"Assalamualaikum!"
"Waalaikumsallam."
Umi Rama tersenyum melihat tamu yang datang ke kediaman putranya.
"Alexa? Apa kabar nduk?"Ya, orang yang bertamu adalah Bagas dan Alexa. Alexa terlihat cantik dengan balutan hijab dan gamis berwarna senada, jangan lupakan perutnya yang mulai membesar di usia kehamilan tujuh bulan.
Mereka hanya datang berdua, karena Mama Ratna sudah kembali ke negara suaminya, dan akan pulang nanti saat Alexa sudah mendekati melahirkan. Mama Ratna juga sudah tahu tentang kehamilan Aila yang di sampaikan langsung oleh Aila dan Rama melalui panggilan video. Mama Ratna tentu sangat senang, ia bahkan bilang akan tinggal lebih lama sampai Aila melahirkan juga, ia sudah sangat tidak sabar ingin melihat bayi kembar yang di kandung Aila.
"Alhamdulillah sehat Umi." Alexa menyalami punggung tangan ibu dari Rama begitu pun dengan Bagas, merek juga tak lupa bersalaman dengan semua orang yang ada di rumah.
Aila juga langsung menghampiri Alexa, berpelukan dan mengusap perut Alexa. "Masyaallah, Mbak Alexa perutnya lucu sekali, sudah membesar."
Alexa terkekeh, "Iya Ning. Sampeyan sendiri gimana rasanya hamil, hm?"
"Alhamdulillah luar biasa Mbak. Tapi aku ndak merasakan apa-apa Mbak, justru Mas Rama yang ngidam."
Yah, Alexa bisa melihat itu dari Rama yang tengah lahap memakan mangga muda tanpa merasa asam.
"Ck, ck, ck." Bagas berdecak. "Waduuh Ram, lahap banget makan rujak mangga mudanya. Apa nggak linu Ram?"
Rama mendengkus, bertambah lagi orang julid dalam hidupnya. "Sampeyan kalau mau berisik mending pulang aja Gas!"
Bagas tergelak. Rama benar-benar sedang dalam mode senggol bacok sepertinya. "Ning, orang ngidam kan biasanya suka manja ya. Rama kayak gitu juga nggak?"
Aila mengangguk.
Bagas kembali tergelak. "Serius Ning? Hahaha sumpah, aku ndak bisa bayangin Mas Rama yang sangar banget di lapangan, pas di rumah berubah jadi kucing Anggora. Hahahaha!!!"
Rama kembali mendengkus, ingin rasanya ia memukul kepala Bagas yang tengah tertawa bersama Fikron. Ia lantas melemparkan kulit mangga muda ke Bagas dan juga Fikron, tapi kemudian ia langsung menutup mulutnya dengan telapak tangan dan berlari ke dapur. "Huweek!!"
Mendengar itu, Aila bergegas mengikuti Rama yang kembali muntah.
"Lho, Mi. Rama beneran ngidam toh? Aku kira cuma bercanda doang." Bagas meringis saat bahunya di pukul sang istri.
Pak Syahrul menyahut, "Iya Gas. Begitu terus setiap hari, Bapak sama Umi kasihan ke Ning Aila." katanya. Ia sendiri saja sudah pusing melihat Rama bolak-balik untuk muntah seperti itu setiap hari, apalagi Aila. Menantunya itu pasti sangat kerepotan mengurus suaminya dalam keadaan hamil.
"Iya, makanya Umi sama Bapak memilih disini dulu, setidaknya sampai Rama sudah ndak mengalami mual-mual seperti itu." Imbuh Umi Desi.
Bagas menahan tawa, "Mau ketawa tapi takut dosa." ucapnya yang justru malah mengundang tawa semua orang, apalagi Fikron ia adalah orang yang tertawa paling puas.
Rama berbaring tak berdaya berbantal paha sang istri yang duduk di atas sofa panjang. Aila memijat kedua pelipis Rama, sedangkan sang empunya memejamkan mata. Sungguh, tenaganya benar-benar terasa terkuras bersama muntahannya tadi.
Bagas, dan Alexa menatapnya iba. Ini pertama kalinya mereka melihat Rama selemah ini, bahkan saat dirinya tertembak dulu ia tidak seperti ini.
"Yang, Mas mau pindah ke kamar saja ya. Mau tidur."
Aila menatap suaminya dengan sendu. "Bisa jalan sendiri Mas?"
Rama mengangguk lemah. Ia berjalan pelan menuju kamarnya, ia sudah ingin membaringkan tubuh lemahnya ke kasur.
Bagas, dan yang lain juga menatap Rama dengan prihatin. Rama benar-benar terlihat sangat lemah karena mengalami masa ngidam yang cukup ekstrem kata Aila.
"Wah, ternyata kehamilan simpatik itu benar adanya ya?" tanya Bagas.
Aila mengangguk, "Mungkin di satu sisi, orang yang hamil merasa beruntung karena tidak mengalami mual, dan muntah. Tapi, di satu sisi kasihan juga melihat suami harus menanggung semuanya sampai seperti Mas Rama. Bahkan, saat tidurnya baru saja nyenyak, Mas Rama harus terbangun karena tiba-tiba merasa lapar, dan kadang semalaman tidak tidur karena sering tidak enak badan." Papar Aila dengan ingatan yang menerawang kepada sang suami yang selalu tampak gelisah setiap malam. Sungguh, jika sendainya bisa ia ingin dirinya saja yang merasakan itu semua agar tidak terus merepotkan Rama.
"Dengan keadaan yang di alami Rama sekarang, membuktikan jika cintanya Rama sama sampeyan itu nggak main-main Ning. Karena katanya kalau suami yang mengalami couvade syndrom itu, karena memiliki cinta yang besar untuk istrinya."
Aila mengangguk. Ia tidak perlu meragukan cinta Rama kepadanya, tanpa adanya kejadian couvade syndrom ini, ia sudah dapat merasakan cinta Rama yang seolah tidak pernah ada batasnya.
"Justru kalau seperti ini jadinya makin repot ya Ning? Karena harus megurus suami dan pekerjaan rumah ya Ning mengingat kamu pasti juga repot dengan Rama yang seperti itu." kata Alexa.
Aila mengangguk. "Iya Mbak, tapi selama Mas Rama mengidam, pekerjaan rumah selalu di bantu-bantu sama Umi Mas Rama, Umiku, sama Amih juga. Mas Rama juga menyarankan untuk mencari ART untuk bantu-bantu. Karena aku nggak bisa fokus mengurus keduanya, Mas Rama kadang seharian nggak mau aku tinggal."
Umi Desi mengusap bahu menantunya. "Ya nggak apa-apa nduk, wajar ya Xa."
Alexa mengangguk. "Aku juga kadang di bantu sama Mamanya Mas Bagas kok. Mau sewa ART nggak boleh, sayang uang katanya. Mending di simpan untuk biaya melahirkan saja."
"Betul. Setiap orang tua pasti berpikiran seperti itu Xa. Lebih ke memikirkan untuk masa depan nanti." jawab Pak Syahrul.
Umi Desi menyentuh perut Alexa. "Kira-kira sudah tahu nduk jenis kelamin bayi kalian?"
Bagas dan Alexa menggeleng, "Belum Mi. Sengaja biar surprise untuk semua orang." ucap Bagas seraya tertawa.
Pak Syahrul mencibir, "Halah, surpres-surpres segala dasar."
Bagas dan yang lain tergelak.
Alexa beralih menatap Aila. "Ning, katanya hamil bayi kembar ya?"
"Iya Mbak." Jawab Alexa.
"Hebat, kan Mas Rama. Sekali di kasih dua." kelakar Fikron.
"Ya, bibit unggul Rama tidak perlu di ragukan." jawab Bagas seraya tertawa.
KAMU SEDANG MEMBACA
AILA & RAMA [TERBIT] ✓
General FictionDi zaman sekarang, zaman serba modern ini apakah perjodohan masih berlaku? Tentu saja, seperti yang terjadi pada Myiesha Aila Rizqiyana, seorang dokter bedah bergelar Ning, dari pondok pesantren besar di jogjakarta. Di tengah puncak kariernya ia jod...