesayangannya ini. Demi apa pun, ia gemas sekali dengan Aila yang merengek seperti ini. Sudah pasti, jika sudah begini mana bisa ia menolak permintaan istrinya?
Rama mengangguk, "Inggih, Ning Ayu."
Langkah Aila terhenti, "Kok Ning Ayu? Namaku Aila lho Mas!" protesnya. Rama lagi-lagi tertawa. Astaga, lucu sekali rasanya Rama ingin mencubit kedua pipi istrinya.
"Ning, sampeyan ini orang jawa tapi kok ndak ngerti maksudnya opo. Ning, ayu itu artinya cantik. Paham?"
Blussh!!
Padahal cuaca sedang sejuk, tapi kenapa pipinya terasa sangat panas? Aila berpikir, apakah suaminya itu salah minum obat, pasalnya hari ini ia sangat aneh.
Sungguh, Rama yang seperti ini membuatnya sangat ketar-ketir!
"Mas. Mas Rama salah minum obat ya?"
Rama tertawa, astaga kenapa Aila ini sangat menggemaskan sekali sih? "Ndak tuh. Memangnya Saya kenapa?"
Aila mengangkat bahu, "Mas Rama sadar ndak sih, kalau hari gombalin saya terus?"
Rama menggeleng seraya tertawa, dan mengeratksn genggaman tangan mereka. "Ya memangnya kenapa? Gombalin istri sendiri ndak dosa kok." ucapnya, tanpa sadar kini mereka berdua sudah masuk ke dalam rumah.
Kehadiran mereka menyita perhatian Umi Desi, dan Bapak Syahrul yang tampak baru saja selesai menata makanan dan piring-piring ke atas tikar, karena rumah mereka tidak punya ruang makan, mereka biasanya makan di ruang tamu lesehan di atas tikar.
Bagi Aila itu adalah suasana baru, dan rasanya ia juga tidak sabar untuk ikut bergabung.
"Ck, ck, ck. Mi, coba lihat kelakuan anak umi." Cibir Pak Syahrul.
Umi Desi terkekeh. "Kenapa memangnya pak?"
Wajah Aila memanas, ia tahu jika Umi Desi sednag pura-pura tidak tahu apa yang di maksud oleh Pak Syahrul. Padahal jelas, tatapan mereka tertuju pada tangan mereka yang saling menggenggam.
"Itu lho Mi. Mentang-mentang penganten baru, masih hangat-hangatnya. Tangan istrinya di pegang teruuus." cibirnya.
"Ndak bakal ada yang ambil kok Ram. Kamu iki kok posesif banget." Tambah Pak Syahrul.
Umi Desi mencubit pelan pinggang suaminya, hingga sang empunya mengaduh. "Wes toh Pak. Jangan godain mantu Umi terus."
Wajah Ning Aila di balik cadar sudah memerah karena godaan yang di lontarkan oleh ayah mertuanya. Rama, dan Umi hanya terkekeh, Aila mencoba melepaskan tangannya yang berada dalam genggaman tangan Rama, namun suaminya itu malah sengaja semakin mengeratkannya.
Cup!
Kedua mata Aila melebar saat sang suami, Ramadhan Althaf Bayu membawa punggung tangannya ke bibir dan memberikan sebuah kecupan dan kedua mata yang menatapnya dengan sangat lekat membuat dada Aila berdebar kencang.
"Ya Allah Mi, kelakuan anakmu sungguh di luar nalar!!" Pak Syahrul kembali berseru.
Umi Desi langsung menghampiri Rama, memukul punggung putranya dengan sedikit keras.
"Aduh Mi!" pekiknya. Pak Syahrul sudah terbahak melihat putranya yang meringis kesakitan.
"Umi sakit..." Rama kembali memekik saat kini giliran tangannya yang mendapatkan pukulan.
"Lepasin tangan mantu Umi. Kamu iki wes keterlaluan, Ning Aila sudah malu banget. Awas minggir, jauh-jauh dari mantu umi sana, hussss!!" Umi Desi mendorong pelan putranya setelah tautan tangan Aila dan Rama terlepas.
Rama mencebik kesal.
"Haha, piye Ram? Mantap toh kena pukulan Umi? Haha." Pak Syahrul terlihat puas sekali menertawakan penderitaan putranya.
Umi Desi membawa Aila menjauh dari Rama. "Ayo sini duduk sama Umi." titah Umi Desi.
Aila menurut, setelah membuka alas kakinya ia duduk di atas tikar di samping Umi Desi.
Rama langsung protes, "Mi. Aila istrinya Rama lho, ya mosok duduknya jauh-jauhan sih."
Umi Desi mengambil satu centong nasi ke piring Pak Syahrul, kemudian melakukan hal yang sama pula kepada menantunya. "Kalau kurang, nanti minta lagi sama Umi ya?"
Aila mengangguk.
"Umii...." Rama kembali merengek, ia tahu Uminya sengaja mengabaikannya.
"Opo toh berisik. Wes makan aja."
Rama mencebik, "Umi, yang ngambilin Rama makan siapa, kalau Aila sama Umi?"
"Ambil sendiri. Ndak usah manja kamu. Pokokne, kamu ndak boleh deket-deket dulu sama mantu Umi. Titik!!"
Aila tertawa, merasa sangat gemas bisa melihat sisi Rama yang manja seperti ini kepada Uminya. Aila membuka cadar, dan meletakkannya ke tempat yang aman, dan bersih. Wajah seputih susu itu tampak masih memunculkan rona merah, yang menambah kecantikannya.
Rama terpesona, padahal setiap hari ia melihat wajah cantik istrinya di rumah, tapi tetap saja rasanya ia tidak pernah bosan, dan malah jatuh cinta berkali-kali setiap harinya.
"Umi .... " Rama kembali merengek, masih tidak terima karena ibunya mengambil alih istrinya.
Umi Desi mencebik, kedua matanya mendelik sebal seraya mengangkat centong nasi, ia berkata. "Bisa diem ndak Ram? Kita mau makan lho, kalau kamu masih berisik, sana makan sendiri di kebun!!"
Pak Syahrul menepuk bahu putranya. "Wes toh, lebih baik sampeyan nurut kalau ndak mau ada perang dunia ketiga."
Rama merengut, dengan malas ia berucap. "Inggih kanjeng ratu." di akhiri dengan kekehan pelan, karena kedua mata ibunya kembali melotot.
"Rama!!"
"Inggih Umiku sayang, sing paling cuantiik sedunia." sahut Rama cepat.
Pak Syahrul menggelengkan kepala, sikap jahilnya itu menurun darinya. Ning Aila juga terkekeh pelan, ah betapa menyenangkannya ia berada di tengah-tengah keluarga suaminya ini. Kejahilan Rama pada Uminya benar-benar sangat menghibur, ia jadi semakin ingin sering main kemari.
KAMU SEDANG MEMBACA
AILA & RAMA [TERBIT] ✓
General FictionDi zaman sekarang, zaman serba modern ini apakah perjodohan masih berlaku? Tentu saja, seperti yang terjadi pada Myiesha Aila Rizqiyana, seorang dokter bedah bergelar Ning, dari pondok pesantren besar di jogjakarta. Di tengah puncak kariernya ia jod...