Aila, dan Umi Desi sudah tiba di halaman belakang. Sampai di sana, alangkah terkejutnya Aila saat kedua matanya di suguhkan pemandangan indah dari kebun belakang rumah. Selain kebun dengan sayuran, dan umbu-umbuan itu, ada sebuah sebuah pondok bambu berukuran cukup luas, dan sebuah ayunan yang terbuat dari kayu.
Selain sayur mayur, Aila melihat ada beberapa pohon pisang, rambutan, serta pepaya disana.
Ia jadi semakin senang berada disini.
"MasyaAllah Umi. Ini kebun Umi?"
Umi Desi terkekeh, menantunya ini entah kenapa terlihat senang sekali melihat kebun kecil mereka di belakang rumah. Baginya, benar-benar sangat menggemaskan!
Ia pikir, menantunya akan merasa canggung karena tidak nyaman berkunjung ke rumah kecil mereka. Namun ternyata Ning Aila malah sangat menyukai tempat ini.
"Inggih Nduk. Orang tua seperti Umi ya mau ngapain lagi selain berkebun. Wong sudan ndak bisa kerja lagi seperti anak gadis," jawab Umi Desi.
Aila bertambah semakin kagum. "Masyaallah Umi. Ini bagus sekali, nyaman dan sejuk juga." balasnya. "Nanti hasil panennya di jual atau bagaimana Mi?" tambahnya.
Umi Desi mengajaknya duduk di sebuah pondok bambu, menikmati semilir angin yang bertiup menyapu tubuh. "Kebanyakan ya hasilnya di jual nduk. Kadang Bapak bawa ke pasar, atau kadang di jual ke tetangga yang berprofesi menjual sayuran." paparnya.
Aila mengangguk. Sungguh rasanya benar-benar adem, nyaman, dan juga tentram sekali.
Ah, omong-omong soal tetangga. Ia jadi ingat dua tetangga yang mengganggu Rama tadi. Aila berpikir, apakah ia harus mengatakannya kepada Umi tentang hal yang tidak mengenakkan tersebut?
"Uumh Umi .... "
"Iya nduk? Kenapa hm?"
Aila memilin jemarinya. "Ngapunten Umi. Aila mau tanya sesuatu kepada Umi."
"Tanya apa nduk?"
"Hmm, anu--tadi saat Aila sama Mas Rama sampai, ada dua orang ibu-ibu yang menghampiri--"
Umi Desi langsung menyela di sertai wajah yang terlihat khawatir. "Owalah, itu pasti ibu Asti sama Ibu Rika. Mereka ada ngomong apa sama kamu nduk? Kenapa baru cerita sekarang sama Umi? Kalau tahu begini, Umi samperin dan marah-marahi mereka."
Aila menggeleng. "Ndak kok Mi. Mereka ndak ngomong macam-macam sama Aila. Tapi ke Mas Rama, dan Mas Rama cuma menanggapi santai dan tersenyum, padahal Aila yang dengar saja rasanya sakit hati sekali Mi." adunya.
Umi Desi menghembuskan napas lega. "Syukurlah, Umi takut mereka ngapa-ngapain kamu nduk. Rama itu wes kebal sama mereka berdua, Umi malah takutnya merka usili kamu."
Aila menggeleng pelan. "Ndak Umi. Lagi pula kalau ada apa-apa sama Aila, Mas Rama pasti ndak akan diam saja."
"Ya kalau Rama ndak bertindak. Umi pukul nanti. Mosok istrinya di hina, dia diam aja."
Keduanya lantas tertawa. Aila diam-diam menahan desiran perih dalam hatinya, Umi Desi memperlakukannya dengan baik, seperti anaknya sendiri. Bagaimana ya, jika Umi dan Bapaknya Rama tahu kalau pernikahan mereka tidak baik-baik saja.
Ah, lebih tepatnya ia yang memilih jalan tersebut. Ia sudah menyakiti Rama dengan sangat dalam.
"Mau coba main ayunan nduk?" Tawae Umi Desi.
Tanpa ragu, Aila mengangguk. Ia berjalan sendiri ke arah ayunan yang berada di samping pondok bambu, ayunan itu hanya berupa kayu sebagai tempat duduknya, dengan tali tambang yang besar dan kuat yang di ikatkan pada pohon sebagai tali pegangan ayunan tersebut.
Umi Desi tersenyum haru, Ning Aila bukan hanya membiusnya dengan kecantikan yang tertutup di balik cadar, tapi juga karena sopan dan santunya, terlebih juga Ning Aila malah sangat senang selama berada di sini.
Tanpa Aila sadari, ada seseorang yang tengah menatap lekat dirinya yang tengah bermain ayunan.
'Cantik sekali. Saya ingin membingkai wajah kamu dengan baik, ke dalam ingatan saya. Sayangku Aila, saya harap kamu tetap tersenyum, meski nanti sudah tidak bersama dengan saya.' batinnya.
Rama hanya bisa memasrahkan saja kemana arah perjalanan kisah rumah tangga mereka nanti. Jika kelak Aila meminta berpisah dengannya, ia sudah siap menerima apa pun keputusan Aila nanti. Karena yang terpenting baginya, adalah kebahagiaan Aila.
Umi Desi melihat keberadaan Rama yang menuju ke arah mereka. "Owalah nduk, di susuli suamimu."
Aila menghentikan laju ayunannya, seraya menatap kepada suaminya yang datang dengan senyun manis, yang entah sejak kapan setiap langkahnya mendekat, jantung Aila semakin berdebar. "Kenapa Mas?"
Melewati Umi Desi, Rama berdiri di belakang tubuh Aila seraya menggenggam kedua tali samping ayunan. "Masuk dulu yuk ke dalam, waktu kita ndak banyak. Kamu juga nanti malam ada tugas jaga kan di rumah sakit?"
Aila mengangguk, wajahnya menunduk murung. Kenapa rasanya sesingkat ini? Ia ingin berlama-lama berada di sini, dan juga dengan Rama untuk memperbaiki hubungan mereka yang kurang komunikasi.
"Inggih Mas."jawabnya lirih.
Rama menghela napas, bertanya-tanya hal apa yang membuat istrinya tampak sangat murung seperti ini.
"Yo wes, Umi mau masuk dulu nggih, mau siapi makanan untuk kalian. Ram, Bapakmu lagi apa di dalam?"
Rama menoleh, memusatkan pandangannya pada sang Umi. "Lagi nonton tv Umi."
Dengkusan pelan terdengar dari Umi Desi. "Mesti nonton berita itu toh?" tanya Umi Desi, yang di angguki oleh Rama. "Yo wes, Umi masuk dulu. Kamu jangan mantu Umi baik-baik nggih, awas lho kalau di apa-apain, Umi pukul kamu."
Rama tertawa, sedangkan Aila tersenyum senang di balik cadar, merasa jika Umi Desi sangat menyayanginya, ketimbang Rama.
"Ya ndak apa-apa toh di apa-apain juga. Wong Rama ini suaminya, masa suami istri ndak ngapa-ngapain sih, Umi ini ada-ada aja."
Umi Desi menggelengkan kepala, kemudian turun dari pondok bambu, seraya terkekeh pelan mendengar kelakar Rama, dan meninggalkan kedua pasangan itu.
Aila merasaka pipinya memanas. 'Mas Rama ini omongannya kok ngawur banget. Kan, malu sama Umi.' Batinnya.
Rama terkekeh menatap punggung Umi yang menjauh, kemudian melirik ke arah Aila yang masih duduk di atas sebuah ayunan yang terbuat dari kayu. Ayunan yang dulu menemani masa kecilnya saat menemani Umi serta Bapak berkebun. “Kenapa melihat saya seperti itu, hm?”
“Mas, kamu iki ngomongnya ngawur banget lho. Nanti kalau umi ngiranya macam-macam, piye?”
Rama kembali terkekeh, ia sendiri juga tidak tahu tiba-tiba mengapa kata-kata itu terlontar begitu saja. Seraya mendorong pelan ayunan yang di naiki sang istri, ia menjawab. “Umi apa kamu yang pikirane macem-macem?” godanya.
Aila menolehkan kepalanya ke belakang, menatap suaminya dengan tidak terima. "Lho, kok saya?"
"Lha iya, memangnya apa yang ada di pikiran kamu?" Rama terkekeh, kembali mendorong ayunan dengan pelan dan hati-hati. "Ya maksudnya saya itu, kaya gini lho Ning. Berduaan sama kamu, sambil dorong ayunannya."
Aila berdeham, lalu memalingkan wajahnya ke arah lain. "Inggih, terserah sampeyan."
Rama tertawa.
Aila menggerutu dalam hati, ia tidak tahu kenapa hari ini pipinya mudah merona seperti ini, hanya mendengar suara tawa suaminya saja pipinya sudah memerah. Apa sih Mas Rama ini, tiba-tiba kok menyebalkan seperti ini!
KAMU SEDANG MEMBACA
AILA & RAMA [TERBIT] ✓
General FictionDi zaman sekarang, zaman serba modern ini apakah perjodohan masih berlaku? Tentu saja, seperti yang terjadi pada Myiesha Aila Rizqiyana, seorang dokter bedah bergelar Ning, dari pondok pesantren besar di jogjakarta. Di tengah puncak kariernya ia jod...