Rama akhirnya sudah di perbolehkan pulang setelah tiga hari di rawat, dan hasil pemeriksaannya menunnjukkan semuanya sudah sangat membaik. Dokter Reza juga mengizinkan Aila yang bertugas merawat, serta mengganti perban Rama setiap tiga hari sekali.
Selama tiga hari ini, Rama juga sedikit berubah. Bukan sedikit sebenarnya, tapi yang begitu terasa oleh Aila adalah Rama tidak lagi menatapnya penuh cinta, pria itu hanya memasang wajah datar jika bertatapan dengannya. Tapi Aila mencoba berpikir positif, mungkin karena Rama masih sakit makanya bersikap begitu.
Alexa, Bagas, dan teman satu timnya Rama selalu berkunjung setiap hari. Keluarga dari pihak Rama, adan Aila juga sama. Abi Zidan, dan keluarganya juga terkadang berkunjung, menjadikan ruangan ini selalu ramai.
Ia dan Rama sudah berada di dalam taxi yang sebentar lagi sampai menunu rumah mereka, orang tua Rama dan Aila sudah pulang ke rumah masing-masing karena ada hal yang mendesak.
Sehari setelah Rama menjalankan operasi, Umi Desi mendapatkan telepon jika ada banyak mobil yang mengangkut bahan bangunan ke rumahnya, juga ada tim yang bertugas merenovasi rumah mereka yang rupanya datang atas perintah Rama sebelum ia di operasi.
Hal iti juga yang mengharuskan kedua orang tua Rama pulang. Sekali lagi, Rama berhasil mengejutkan mereka dengan cara yang amat tidak pernah mereka sangka.
Kini, taxi yang membawa mereka sudah sampai di depan rumah mereka, Aila gegas membantu suaminya untuk keluar, dan memapahnya masuk ke dalam rumah setelah membayar tagihan taxi.
Sama seperti selama perjalaban menuju ke rumah, Rama sama sekali tidak mengatakan sepatah kata pun kepada Aila.
"Mas, mau di ambilkan air minum ndak?" tanya Aila setelah selesai membantu Rama duduk di sofa ruang ramu.
Rama menggeleng, "Ndak usah."
Aila mengangguk, sungguh kenapa rasanya tiba-tiba mereka menjadi sangat canggung?
Aila berdeham, untul mengusir kecanggungan yang tercipta. "Oh oke, apa ada sesuatu yang Mas inginkan?" tanya Aila lagi.
Rama kembali menggeleng.
"Uumh, atau Mas mau--"
Tatapan Rama sepenuhnya tertuju pada Aila yang berdiri di sisi tubuhnya. "Ning, bisa berhenti berpura-pura mengkhawatirkan saya?"
Aila mengerutkan kening, ia tidak mengerti mengapa Rama menatspnya dengan penuh intimidasi seperti itu? Ia juga tidak mengerti apa maksud Rama barusan, siapa yang sedang berpura-pura?
"Pura-pura? Apa maksudnya Mas?" Ia benar-benar mengkhawatirkan suaminya ini, sungguh ia sedang tidak berpura-pura. Hal apa yang membuat suaminya berpikiran demikian kepadanya?
Rama berdecih, "Jangan menyakiti saya semakin dalam karena sandiwara yang kamu lakukan!!"
Aila semakin tidak mengerti, ada apa dengan suaminya?
"Sandiwara apa Mas? Tidak ada yang sedang bersandiwara disini!" serunya, ia mendadak kesal, suaminya itu sebenarnya kenapa sih? Kenapa tiba-tiba menjadi seperti ini?
Bukan jawaban yang di dapatkan Aila, nyalinya menciut melihat Rama yang kembali berdecih dan menatapnya dengan tajam.
Aila tidak pernah melihat Rama yang seperti ini sebelumnya. Toling sadarkan ia, jika pria yang saat ini tengah menatapnya dengan tajam bukanlah suaminya, melainkan orang lain.
Mas Ramanya tidak pernah menatapnya seperti itu, Mas Ramanya tidak pernah berkata dengan nada dingin seperti ini.
Ini bukan Mas Ramanya.
Ini pasti hanya mimpi, benar pasti hanya mimpi.
Namun sayangnya, seribu kali pun ia menyangkal, orang yang tengah menatapnya itu adalah Rama, suaminya. Bukan orang lain.
Aila merasakan sesak di dadanya. Kenapa tiba-tiba suaminya berubah seperti ini?
Rama mendengkus kasar, seraya menyugar rambutnya ke belakang. Tidak ada lagi tatapan penuh cinta, dan wajah cerah saat menatap Aila. "Ayo selesaikan hubungan ini Ning!"
Belum selesai dengan rasa terkejutnya karena perubahan sikap sang suami, ia kembali di kejutkan dengan ucapan suaminya. "MAS!!" ia berteriak. Merasa frustrasi dengan perubahan Rama yang tiba-tiba dan tanpa sebab ini.
Rama kembali menatap Aila dengan lekat, dan dingin. "Kenapa? Bukankah ini tujuan kamu menyembunyikan pernikahan kita, supaya kamu bisa leluasa menjalin kasih dengan Dokter Reza?"
Aila menatap Rama dengan kedua mata yang mulai berlinang.
Prok ... Prok ... Prok!
Rama bertepuk tangan, "Selamat, rencana kamu berhasil! Dokter Reza juga pada akhirnya mencintai kamu, kan? Lantas, apa fungsi saya disini? Tidak ada lagi, kan?"
Rama terus mencerca Aila dengan kata-katanya, kembali menyudutkan Aila, mengingatkan Aila jika selama ini ia adalah orang yang paling egois, dan kejam yang telah berhasil melukai hatinya dengan sangat dalam.
Cinta memang tidak selalu berakhir bahagia, kan? Dan itu, adalah hal yang tengah Rama radakan. Cinta tulusnya tidak pernah terbalaskan, pengorbanannya selama ini juga sia-sia. Cinta, tidak memberinya kebahagiaan walau setitik pun.
Aila menggeleng, ia sama sekali tidak memiliki rencana jahat seperti itu. "Mas Rama, demi Allah saya hanya mencintau kamu Mas. Saya mencintai kamu .... "
Rama terkekeh, seraya berdiri dari posisinya. "Kamu pikir, dengan kamu berbicara seperti itu, saya akan percaya heh?" Rama kemudian menggeleng, "Tidak Ning Aila, sama sekali tidak. Saya akan membebaskan kamu dari pernikahan ini, agar bisa bersama dengan pria pujaan hatimu. Surat panggilan dari pengadilan, akan segera sampai kesini."
Tidak, tidak!
Aila tidak pernah ingin hal itu terjadi, ia tidak mau berpisah dengan Rama.
Aila mencekal pergelangan tangan Rama dengan air mata yang mengalir, "Mas, Mas Rama. Saya mohon tolong jangan tinggalkan saya Mas, saya berani sumpah--"
Rama tidak mau mendengar apa pun dari Aila, dengan kasar ia melepaskan tangan Aila darinya. "Maaf Ning, keputusan saya sudah bulat. Lebih baik kita akhiri saja semuanya sampai disini!"
Aila kembali menggeleng, "Tidak Mas, tolong jangan katakan itu!"
Rama mundur beberapa langkah, menjauh dari Aila yang tengah menangis sesenggukkan. "Kamu bisa menikah dengan Dokter Reza Ning, lagi pula kita tidak pernah melakukan apa pun, kan? Apalagi yang memeberatkamu, hah? Toh, selama ini pernikahan yang kita jalani tidak berjalan dengan baik, kan? Hanya saya yang berjuang dan berusaha keras untuk mempertahankan rumah tangga ini!!"
Rama menyugar rambutnya, dan mengerang kesal. "Maaf Ning, kesabaran saya ada batasnya, dan kesabaran saya hanya sampai disini. Terima kasih untuk empat bulan pernikahan yang rumit ini."
Aila hendak meraih tangan Rama, namun Rama kembali menghempasnya. "Mas Rama, saya mohon jangan pergi Mas! Jangan tinggalkan saya sendirian, saya minta maaf atas semua kebodohan saya selama ini. Mas Rama, saya tidak bisa hidup tanpa kamu Mas! Mas Rama!!"
Seakan tuli, Rama mengabaikan segala ucapan yang di lontarkan oleh Aila. Seperti apa katanya, kesabarannya memiliki batas, selama ini sudah cukup ia berjuang sendiri mempertahankan pernikahan agar bisa sekali seumur hidup, namun akhirnya ia menyerah.
Aila pantas bahagia, meski tanpanya.Rama sendiri tidak mau terus memaksakan Aila untuk terus bersamanya. Keputusannya sudah bulat, Rama membuka lemari pakaian, dan mengemas barang miliknya ke dalam tas ransel, lagi-lagi tanpa memedulikan Aila yang menahan dirinya untuk tidak pergi seraya menangis.
KAMU SEDANG MEMBACA
AILA & RAMA [TERBIT] ✓
General FictionDi zaman sekarang, zaman serba modern ini apakah perjodohan masih berlaku? Tentu saja, seperti yang terjadi pada Myiesha Aila Rizqiyana, seorang dokter bedah bergelar Ning, dari pondok pesantren besar di jogjakarta. Di tengah puncak kariernya ia jod...