HADIAH HONEYMOON DARI BABA

11.1K 509 36
                                    

"Aku juga mau ikut Mas pindah ke Bandung. Mau sama-sama Mas terus." Rengeknya.

Rama mengecup pucuk kepala Aila. "Sayang, Mas ngerti. Tapi Mas nggak mau kamu ngambil keputusan terburu-buru seperti ini. Kamu yakin suatu saat nanti nggak akan menyesal, hm?"

Aila terdiam dengan kedua mata yang sendu.

Mengerti dengan suasana hati sang istri yang tampak kurang baik, Rama mengeratkan pelukannya.

"Sayang, Mas ada rencana buat ajak kamu honeymoon. Mau?"

Aila mendongkak menatap wajah tampan sang suami yang tersenyum lembut. "Honeymoon Mas?"

Rama mengangguk. "Baba kasih Mas libur selama satu bulan. Oh sebentar." Rama mengambil sesuatu dari balik punggungnya.

Kedua mata Aila melebar, ia tahu yang kini Rama tunjukkan kepadanya itu adalah dua tiket penerbangan ke Makkah. "Mas? Ini-"

"Iya sayang itu dari Baba, Baba kasih paket umrah buat kita yang. Sekalian honeymoon aja gimana?"

Aila mengangguk, hatinya menghangat. Ia sangat menginginkan jika suatu saat bisa pergi ke tanah suci bersama sang suami, ia juga ingin berdoa untuk di segerakan mengandung disana. Siapa tahu, doanya akan di ijabah.

"Kita berangkat minggu depan ya Mas?" tanya Aila.

Rama mengangguk. "Iya sayang. Katanya Baba, kita harus mengikuti medical check up dan segala macamnya sebelum berangkat."

"Jadwal medical check up nya kapan Mas?"

"Katanya Baba besoo Yang."

"Besok? Cuti aku gimana Mas. Agak susah minta cuti di rumah sakit." Ucapnya sedih.

Rama memelai sisi wajah sang istri. "Udah di urus Baba kok katanya sayang. Kamu udah bisa cuti besok."

Mendengar itu, wajah Aila langsung senang. "Waah asiiik. Sayang Mas Rama banyak-banyak. Hehe."

Rama tertawa, "Mas nggak ngapa-ngapain lho sayang. Semuanya kan di urus sama Baba."

Aila tersenyum lebar. "Gapapa. Emangnya gak boleh sayang sama suami sendiri?"

"Haha, boleh kok sayang. Gemes banget sih kamu Hm?" Rama mengecup pipi Aila dengan gemas, membuat sang empunya tertawa.

"Tidur yuk sayang. Mas ngantuk."

Aila mengangguk. "Ayoo, tapi gendong ya hehe."

Rama terkekeh. Benar-benar menggemaskan sekali istrinya ini. "Oke siap. Mau gendong koala, apa di belakang?"

"Mah kaya koala!!" serunya senang.

"Oke." Rama bangkit dari posisinya, kemudian berdiri di hadapan Aila dengan kedua tangan yang di rentangkan. Melihat itu, Aila semakin senang, ia langsung memeluk leher suaminya, sementara kedua kakinya melingkari pinggang sang suami.

Rama tertawa, ia memeluk punggung istrinya, memastikan jika istrinya tidak akan jatuh saat ia membawanya ke kamar nanti.

*****

Keesokan harinya, selepas shalat subuh, Aila sibuk membuat bubur, dan air kompresan untuk Rama yang tiba-tiba demam, dan sempat muntah-muntah.

"Yang .... " Rama berucap lirih, ketika merasakan sebuah kain basah di keningnya.

"Iya Mas. Kamu demam lho, suhu kamu 39,2° Mas."

Rama mengangguk lemah, "Kepala Mas pusing Yang..." keluhnya. Aila langsung memijat kepala sang suami dengan telaten. "Mas, ke rumah sakit aja ya? Demam kamu tinggi banget."

Rama tiba-tiba membekap mulutnya, dengan sisa-sisa tenaganya Rama berlari ke dalam kamar mandi, menumpahkan semua cairan yang tersisa di perutnya, di susul dengan Aila. "Mas, kita ke rumah sakit ya? Aku udah minta Fikron buat kesini."

"Mas masuk angin aja palingan Yang. Mas kan, begadang terus kemarin-kemarin. Hueek!!" Rama kembali menumpahkan cairan bening dari mulutnya.

Bruk!

"MAS RAMA!!"

Aila panik saat sang suami terkapar tak sadarkan diri di dinginnya lantai kamar mandi. Ia menangis seraya menelepon adiknya agar segera datang.

Tak berselang lama, ia dapat mendengar suara klakson mobil dari luar. Ia berlari meninggalkan suaminya, membuka pintu utama dan meminta agar Fikron cepat masuk dan membawa tubuh suaminya yang tak sadarkan diri.

"Mas, tolong jangan buat aku khawatir Mas." ucapnya yang kini menangis seraya mengusap sisi wajah pucat suaminya yang terbaring di atas pangkuannya.

Fikron juga dengan cepat mengemudikan mobilnya, setelah mengabari keadaan Rama di grup keluarnya.

****

Aila menatap sedih pada sang suami yang masih belum sadarkan diri di atas ranjang pasien. Ia juga tidak melepaskan genggaman tangannya pada Rama, ia benar-benar takut jika tidak bisa lagi melihat kedua mata Rama yang selalu menatapnya dengan penuh cinta. Ia sangat takut, jika Rama meninggalkannya sendirian.

Cklek!

Aila langsung menoleh, dan melepaskan tangan Rama saat melihat Umi, serta Babanya datang. Ia langsung memeluk sang ibu, "Mas Rama, Mi." tangisnya.

Umi Shilla membalas pelukan putrinya. "Nduk, tenang ya."

Baba Ikmal, beralih menatap sang putra. "Gimana kata dokter Fik?"

"Semua hasil pemeriksaannya bagus kok Ba. Mas Rama cuma demam biasa aja." ucapnya seraya menyalami punggung tangan sang ayah.

"Sama katanya kakak, Mas Rama semper muntah-muntah juga di rumah. Untungnya Fikron datang cepat Ba."

Umi Shilla mengerutkan keningnya, ia melepaskan pelukannya dari sang putri. "Muntah-muntah? Benar begitu nduk?"

Aila mengangguk, sungguh rasanya dunianya terasa hancur melihat Rama berbaring lemah tak sadarkan diri seperti itu.

Tiba-tiba saja kedua bola mata Fikron membulat. "Ba. Baba inget nggak, Mas Rama juga selama di Bandung sering munta-muntah, sama mual juga kan Ba?"

Baba Ikmal mengangguk. Ia juga ingat bagaimana menantunya itu serung urung-uringan, dan meminta Fikron untuk membelikannya rujak setiap hari.

"Assalamualaikum."

"Waalaikumussallam." Mereka menjawab salam dari Amih Ayana, dan juga Irham yang baru saja tiba dan masuk ke dalam kamar rawat Rama.

Amih Ayana langsung menghampiri Aila dan mengusap air mata yang keluar dari kedua matanya. "Gimana kabarnya Rama sayang? Amih langsung kesini denger kabar Rama masuk rumah sakit."

Umi Shilla langsung menjelaskan semuanya kepada Amih Ayana. Lalu keduanya saling pandang, sebelum akhirnya Amih Ayana kembalu menatap Aila. "Apa kamu ada terlambat datang bulan, sayang?" tanganya dengan nada yang begitu sangat antusias.

Semua orang beralih menatap Aila. Aila sendiri langsung melihat tanggal di ponselnya, ia baru sadar jika satu bulan ini belum datang bulan, karena kesibukannya di rumah sakit akhir-akhir ini.

Aila mengangguk. Ashilla, dan Ayana saling menggenggam, lalu kedua ibu itu berjingkrak senang. "Akhirnya kita mau punya cucu!!" seru keduanya.

Ayana beralih menatap kepada Irham. "Ham, kamu anter Fikron beli testpack ke apotek depan ya. Kalau bisa beli lima sekaligus!" titah Amih Ayana.

Aila mengusap perut datarnya dengan kedua mata yang berkaca-kaca. Nak, apa benar kamu ada di sini sayang?

AILA & RAMA [TERBIT] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang