Aila menatap pantulan dirinya yang tengah di peluk oleh sang suami dari belakang, suaminya itu sejak pagi terus bermanja-manja padanya. Dari cermin meja riasnya, ia dapat melihat jika suaminya memberikan kecupan-kecupan pada tengkuknya.
Aila yang sudah berpakaian rapi hendak kembali bekerja itu, hanya bisa menghela napas. Padahal ia hanya tinggal memakai kerudung, dan cadar saja, namun pergerakannya terhalang oleh pelukan erat suaminya.
"Mas?"
"Hm?"
"Aku mau berangkat kerja lho, Mas juga kan sebentar lagi di jemput Fikron. Mending siap-siap dulu, biar nanti pas Fikron kesini Mas sudah siap!"
Suaminya itu memang masih mengenakan piyama berwarna navy. "Nggak mau. Nanti Mas bilang Fikron kalau Mas nanti menyusul saja bawa mobilnya Mas." ucapnya.
Aila lagi-lagi menghela napas. "Ya sudah. Tapi lepas dulu ya, aku nanti terlambat lho ke rumah sakit."
Rama tidak lagi mengecupi tengkuk Aila yang menguarkan aroma sabun sakura. "Kamu apa nggak apa-apa pagi ini berangkat kerja?" tanyanya. Mata mereka saling memandang melalui cermin. "Masih sakit enggak Yang?" tanyanya.
Wajah putih Aila memerah. Ia tahu apa yang di maksud oleh suaminya itu, rasanya memang masih sakit apalagi jika ia bawa berjalan. Tapi mau bagaimana lagi, ia harus tetap bekerja.
"Maaf ya, Mas bikin kamu kesakitan,"
Aila berdeham, ia tidak mau pikirannya melayang ke adegan semalam. "Wes toh, Mas dari tadi subuh minta maaf terus." Aila melepaskan kedua tangan Rama yang membelit perutnya dari belakang.
Ia berbalik, dan gantian melingkarkan kedua tangannya pada punggung suaminya. Ia tatap wajah tampan yang pagi ini terlihat sangat sendu itu, "Gapapa Mas. Dari artikel yang aku baca di internet juga bilang akan sakit untuk pertama kali. Tapi aku nggak apa-apa. Mas jangan terlalu khawatir ya?"
Rama mengangguk lemah, wajahnya masih saja terlihat sendu. Aila sendiri hanya tersenyum tipis, suaminya ini memang selalu menghargai dan menghormatinya, padahal semalam ia melakukannya dengan lembut dan tidak menyakitinya dengan kasar, tetap saja ia merasa sangat bersalah setelah mendengar ringisannya saat turun dari ranjang subuh tadi.
"Mas?" Aila menyentuh sisi wajah Rama. "Aku nggak apa-apa."
Rama mendunduk, mengecup kening istrinya. "Maaf ya sayang .... "
Aila mengangguk. "Sudah ya pelukannya? Aku mau ambil pakaian buat Mas."
Rama mengangguk pasrah. Membiarkan istrinya itu berjalan menuju ke lemarinya, mengambil sebuah kemeja dan celana bahan miliknya. Melihat bagaimana istrinya yang berjalan cukup aneh, Rama kembali di landa rasa bersalah. Ia kembali bertanya-tanya, apa ia terlalu kasar semalam?
"Mas!"
Rama tidak sadar jika Aila sudah kembali berada di hadapannya. Ia mengerjapkan kedua matanya, kemudian meraih pakaian yang di berikan oleh istrinya, dan segera masuk ke dalam kamar mandi untuk berganti pakaian.
"Mas! Aku tunggu di meja makan ya?" ucapnya setengah berteriak..
"Iya Yang!!" balas Rama dari dalam kamar mandi yang belum tertutup sempurna.
Aila segera mengenakan kerudungnya, dan berjalan ke meja makan. Sampai di sana ia di kejutkan oleh kehadiran adiknya yang tengah mengambil sepiring nasi goreng. "Selamat pagi Kak!"
Aila menggelengkan kepala. "Kamu belum sarapan apa di rumah?"
Fikron menggeleng. "Nggak sempet Kak. Aku saja bangun subuh kesiangan untung Umi yang bangunkan. Kalau Baba yang bangunkan aku, beuuuh udah pasti aku kena ceramah dari Baba!!"
KAMU SEDANG MEMBACA
AILA & RAMA [TERBIT] ✓
General FictionDi zaman sekarang, zaman serba modern ini apakah perjodohan masih berlaku? Tentu saja, seperti yang terjadi pada Myiesha Aila Rizqiyana, seorang dokter bedah bergelar Ning, dari pondok pesantren besar di jogjakarta. Di tengah puncak kariernya ia jod...