Aila terbangun dari tidurnya, pada jam tujuh pagi. Setelah shalat subuh, ia kembali tidur tentunya dalam dekapan suaminya kembali. Ketika terbangun, ia menyadari jika kini dirinya berada di sebuah kamar VVIP, bukan kamar rawat yang sebelumnya. Ia menatap sekelilingnya, sama sekali tidak menemukan sang suami, hanya ada Fikron yang tengah berbaring di sofa seraya memainkan ponsel. Padahal seingatnya ia tidur di atas ranjang bersama dengan suaminya.
Lantas, ke mana suaminya itu pergi?
Aila berpikir, apakah semuanya adalah mimpi?
Aila lantas menggeleng, ia memilih untuk bertanya kepada adiknya. "Fik. Fikron!!"
Fikron yang mendengar suara kakaknya, lantas bergegas menghampirinya. "Iya kak, kenapa? Kakak mau minum?" tanyanya.
Aila menggeleng, "Mas Rama ke mana Fik?" tanyanya, ia sungguh berharap jika semuanya bukanlah mimpi.
Fikron tidak lantas menjawab, ia menaikkan kepala ranjang kakaknya, dan membantunya duduk.
"Fik ... " Aila merengek, sungguh tidak sabar menunggu jawaban dari Fikron.
Fikron terkekeh, dalam hati mengejek kakaknya. 'Sok nolak di awal, akhirnya bucin juga, kan sama Mas Rama?'
"Fikron!" Aila kembali berseru.
Fikron berdeham, "Oh, itu tadi Mas Rama sih tadi izin mau keluar, katanya mau cari istri muda--akkh!!" Fikron menjerit, saat mendapatkan cubitan pedas pada pinggangnya, tentu saja sang pelaku adalah kakaknya sendiri, yang tengah menatapnya dengan tajam.
"Hehe, iya maaf bercanda," kekehnya. Namun sepertinya kakaknya itu sedang tidak ingin di ajak bercanda.
"Mas Rama keluar dulu mau beli sesuatu, mungkin butuh makan sama kopi," jawab Fikron, yang mendapatkan helaan napas lega dari sang kakak.
Memang kakaknya ini sudah bucin maksimal sepertinya kepada Mas Rama.
'Syukurlah, semuanya bukan mimpi. Mas Rama benar-benar kembali untuk saya,' batinnya.
Namun, wajah cerah Aila berubah menatap Fikron dengan tajam. "Heh, kakak baru ingat ya, kamu sengaja kan kasih kacang Almond ke kakak, hah?"
Fikron berdeham, ia menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Ah, ia lupa jika kakaknya ini adalah orang yang sangat cerdar. "Aduh kak, Fikron mau pamit keluar deh. Mau beli makan, lapar soalnya," kilahnya.
Aila mendengus, "Beranu kamu keluar dari sini, kakak akan kasih tahu ke Baba dan Umi, kalau kamu sengaja kasih--"
"Iya, iya. Fikron ngaku salah."
Aila berdecak, hendak mengangkat tangan untuk memukul Fikron, namun Fikron segera berujar. "Nanti dulu, jangan pukul-pukul dulu!"
Fikron menghela napas, ia tahu jika kakaknya ini sangat mengerikan jika sedang marah. "Tapi harusnya kakak berterima kasih lho sama Fikron,"
Aila berdecak, tidak habis pikir dengan adiknya. Berterima kasih katanya? Mana ada, orang yang sengaja di beri racun, malah mengucapkan terima kasih seperti itu. Dasar!
"Berterima kasih karena kamu main-main sama nyawa kakak, begitu?"
Fikron mencoba mengabaikan tatapan tajam kakaknya. "Ya tapi kan, karena itu Mas Rama nggak jadi pergi, kan?"
Aial berdeham, tatapan matanya melunak. Benar juga, sih. Tapi, tetap tidak boleh karena mengancam nyawa!
"Iya terima kasih adikku yang tampan. Puas, hah?"
Fikron tersenyum jumawa, seraya membusungkan dada dengan bangga.
"Tapi, lain kali ndak boleh seperti itu ya? Kamu sama saja dengan mempermainkan nyawa orang lain. Ngerti?"
KAMU SEDANG MEMBACA
AILA & RAMA [TERBIT] ✓
General FictionDi zaman sekarang, zaman serba modern ini apakah perjodohan masih berlaku? Tentu saja, seperti yang terjadi pada Myiesha Aila Rizqiyana, seorang dokter bedah bergelar Ning, dari pondok pesantren besar di jogjakarta. Di tengah puncak kariernya ia jod...