“Kita berangkat sekarang Ram?” tanya Bagas.
Malam ini mereka akan beraksi menyelesaikan misi terakhir untuk ia dan Bagas. Mereka berkumpul di markas bersama Gilang, dan Reksa.
“Ingat, jangan gegabah. Kalau keadaan sudah tidak memungkinkan hubungi Saya. Saya akan mengerahkan seluruh tim untuk membantu kalian. Mengerti?”“MENGERTI!!” sahut mereka bersamaan. Hanya Rama yang tidak menyahut, pikirannya sedang kacau sekarang.
“Ram? Sampeyan ikut saya, kita harus bicara,” ucap sang seorang pria paruh baya yang merupakan pejabat tertinggi di kelompok ini.
“Inggih Pak,”
“Yang lain silakan istirahat dulu ,”
“SIAP PAK!” mereka menjawab serentak.
Rama sendiri langsung mengekori Pak Bambang yang membawanya ke ruangan khusus miliknya.
Rama mengambil duduk di sebuah single sofa, sementara Pak Bambang mengeluarkan dua buah kaleng minuman bersoda dari lemari es yang berada di dalam ruangannya.
"Minum dulu Ram, biar ndak tegang."
Rama tersenyum tipis, seraya mengambil satu kaleng soda yang di berikan oleh atasannya itu.
"Ada apa? Sampeyan dari tadi keliatannya ndak fokus. Kenapa? Berat ninggalin istri?" kelakarnya.
"Iya Pak."
Pak Bambang mengangguk, ia mengerti apa yang tengah di rasakan Rama. Terlebih Rama masihlah terbilang pengantin baru. "Justru karena sampeyan punya istri, sampeyan harus pulang dengan selamat. Mengerti?"
Rama tidak menyahut, pikirannya benar-benar sangat kacau. Entahlah, ia hanya merasa jika ia akan gugur dalam melakukan misi kali ini, jelas selain karena berat meninggalkan istri, ia juga tahu jika misi kali ini sangat berbahaya.
Pak Bambang menghela napas. Menatap Rama dengan kepercayaan yang penuh, "Kalian semua harus pulang dengan selamat. Bagas harus pupang untuk Alexa yang tengah mengandung, sampeyan juga harus pulang demi istri, Gilang, dan Reksa juga masih punya orang tua yang menunggu kepulangan mereka. Plis Ram, kalian semua harus pulang dengan selamat, dan saya mempercayakan semuanya kepada kamu."
Rama mengangguk, benar sekarang ia memiliki alasan lebih kuat untuk kembali, bukan hanya untuk Umi dan Bapak, tapi juga untuk Ning Aila.
"Inggih Pak." Rama meletakkan kaleng soda itu di atas meja, ia melepas tas ransel yang berada di punggungnya, lalu mengeluarkan sebuah berkas dari dalam sana, yang kemudian ia letakkan di atas meja, tepat di hadapan Pak Bambang.
"Pak, saya titip ini. Jika sampai besok saya tidak bisa pulang dengan selamat, tolong berikan ini kepada istri saya,"
Pak Bambang menggeleng. "Sampeyan iki ngomong apa toh? Kalian semua akan pulang dengan selamat!" seru Pak Bambang seraya bangkit dari duduknya, ia menatap Rama, kali ini memang ia akui jika dirinya juga merasa takut.
"Bapak tentu tahu, jika misi kali ini sangat berbahaya. Saya ini memiliki tanggung jawab besar untuk memastikan semua anggota tim tetap selamat sampai akhir,"
"Sampeyan juga harus selamat Ram!! Saya ingin kamu, dan semua tim kalian selamat. Ini perintah Ram!!"
Rama menunduk, dengan berat hati ia mengangguk. "Inggih Pak," Rama kembali mengangkat kepala, "Saya titip ini untuk istri saya, ya Pak? Saya dan yang lain pamit dulu."
Pak Bambang meraup wajahnya, "Iya. Ingat kalian semua harus selalu berhati-hati, dan harus pulang dengan selamat!"
"Insyaallah pak," balas Rama.
KAMU SEDANG MEMBACA
AILA & RAMA [TERBIT] ✓
General FictionDi zaman sekarang, zaman serba modern ini apakah perjodohan masih berlaku? Tentu saja, seperti yang terjadi pada Myiesha Aila Rizqiyana, seorang dokter bedah bergelar Ning, dari pondok pesantren besar di jogjakarta. Di tengah puncak kariernya ia jod...