Seusai makan, lagi-lagi Rama menyuruh Aila untuk masuk ke kamar dan bergantu pakaian untuk pergi berbelanja ke sebuah super market. Sedangkan Rama tengah berdiri di depan wastafel bersama beberapa cucian piring kotor.
Ketika hendak beranjak, bel pintu utama mereka berbunyi.
Ting, tong.
"Pakeeet .... "
Aila dan Rama saling memandang. "Kamu pesan paket Yang?" tanya Rama.
Aila menggeleng, "Paketnya kamu kali Mas,"
Rama juga menggeleng. "Aku juga nggak pesan paket Yang," jawabnya.
"Pakeeet .... " suara itu kembali terdengar, bersamaan dengan suara bel yang berbunyi juga.
"Mas, aku buka pintu deh ya."
Rama langsung menghadang istrinya. "Eh jangan! Kamu mau keluar seperti itu memangnya?" tanya Rama seraya melihat penampilan Aila.
Aila juga refleks melihat tampilannya, kemudian ia menepuk dahi. "Ya Allah Mas. Aku lupa, kalau aku masih dasteran," cicitnya.
Rama menghela napas, "Mas aja deh yang buka pintunya. Kamu jangan coba-coba sentuh cucian piring di sana ya?" Rama menunjuk ke arah wastafel.
"Iya Mas. Iya. Aku bakal diam aja kayak batu!" serunya.
Rama terkekeh, ia bergegas menuju pintu utama dan membukanya. Benar saja, sudah ada seorang kurir laki-laki yang berdiri disana. Untung saja ia menyadari penampilan Aila sebelum istrinya itu nekat untuk pergi membuka pintu.
"Pak, ini ada paket atas nama Ibu Aila istrinya Mas Rama, dari Ibu Hilda," ucap sang kurir seraya menyerahkan sebuah paket yang terbungkus kardus, berukuran agak kecil, entah apa isinya.
Rama mengangguk, "Terima kasih ya Mas."
"Inggih sama-sama Pak," sang kurir itu langsung pergi dari hadapan Rama.
Rama juga bergegas masuk ke dalam rumah setelah menutup pintu. "Paketnya siapa Mas?" tanya Aila saat suaminya sudah kembali.
Seperti perintah suaminya, Aila tidak menyentuh cucian piring di wastafel, ia hanya diam menunggu suaminya yang akan kembali setelah mengambil paket.
"Paketnya kamu nih Yang, dari Hilda katanya,"
Aila mengerutkan kening, ia turun dari kursi stool bar dan menghampiri suaminya. "Hilda?" tanyanya.
Rama mengangguk, memberikan paket tersebut kepada Aila.
Aila bertanya dalam hati, paket apa ya yang di kirim Hilda padanya?
"Mas, aku ke kamar dulu ya, mau tanya Hilda kenapa tiba-tiba kirim paket. Sekalian mau ganti baju juga,"
Rama mengangguk, "Iya sayang."
Setelah mendapatkan izin dari suami, Aila bergegas pergi ke lantai atas menuju kamarnya. Sampai di sana ia langsung mencari ponsel, kebetulan sekali ponselnya berdering dengan nama Hilda sebagai penelepon.
"Hallo Ning, Assalamualaikum!!"
"Waalaikumsallam. Da, kamu kirim paket ya ke aku?"
Terdengar suara tawa pelan dari seberang. "Paketnya sudah sampai ya? Sudah di buka belum?"
"Belum. Suara tawa kamu mencurigakan deh, kamu nggak kirim yang aneh-aneh, kan ke aku?"
Hilda tertawa. "Pamali lho, gak boleh suudzan!" Serunya. "Buka aja! Aku mau tutup teleponnya, Mas Azman manggil aku. Assalamualaikum!"
Belum sempat Aila menjawab salam, panggilan itu sudah terputus. "Mencurigakan banget deh, si Hilda," gumamnya.
Ia duduk di sisi ranjang, menatap paket di tangannya. Jujur, rasanya ia sangat penasaran paket apa kiranya yang di kirimkan oleh sahabatnya ini?
KAMU SEDANG MEMBACA
AILA & RAMA [TERBIT] ✓
General FictionDi zaman sekarang, zaman serba modern ini apakah perjodohan masih berlaku? Tentu saja, seperti yang terjadi pada Myiesha Aila Rizqiyana, seorang dokter bedah bergelar Ning, dari pondok pesantren besar di jogjakarta. Di tengah puncak kariernya ia jod...