"Lama banget toh Ram. Umimu iki wes panik, karena sampeyan ndak kunjung datang,"
Kedatangan Rama langsung di sambut oleh suara sang ayah, ia juga melihat kedua orang tuanya yang masih terlihat panik. Rama segera ikut duduk berseberangan dengan keduanya.
"Ngapunten Mi. Tadi Aila telepon." jelasnya singkat.
Kedua orangtuanya tampak menghela napas lega. "Kenapa toh mukane sampeyan kok jadi berubah serius begitu?" tanya sang ayah.
"Umi, Bapak, sebenarnya ada yang ingin Rama sampaikan."
"Kamu ndak bikin masalah macem-macem, kan Ram? Perasaan Umi kok jadi ndak karuan begini."
Rama meletakkan berkas yang ia bawa di atas meja. “Ini untuk Bapak, dan Umi, silakan di lihat Pak,” ucap Rama.
Umi, dan Bapak tampak saling pandang lalu kemudian meraih berkas tersebut dan membukanya, “Ram, sertifikat opo iki Ram?” tanyanya. Bukan hanya sertifikat saja, tapi ada juga sebuah buku rekening atas nama dirinya disana dengan jumlah uang sebanyak sepuluh juta.
“Ram, apa ini Ram?” tanya Umi Desi.
"Pak, Rama punya beberapa unit kost-kost an di jogja. Sudah berjalan kurang lebih empat tahun. Alhamdulillah sudah terisi penuh, nah sertifikat itu adalah sertifikat kepemilikan tanah dan bangunan, atas nama Bapak. Berikut uang yang berada di buku rekening itu juga uang Bapak dan Umi."
Penjelasan Rama kembali membuat kedua orang tuanya terkejut bukan main. Mereka sama sekali tidak menyangka, bahwa anak mereka yang tidak memiliki ijazah tinggi, diam-diam memiliki aset yang sangat berharga, dan bahkan menghadiahkannya kepada mereka.
Orang tua mana yang tidak terharu dengan semua ini?
Pak Syahrul menggeleng, setelah memasukkan kembali kedua benda tadi ke dalam map. "Bapak ndak bisa terima ini Ram .... "
Rama menatap kedua orang tuanya yang sudah tidak lagi muda. Matanya berkaca-kaca mengingat semua kenangan masa kecilnya, Umi dan Bapaknya sudah melewati banyak hal dan kesulitan dalam mengurusnya. Rama sempat berjanji kepada dirinya sendiri, jika kelak ia sudah bekerja dan memiliki banyak uang, ia ingin membahagiakan orang tuanya.
Umi dan Bapaknya tidak perlu lagi bekerja keras di usia tua mereka.
Sekarang, ia sudah membuktikan janji itu. Ia membeli bangunan kost-kost an dan merenovasinya secara bertahap, dan setelah semuanya selesai dan berjalan dengan lancar, ia mulai menyisihkan sebagian uang sewa untuk di simpan di buku rekening atas nama ayahnya.
"Pak, Umi, semua ini adalah milik Bapak, dan Umi." Rama mendorong kembali map itu ke hadapan ayahnya. "Kost-kost an Rama di pegang oleh pak Bandri, setiap bulan uang sewanya akan masuk ke dalam rekening ini, setelah di potong 30% sebagai upah Pak Bandri, setiap bulannya."
Umi Desi sudah berderai air mata, tidak pernah menduga jika Rama kecil yang sangat nakal dulunya, tumbuh menjadi anak yang baik dan memuliakan orang tua seperti ini. "Ya Allah Ram, ndak perlu nak. Umi, dan Bapak masih bisa kerja, sampeyan simpan saja ini semua buat masa depan sampeyan dan Ning Aila, ya."
Pak Syahrul mengangguk setuju, "Iya Ram. Sampeyan ini ndak usah pikirkan Umi, dan Bapak. Fokus sama kehidupan baru sampeyan saja." tambahnya.
Namun, Rama menggeleng. Hatinya sudah bulat, karena orang tua dan Aila sudah memiliki jatahnya masing-masing. "Mohon di terima ya Pak, Umi. Umi ndak perlu khawatir, untuk masa depan Rama dan Aila, sudah Rama urus." ucapnya, setelah itu ia menggeser meja sebagai penghalang mereka, dan berlutut di hadapan Umi serta bapaknya.
"Rama hanya ingin Umi, dan Bapak fokus berkebun saja di rumah. Rama ndak mau Umi dan Bapak kelelahan. Maaf hanya ini yang bisa Rama lakukan untuk membalas jasa Umi, dan Bapak yang sudah mengurusi Rama dari bayi."
Tangis Umi, dan Bapaknya semakin berderai. Umi Desi memegang kedua bahu putranya, seraya berkata: "Ya Allah Ram. Umi sama Bapak ndak pernah meminta balasan untuk semua itu. Yang penting kamu sehat, dan bahagia. Bapak, dan Umi sudah sangat senang. Itu semua sudah cukup untuk kami."
Pak Syahrul langsung memeluk putra semata wayangnya. Ia bangga telah mendidik Rama menjadi pemuda yang sangat membanggakan kedua orang tua. Begitu pun dengan umi Desi, ia juga menangis memeluk putranya, Rama yang bahkan tidak sekolah sampai SMA besar dari keluarga petani tapi tumbuh dengan baik dan malah membahagiakan mereka sampai seperti ini.
“Matur suwun le. Umi dan Bapak hanya bisa mendoakan agar sampeyan sehat dan bahagia,”
“Inggih Umi. Umi dan Bapak juga harus sehat terus nggih,”
“Pasti Ram. Kami ingin menggendong cucu dari kamu dan Aila nanti,” ucap Pak Syahrul.
Rama turut menangis di dalam pelukan hangat kedua orang tuanya. Ia berdoa di dalam hati, untuk keselamatan dan kesehatan dirinya juga.
Umi, Bapak, doakan Rama sehat terus ya. Rama ada misi, doakan agar Rama bisa kembali dengan selamat untuk Umi, Bapak, dan juga Ning Aila.
Rama tidak meminta banyak, ia hanya ingin bisa kembali dalam keadaan selamat. Karena alasannya kembali kali ini bukan hanya di tunggu oleh kedua orang tuanya, tapi juga untuk Ning Ayu kesayangannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
AILA & RAMA [TERBIT] ✓
General FictionDi zaman sekarang, zaman serba modern ini apakah perjodohan masih berlaku? Tentu saja, seperti yang terjadi pada Myiesha Aila Rizqiyana, seorang dokter bedah bergelar Ning, dari pondok pesantren besar di jogjakarta. Di tengah puncak kariernya ia jod...