"Umi, Baba. Rama izin membawa Aila tinggal dengan Rama di rumah baru kami."
Baba Ikmal mengulas senyum, begitu pun Umi Ashilla dan Fikron. Untuk kesekian kalinya, mereka di buat kagum oleh sosok Rama yang selalu santun, dan berhati lembut.
Bahkan ia tetap meminta izin kepada mereka untuk membawa Aila tinggal di rumah baru mereka. Benar-benar tidak salah mereka menjodohkan Rama kepada Aila.
"Lho, lho. Kenapa mesti izin ke Baba sama Umi toh Ram? Ram, sejak sampeyan mengucapkan ijab kabul, Aila sepenuhnya menjadi milik sampeyan. Sampeyan yang paling berhak atas hidup Aila," Baba Ikmal beralih menatap putrinya yang juga menatapnya. Mengatakan melalui tatapan matanya, jika Aila beruntung memiliki suami seperti Rama.
"Begitu pun dengan Aila. Sudah seharusnya Aila ikut dengan sampeyan. Lagi pula, Baba sudah berjanji jika urusan pondok akan Baba serahkan kepada Fikron. Ya karena Baba paham, kelak setelah Aila menikah, ia pasti akan ikut dengan suaminya kemana pun pergi." Baba Ikmal tidak bohong soal ucapannya, terbukti jika ia membebaskan Aila mengambil jurusan kuliah yang di inginkannya, dan tidak memaksanya untuk ikut mengurus pondok, seperti Fikron
Tapi sesekali, jika ada kegiatan Aila akan ikut membantunya dan Fikron sampai acara selesai. Meski Baba Ikmal membebaskan Aila dari tanggung jawab pondok, Aila masih mengajar meski tidak seaktif dulu. Baba Ikmal, dan Umi Ashilla juga berusaha untuk mengontrol putrinya agar tetap pada pendiriannya dan memegang teguh ilmu agama yang selama ini di tanamkan sejak kecil oleh keluarganya.
"Baba benar Mas. Umi dan Baba pasti merestui apa pun keputusan Mas Rama. Jadi, bagaimana futniture nya sudah selesai semua? Suddah lengkap?"
Lihatlah, bagaimana beruntungnya Rama yang memiliki kedua mertua yang sangat baik. "Sudah semua Mi. Insyaallah lusa sudah bisa di tempati." balas Rama, seraya menatap Aila yang sama sekali tidak memberikan tanggapam apa pun.
Kenapa? Apakah Aila kecewa, dan tidak mau ikut dengannya?
Atau, Aila membayangkan rumah baru mereka sangat jauh dari ekspektasinya? Entahlah, Rama sama sekali tidak dapat menerka apa isi kepala Aila saat ini.
"Alhamdulillah .... " ucap Umi Ashilla.
"Waah mantap. Fikron boleh sering-sering main Mas?"
Rama terkekeh, "Ya boleh. Kalau mau menginap juga silakan,"
"Wah, serius Mas?"
"Tentu." Balas Rama.
Baba Ikmal menepuk pundak Rama. "Kalau ada yang masih kurang, beritahu Baba ya."
"Insyaallah Ba."
*****
"Mas!"
"Mas Rama!" Aila mengekori Rama yang masuk ke dalam kamar mereka setelah selesai makan malam dan berbincang sebentar di ruang keluarga bersama Baba dan Uminya.Aila menyentuh pergelangan tangan Rama yang langsung menghentikan langkah sang suami. "Mas? Kenapa Mas tiba-tiba membicarakan soal rumah tanpa memberitahu saya lebih dulu?"
Rama melepaskan tangan Aila di pergelangan tangannya. "Kenapa? Ning ndak setuju kita pindah dari sini?" tanyanya.
"Bukan itu masalahnya-"
"Jadi apa masalahnya? Ning takut saya membelikan rumah yang ndak sesuai dengan ekspektasi sampeyan?" Rama meraup wajahnya, kemudian duduk di sisi ranjang. "Ning. Saya membeli rumah yang dekat dengan tempat kerja sampeyan, agar sampeyan ndak merasa lelah karena jarak rumah ke rumah sakit yang sangat jauh,"
Aila mematung di tempat. Kenapa Rama selalu memikirkan dirinya, menjadikannya prioritas utama, padahal ia sudah sangat jahat. Bahkan selama di ruang makan tadi, pikirannya terus berpikir buruk kepada Rama.
KAMU SEDANG MEMBACA
AILA & RAMA [TERBIT] ✓
General FictionDi zaman sekarang, zaman serba modern ini apakah perjodohan masih berlaku? Tentu saja, seperti yang terjadi pada Myiesha Aila Rizqiyana, seorang dokter bedah bergelar Ning, dari pondok pesantren besar di jogjakarta. Di tengah puncak kariernya ia jod...