Waktu terus mengalir dengan cepat, hari ini tepat satu bulan setelah di tetapkannya perjodohan antara Aila dan Rama, akhirmya mereka akan menjadi pasangan suami-istri yang sah di mata hukum agama, dan negara.
Aila sendiri tengah menatap dirinya yang sudah selesai di rias, mengenakan gaun pengantin berwarna putih, dan hijab syar'i yang di hiasi mahkota kecil di atas kepalanya, ada perasaan sesak yang mendera hatinya. Kenapa ia sama sekali tidak berhak menentukan pasangan hidupnya sendiri?
Kenapa ia harus menikah dengan laki-laki yang tidak di cintainya?
Kenapa?
Kenapa?
Ia memilin jemarinya yang berada di atas pangkuannya, hampir saja tetesan bening mengalir membasahu wajahnya yang sudah di rias.
"Ning, kalau mau menangis juga ndak apa-apa. Pengantin yang akan menikah sudah wajah jika menangis sebelum duduk bersanding dengan laki-laki yang akan mengucapkan ijab kabul." sang perias berucap setelah memastikan jika riasannya sudah benar-benar sempurna. Aila hanya tinggal memakai cadar saja setelah Rama mengucapkan ijab kabul, barulah ia keluar dari kamarnya dan menemui sang suami.
Aila mengerti yang di maksud sang perias berhijab syar'i itu adalah mempelai wanita yang menangis karena bahagia, tapi ia berbeda. Ia menangisi nasibnya yang berakhir seperti ini.
Menangisi bagaimana ia yang tidak berdaya untuk menolak, dan memilih mana yang ia sukai, dan tidak. Ini bukan lagi zaman Siti Nurbaya, bukan lagi zamannya anak perempuan tidak bisa memilih pasangannya sendiri.
Ini sudah zaman modern!
Namun sayangnya, Baba Ikmal tidak mengerti itu semua.
"Sayang? Masya Allah, cantik sekali anak Umi."
Saking larut dalam pikirannya sendiri, Aila sampai tidak sadar kapan Uminya masuk ke dalam. Ia menatap sang Umi dengan senyuman tipis, dan mata yang berkaca-kaca, yang seketika membuat sang Umi tampak panik.
"Sayang, kenapa hm? Kamu gugup?"
Aila terpaksa mengangguk. Rasanya ia ingin menangis dengan kencang di pelukan sang Umi, seperti saat kecil dulu. Tapi sekarang, ia sudah dewasa sudah seharusnya ia bisa mengendalikan diri dengan baik.
Demi Tuhan, ia benar-benar sangat beruntung memiliki Umi Ashilla. Meski ia bukan anak kandungnya, tapi Umi Ashilla tidak pernah membeda-bedakan kasih sayang antara ia dan Fikron. Umi Ashilla menyayangi keduanya dengan sepenuh hati, dan Aioa bersyukur akan itu.
"Umi .... "
Umi Ashilla bergumam, menatap wajahnya dengan penuh kelembutan dan ketulusan.
"Terima kasih sudah menjadi Umi untuk Aila. Terima kasih, sudah menyayangi dan mencintai Aila selama ini."
Umi Ashilla mengangguk, mengusap lembut pipi Aila. "Kamu anak Umi, sudah sepatutnya Umi menyayangi kamu. Umi juga terima kasih, karena Aila dulu menginginkan Umi menjadi istri untuk Baba, sekaligus ibu untuk kamu."
Ibu dan anak itu tengah di liputi rasa haru. "Umi tahu, kamu masih belum menerima Mas Rama kan?"
Aila tersentak, bagaimana Uminya bisa tahu?
"Umi tahu. Kamu ndak bisa menyembunyikan apa pun dari Umi sayang."
Aila menunduk, kembali memilin jemarinya.
"Kamu harus ingat satu hal sayang. Baba melakukan ini, karena tahu ini yang terbaik. Coba menerima Mas Rama pelan-pelan ya sayang?"
Aila menggigit bagian dalam bibirnya. Apakah ia bisa? Selama ini ia sudah melakukan istikharah, namun perasaannya masih belum berubah. Ia masih belum menerima Mas Rama.
KAMU SEDANG MEMBACA
AILA & RAMA [TERBIT] ✓
General FictionDi zaman sekarang, zaman serba modern ini apakah perjodohan masih berlaku? Tentu saja, seperti yang terjadi pada Myiesha Aila Rizqiyana, seorang dokter bedah bergelar Ning, dari pondok pesantren besar di jogjakarta. Di tengah puncak kariernya ia jod...