Sudah dua minggu, pernikahan mereka belum ada perkembangan. Aila semakin sibuk dengan profesinya, hampir menghabiskan seluruh waktunya di rumah sakit. Rama pun begitu, selama ini ia terus ke luar kota mengurus pekerjaan. Ia bahkan belum sempat mengajak Aila untuk mengunjungi rumah Bapak dan Uminya.
Seperti pagi ini, setelah keduanya sarapan bersama dengan keluarga ndalem, keduanya sudah bersiap untuk pergi bekerja di tempat masing-masing.
Setelah selesai sarapan, keduanya masuk kembali ke kamar untuk mengambil barang keperluan mereka.
"Ning, mau berangkat ke rumah sakit?" tanyanya setelah memasangkan jas hitam di tubuhnya.
Aila yang tengah mengenakan cadar itu menatap ke arah suami yang sudah sangat siap. "Iya Mas." jawabnya.
"Ayo berangkat bersama. Sekalian Mas juga akan keluar kota meninjau pabrik Baba."
Aila yang sudah selesai mengenakan cadar, dan memakai tas slempangnya mengangguk. "Pakai mobil saya saja ya Mas."
Rama mengangkat sebelah alisnya. "Mobil sampeyan?"
Aila kembali mengangguk. "Iya Mas. Mas juga berangkat keluar kota menggunakan mobil saya."
"Lalu, Ning pulangnya bagaimana?" tanyanya.
"Bisa minta jemput Fikron, atau Irham."
Rama mengembuskan napas, "Apa ndak apa-apa?"
Aila terkekeh, "Ndak apa-apa Mas. Kadang kalau bawa mobil pun suka minta di jemput Fikron sama Irham. Irham yang bawa mobil saya, dan saya naik mobil Fikron."
Rama ikut tertawa, aneh sekali istrinya itu. "Yo wes. Ayo berangkat!" serunya.
Aila mengangguk, keduanya berjalan bersamaan dengan wajah berseri.
"Umi, Baba. Aila sama Mas Rama pamit dulu ya." ucap Aila seraya menyalami punggung tangan kedua orang tuanya.
"Walah. Berangkat bareng toh Kak, sama Mas Rama?" tanya Umi Ashilla.
Rama dan Aila mengangguk. Rama juga melakukan hal yang sama dengan menyalami punggung tangan mertuanya.
"Bawa mobil masing-masing, atau bagaimana?" tanya Baba Ikmal.
"Bawa mobil Aila Ba. Nanti Aila ya di antarkan sampai rumah sakit. Mobilnya Aila di bawa Mas Rama kerja. Nanti pulangnya bisa minta jemput Irham, atau Fikron kok." jelasnya.
Umi, dan Baba mengangguk. "Yo wes. Mau seperti itu juga ndak apa-apa. Seng penting semuanya selamat sampai tujuan." kata Baba Ikmal.
"Inggih. Hati-hati ya Mas Rama di perjalanan, jangan ngebut." pesan Umi Ashilla.
Rama mengangguk. "Inggih Umi. Kalau begitu, Rama dan Aila pamit dulu. Assalamualaikum."
"Waalaikumsallam." jawab keduanya bersamaan dengan langkah pasangan muda yang kian menjauh dari pandangan mereka.
Umi Ashila, dan Baba Ikmal saling memandang dan tersenyum. Mereka berpikir, keputusan untuk menikahkan Aila dengan Rama adalah hal yang tepat. Terbukti dengan Rama yang memperlakukan Aila dengan baik, dan penuh kelembutan.
Baba Ikmal merangkul bahu sang istri, dan memberikan kecupan pada pelipis istrinya. "Semoga kebahagiaan selalu menyertai mereka ya Mi."
Umi Ashilla mengangguk. "Amiin."
"Eh, eh, eh! Tangan Baba ngapain ngerangkul-rangkul Umi?"
Baba Ikmal memutar bola matanya, saat Fikron datang dan langsung memisahkannya dan sang istri. "Nggak boleh deket-deket pokoknya. Fikron nggak mau punya adik!"
KAMU SEDANG MEMBACA
AILA & RAMA [TERBIT] ✓
General FictionDi zaman sekarang, zaman serba modern ini apakah perjodohan masih berlaku? Tentu saja, seperti yang terjadi pada Myiesha Aila Rizqiyana, seorang dokter bedah bergelar Ning, dari pondok pesantren besar di jogjakarta. Di tengah puncak kariernya ia jod...